Peluncuran Buku Tafsir Syirkah Jawa: Mereguk Kesucian sebagai Pondasi Berkehidupan

Baru-baru ini, tepatnya pada Rabu (10/07) lalu Aji Dedi Mulawarman meluncurkan buku terbarunya yang berjudul Tafsir Syirkah Jawa. Sebuah tulisan yang mengulas tentang bagaimana akad serta praktik kerja sama antar manusia dalam teropong khazanah kepustakaan Jawa.

Peluncuran buku Tafsir Syirkah Jawa tersebut diselenggarakan secara hybrid, bertempat di Ruang Budaya Kampung X Malang dan juga disiarkan langsung melalui Zoom Meeting. Turut hadir dalam bedah buku ini ialah budayawan Adil Amrullah (Cak Dil), Shri Lalu Gde Pharma, Prof. Dr. Asfi Manzilati, Assoc. Prof. Dr. H.A. Djalaluddin, dan Prof. Madya M. Reevany Bustami sebagai pembedah.

Dalam kegiatan yang dimoderatori oleh Dr. Ari Kamayanti tersebut, penulis terlebih dahulu mengudar gagasan utama dalam buku barunya yang mengangkat tema ekonomi yang berkelindan dengan nuansa keislaman dan kenusantaraan.

“Buku ini menunjukkan bagaimana Paradigma Nusantara yang memiliki empat kaidah utama dijalankan oleh ulama Nusantara dan hidup dalam ruang waktu sosiologis masyarakatnya hingga saat ini,” ujar Dosen Universitas Brawijaya tersebut.

Dalam paparannya, Aji Dedi Mulawarman menyampaikan landasan substantif maupun praksis dari syirkah dalam QS. Shad ayat 24 dan QS. Al-Baqarah ayat 127 berdasarkan apa yang ditulis oleh KH. Bisri Mustofa dalam Tafsir al-Ibriz. Keunikan yang ditemukan di antaranya ialah bagaimana kata kaidah dan syirkah bergantian hadir secara material dan tersembunyi.

Menggunakan Paradigma Nusantara dalam struktur penulisannya, terdapat setidaknya empat poin penting dari buku yang diterbitkan oleh Penerbit Peneleh tersebut. Pertama, ialah bahwa buku ini mengetengahkan berkesucian pondasi utama dalam menjalani kehidupan sebagaimana laku seorang auliya’ yang menjalankan tugasnya sebagai abdi Tuhan.

Hal ini menjadi antitesis dari potret kehidupan modern yang tidak pernah menjadikan kesucian sebagai substansi dalam ruang waktu kehidupan yang selama ini dijalani. Dorongan untuk menjadi kekasih (wali Allah) ini tentu juga disinergikan dengan tradisi keluhuran Nusantara yang telah terbentuk sejak lama.

Kedua, ia berada dalam ruang waktu religiusitas dan kebudayaan sesuai kaidah usul fikih kelima yang berbunyi al-adatu al-muhakkamah, yakni perbuatan menjadi dalil yang wajib untuk diamalkan. Selanjutnya, buku ini juga berorientasi keumatan yang menjunjung nilai-nilai keimanan, kebenaran, dan keadilan.

Terakhir, namun tak kalah pentingnya, buku ini juga berangkat dari kesadaran untuk menggali simbol khas Nusantara berupa huruf Arab Pegon dan transformasi Timur Laut yang telah oleh para ulama terdahulu yang hidup di Nusantara sebagai jalan dakwah Islam yang secara tersurat menjadi ekspresi jati diri kenusantaraan. (ABK/Red)

Baca juga: Diversitas Persoalan Generasi Muda dan Cara Menghadapinya: Sebuah Refleksi Said Nursi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *