
Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) saat ini sedang menghadapi polemik yang mengundang perhatian publik. Polemik ini berkaitan dengan dugaan pelanggaran etik dan integritas yang melibatkan Ketua KPU RI, di mana hal ini berdampak serius terhadap kredibilitas lembaga penyelenggara pemilu tersebut.
Dalam beberapa minggu terakhir, berbagai laporan dan pemberitaan media mengungkapkan dugaan adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang oleh Ketua KPU RI. Hal ini mencakup keterlibatan dalam pengaturan proyek-proyek tertentu dan dugaan menerima keuntungan pribadi dari keputusan-keputusan yang diambil dalam kapasitasnya sebagai pimpinan lembaga.
Menanggapi isu ini, Hasyim Asy’ari selaku Ketua KPU RI menegaskan bahwa semua tuduhan tersebut tidak berdasar dan merupakan upaya untuk mendiskreditkan dirinya serta lembaga yang dipimpinnya.
“Saya tegaskan bahwa semua keputusan yang diambil dalam kapasitas saya sebagai Ketua KPU RI adalah sesuai dengan aturan dan prosedur yang berlaku. Tidak ada penyalahgunaan wewenang seperti yang dituduhkan,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta.
Namun demikian, polemik ini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan berbagai pihak terkait tentang independensi dan integritas KPU RI dalam menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil.
Beberapa organisasi masyarakat sipil dan pengamat politik menyerukan adanya investigasi yang transparan dan menyeluruh terhadap tuduhan-tuduhan tersebut untuk memastikan bahwa KPU RI tetap dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Baca juga: Kebocoran Data di Indonesia: Problem Serius yang Perlu Penanganan Tegas dan Terencana
Polemik ini juga memicu reaksi dari partai politik yang mengharapkan agar KPU RI tetap dapat menjaga integritas dan netralitasnya menjelang pemilu mendatang. Beberapa partai mendesak agar Ketua KPU RI mempertimbangkan untuk mengambil cuti sementara selama proses investigasi berlangsung, demi menjaga kepercayaan publik terhadap proses pemilihan umum.
Untuk melihat lebih jauh polemik ini, koranpeneleh.id melakukan wawancara bersama Koordinator Nasional Aktivis Peneleh, Muh. Fahdhir A.I. Lamase. Berikut petikan detail wawancaranyaL
Bagaimana saudara melihat KPU hari ini?
KPU hari ini menjadi lembaga penyelenggara pesta demokrasi terburuk dalam sejarah Indonesia. Terbukanya skandal ketua KPU hanyalah segelintir dari kebobrokan sistem kelembagaannya. Lembaga yang seharusnya mampu menjalankan prinsip independen, mandiri, transparan dan proporsional itu mendadak menjadi lembaga abal-abal.
Apa pendapat anda tentang skandal ketua KPU?
Kita ketahui bersama, skandal ketua KPU yang menjadi sorotan publik itu merupakan tindakan asusila yang dilakukannya kepada Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Belanda.
Tindakan itu adalah kepentingan pribadi yang disisipkan dalam sistem seleksi melalui peraturan KPU tentang larangan menikah dengan sesama penyelenggara pemilu. Langkah itu dibuatnya untuk membangun wewenang penuh atas kepentingan pribadinya.
Apa saja dampak dari pemberhentian ketua KPU dalam proses politik dan demokrasi di Indonesia?
Sekali lagi saya tegaskan, bahwa KPU hari ini menjadi lembaga penyelenggara pesta demokrasi terburuk dalam sejarah Indonesia. KPU memiliki beberapa catatan hitam sebagai berikut; pertama, Ketua KPU telah mendapat enam kali sangksi pelanggaran kode etik.
Rentetan sanksi itu adalah buah buruk seleksi anggota KPU periode 2022-2027; kedua, meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai kandidat wakil presiden dalam Pemilu 2024. Ketiga, peraturan KPU yang mengakomodir putusan Mahkamah Agung No. 23 P/HUM/2024 tentang perubahan tafsir usia minimum calon kepala daerah melalui Peraturan KPU.
Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa cagub/cawagub minimal berusia 30 tahun. Langkah buruk KPU itu memberi jalan tol pada pencalonan Kaesang Pangarep menjadi calon gubernur dan wakil gubernur dalam pemilihan kepala daerah serentak 27 November mendatang.
Bagaimana negeri ini harus dikonstruksi?
Kata kunci utama dalam problem pemberhentian ketua KPU ialah bobroknya sistem seluruh sistem dan peraturan yang dibuat secara ugal-ugalan. Semuanya berdasarkan asas kepentingan golongan tertentu.
Mari kita refleksikan bersama, pemimpinnya lahir dari sistem yang buruk juga mengakomodir kepentingan golongan penguasa, diantaranya mengendong dua putra Presiden Jokowi dalam konstalasi politik tanah air. Sangat sulit dibayangkan bagaimana nasib negeri ini dalam lima tahun kedepan.
Jika ditelaah, kebobrokan sistem pemilihan di negeri ini sebenarnya berakar pada amandemen keempat UUD 1945. Sistem yang mengakomodir politik liberal dengan mekanisme “one man one vote”.
Sebuah sistem yang dibingkai untuk menghancurkan sila keempat kita semua: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Kebobrokan proses politik tanah air akan terus berlanjut tatkala sistem politik kita masih meninggalkan ruh sejati, yakni sila keempat tentang pemusyawaratan/syuro.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi