Oleh: Aji Dedi Mulawarman (Ketua Dewan Pembinan Yayasan Peneleh Jang Oetama)
Tepat pada hari Sabtu, 17 Juni 1916, 108 tahun lalu kata Zelfbestuur dikumandangkan oleh Voorsitter, Ketua CSI, sang Raja Tanpa Mahhota, De Ongekroonde Koning van Java, HOS. Tjokroaminoto, di Gedung Pertemuan Concordia, Bandung, dalam Rapat Pendahuluan Centraal Bestuur (Pimpinan Pusat) Sarekat Islam perserikatan tertua di Nusantara kita ini, Sarekat Islam.
Acara ini merupakan satu dari rangkaian delapan hari 1re Nationaal Congres Centraal Sjarikat Islam (NATICO CSI), 17-24 Juni 1916. Kata Zelfbestuur berkumandang di tengah perwakilan anggota Sarekat Islam dan kemudian diulang pagi harinya, yaitu agenda Voordracht, Pidato Umum, di lapangan alun-alun kota Bandung, di tengah lautan manusia, anggota organisasi yang bukan hanya tertua, tetapi merupakan organisasi terbesar waktu itu.
Bagaimana tidak, Sarekat Islam pada tahun 1916 telah memiliki 180 cabang (afdeling) di berbagai penjuru Hindia Belanda dengan total anggota mencapai 800.000 orang. Jumlah ini makin membesar dan mencapai puncaknya pada tahun 1919 dengan jumlah anggota mencapai 2,5 juta orang.
Pak Tjokro adalah tokoh paling bercahaya di tengah gerakan raksasa untuk mewujudkan kemerdekaan negeri, pada malam itu mengatakan: “Tuan-tuan jangan takut, bahwa kita dalam rapat ini berani mengucapkan kata Zelfbestuur atau Pemerintahan Sendiri.”
Berbasis keyakinan Islam yang juga bergerak lintas geografis, Pak Tjokro mengidentifikasi gerakan SI lebih maju dari zamannya. Gerakan masif SI di samping memang representasi nasionalisme awal, juga merupakan bentuk kebesaran Islam yang ada di dalamnya.
Hal ini diungkapkan sendiri oleh Pak Tjokro: “Kita mencintai bangsa kita dan dengan ajaran agama kita (Islam), kita berusaha sepenuhnya untuk mempersatukan seluruh atau sebagian terbesar bangsa kita.”
Zelfbestuur, merupakan kata yang tabu untuk diucapkan siapa saja di era kolonialisme Belanda waktu itu. Bukan hanya tabu, tetapi bagi pemerintah kolonial keinginan Zelfbestuur adalah fatamorgana. Bagi perserikatan sendiri, cita-cita kemerdekaan adalah ijtihad politik sebagai gerakan Intuisi Berkesucian.
Kehendak yang berasal dari semangat masa depan dari lubuk terdalam secara berjamaah, buah dari kegelisahan dalam berserikatnya ummat Islam. Intuisi yang pada akhirnya menjadi kenyataan kemerdekaan dalam bentuk Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yang dibacakan oleh sang anak ideologis beliau, Soekarno, di Jakarta, didampingi oleh sahabatnya, Mohammad Hatta.
Intuisi Berkesucian adalah gerakan kritis dan terdepan pergerakan nasional demi menjemput masa depan negeri. Hal ini dapat dilihat dari enam representasi manusia nusantara yang berbeda dengan tiga representasi masyarakat menurut Clifford Geertz, santri-priyayi-abangan.
Pak Tjokro merupakan representasi keenam, manusia kritis berpihak pada Wong Cilik yang merupakan perpaduan dan sekaligus melintasi status Islam Konstitusi (keluarga bangsawan), Pemuka Agama Konstitusi, Islam Kyai (Pemuka Agama Kampung), Murid Kyai, Wong CIlik.
Dalam rangka menguatkan Intuisi Berkesucian tersebut, Pak Tjokro mendidik 3 tokoh nasional sekaligus, mulai dari Soekarno – Presiden Nasionalis Religius,; HAMKA, sastrawan religius, penggiat Masyumi; dan Kartosoewirjo, Sang Proklamator Negara Islam Indonesia.
Tak ada selintas pun dalam pikiran Pak Tjokro mendidik dan mempaktikkan komunisme, apalagi kapitalisme, yang saat ini berevolusi menjadi neoliberalisme, karena keduanya anti dengan Tuhan. Beliau menyebut komunis bertuhankan benda, sedangkan kapitalisme, Het Zondinge Kapitalisme sebagai kapitalisme yang Berdosa.
Melalui Politik Konsolidasi Organisasi atau gerakan berjiwa kebersamaan, Pak Tjokro berhasil meningkatkan anggota Sarekat Islam (SI) dari 2000 orang per Juni 1912 menjadi 2,5 juta orang tujuh tahun kemudian. Ini merupakan prestasi yang tak tertandingi organisasi apapun di zaman itu. Penguatan organisasi dilakukan dengan tahapan melalui Sarekat Islam menuju Politik Hijrah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), dan puncaknya Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
Baca juga: Orasi Kebangsaan 108 Tahun Proklamasi 1.0 Zelfbestuur
Pak Tjokro melakukan Gerakan Sosial-Ekonomi, sejak 1912, melalui koperasi, pendidikan, pertanian, pembelaan terhadap hak-hak kepemilikan, blusukan, dan penyadaran komunitas lewat kebudayaan dan pergerakan organisasi, sampai kajian Keislaman-Politik-Sosial-Budaya.
Khusus mengenai pendidikan, beliau menggagas Moslem Nationaal Onderwijs sebagai ruh sekolah SI. Hari ini masih pula dapat kita lihat Sekolah Tjokroaminoto dan Perguruan Tinggi di berbagai daerah yang ada di Indonesia.
Prestasi penting beliau lainnya adalah penyebaran ideologi Sosialisme Islam yang fenomenal. Setelah melucuti Komunisme yang menjangkiti anggota SI, Pak Tjokro menulis karya besar ideologis SI, Islam dan Sosialisme pada tahun 1924.
Sosialisme Islam kemudian bergeser menjadi substansi puncak Islamnya, berjudul Memeriksai Alam Kebenaran pada tahun 1928 (disampaikan pada Kongres Jong Islamiten Bond ke-4). Karya turunannya kemudian adalah Tarikh Agama Islam, Program Asas dan Program Tandhim beserta tafsirnya tahun 1931.
Pak Tjokro juga melakukan gerakan relasional, aktif dan menyampaikan Mosi Tjokroaminoto di Volksraad (Dewan Daerah) bersama Politieke Concentratie, membentuk gerakan kebudayaan Jawa Dwipa, gerakan Islam melalui Tentara Kanjeng Nabi Muhammad, membidani federasi nasional, PPPKI (Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) tahun 1927.
Di tingkat Internasional, beliau menjadi ketua Kongres Al-Islam tahun 1922, kemudian diundang mengikuti Kongres Umat Islam se-Dunia (Muktamarul Alam Islamy Farulhim bi Syarkiyah) di Mekkah pada tahun 1926 bersama KH Mas Mansyur. Sementara itu, pada tahun 1928, beliau membidani terbentuknya Majelis Oelama, dimungkinkan inilah awal Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Berdasarkan apa yang telah beliau lakukan, gerakan Pak Tjokro dan para sahabat di Sarekat Islam memandang Zelfbestuur sebagai bentuk Intuisi Masa Depan yang pasti terwujud. Hal itu terbukti dengan apa yang telah kita rasakan hari ini dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, Nusantara yang lebih besar, lebih raksasa, membentuk naga di Asia Tenggara demi menegakkan pondasi (yarfau qawaid) dari Nusantara Era Sriwijaya, Singosari, hingga Majapahit.
Intuisi Berkesucian adalah refleksi dari uswah yang telah dijalankan oleh para Nabi dan Manusia Suci di sepanjang lintasan sejarah seperti Nabi Ibrahim AS., Nabi Ismail AS., Nabi Musa AS., maupun junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Intuisi Berkesucian berbeda dengan cara pandang apa yang saya sebut sebagai Fatamorgana Berhala Kesejahteraan yang hanya mengedepankan kebahagiaan material dan fisikal sebagaimana mentalitas Ayah Nabi Ibrahim, Raja Nebukadnezar, Firaun, dan kaum kafir Mekkah yang ditentang para Nabi.
Bisakah kita membayangkan betapa sengsaranya Nabi Ibrahim dan keluarganya yang terbuang dari negerinya, dan karena Intuisi Berkesucian atas ketakwaan, kepasrahan, dan kecintaan tanpa batas kepada Allah SWT, kemudian mereka berdua menegakkan pondasi (yarfa’u qawaid) tempat ibadah pertama di dunia, Ka’bah di Mekkah, tempat terpencil yang terasing, tak pernah terdengar oleh dunia ribuan tahun lalu.
Kini Ka’bah adalah pusat kunjungan peribadatan terbesar di dunia, oleh miliaran manusia setiap tahunnya. Begitu pula perintah penyembelihan Nabi Ismail AS. oleh sang ayah, Nabi Ibrahim AS., berdasarkan Intuisi Berkesucian yang langsung diperintahkan oleh Allah SWT.
Hari ini, Hari Raya Idul Adha adalah hari raya terbesar dunia dipuncaki oleh peristiwa Haji yang juga dihadiri oleh jutaan manusia setiap tahun di bulan Zulhijjah. Hari Raya Idul Adha juga bertepatan dengan kemenangan kaum Muslimin melawan kaum kufar Mekkah dalam perang Khandaq, perang parit, perang selama 40 hari, yang dimenangi tanggal 13 Maret 627.
Perayaan kemenangan tersebut kemudian Rasulullah SAW bersabda: “wa hazamal ahzaba wahdah“, hanya Allah yang menunggang langgangkan musuh yang berniat membinasakan kita. Perayaan Haji juga merupakan perayaan kemenangan pasca Fathul Mekkah yang kemudian dilanjutkan dengan ritual puncak Haji Wada’ Rasulullah SAW diikuti oleh 114.000 umat Muslimin sekaligus Tawaful Wada’, yang dapat diartikan sebagai menjemput awal baru dengan tetap melihat masa lalu sebagai bagian dari ibrah berkesucian.
Selamat menegakkan pondasi, yarfau qawaid, hari-hari ini, selalu berikhtiar tanpa lelah, dan semoga selalu dalam kesabaran dan semangat berserikat substantif membangkitkan kembali semangat kenusantaraan kita, menegakkan pondasi Ka’bah, Yarfau Qawaid, demi menjemput Intuisi Berkesucian di Masa Depan untuk ribuan tahun mendatang. Inilah substansi penting dari refleksi Zelfbestuur 108 tahun.
Billahi fi Sabilil Haq.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi