
Oleh: Hendra Jaya (Direktur Koran Peneleh)
Dalam tujuh hari terakhir, beranda TikTok saya dipenuhi oleh konten-konten dari Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS) yang kemungkinan dipimpin oleh Ade Armando. Ade Armando adalah seorang pegiat media sosial yang terkenal karena sering mendukung pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui berbagai kontennya.
Meski pernah menjadi kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan gagal melaju ke Senayan sebagai anggota legislatif, Ade tetap aktif dalam dunia media sosial. Baru-baru ini, ia mulai banyak mengomentari konten-konten yang berkaitan dengan keagamaan, yang tampaknya menjadi fokus baru dalam aktivitasnya di media sosial.
Selain itu, Ade Armando adalah seorang akademisi dan pengamat media yang memiliki latar belakang dalam bidang komunikasi. Ia dikenal sebagai dosen di Universitas Indonesia dan aktif di media sosial, di mana ia sering memberikan komentar dan pandangan tentang isu-isu politik, sosial, dan keagamaan. Saat ini, ia banyak mengomentari konten-konten dari Ustaz Khalid Basalamah, seorang dai terkemuka dalam komunitas Salafi.
Sebagai warga Nahdliyyin, saya memahami bahwa ceramah-ceramah Ustadz Khalid Basalamah sering kali memicu perdebatan, terutama karena pendekatannya yang berbeda dalam beberapa aspek keagamaan dibandingkan dengan tradisi Nahdlatul Ulama (NU).
Namun, perbedaan pendapat dalam urusan fiqh (syariat) adalah hal yang lazim dan sering terjadi di kalangan ulama. Di pesantren, kami belajar tentang berbagai aliran teologi, mazhab, dan lain-lain, serta memahami bahwa tiap tokoh agama memiliki karakteristik dan pendekatan yang berbeda dalam mengajarkan ajaran Islam.
Di pesantren, kami diajarkan untuk menghargai perbedaan pendapat dan memahami bahwa dalam Islam, terdapat banyak jalan untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang agama. Meskipun mungkin ada ketidaksepakatan dengan ceramah-ceramah Ustaz Basalamah, penting untuk tetap bersikap terbuka dan menghormati berbagai pandangan yang ada dalam keragaman umat Islam.
Saya tidak ingin jauh mengomentari pendapat-pendapat ulama tersebut, lebih jauh saya ingin membahas mengenali konten-konten yang disajikan oleh PIS. Secara umum PIS menyampaikan kritiknya dengan renyah dan sangat rasional. Tidak lupa ia mengajak warga net untuk beragama dengan akal sehat, atau bahkan lebih jauh PIS ingin mengajak orang utuk “menuhankan akalnya”.
Mengandalkan akal rasional untuk memahami agama memang memiliki sisi positif, seperti penyampaian pesan yang logis dan mudah dipahami. Namun, ini juga bisa menjadi jebakan dalam cara memahami agama. Jika agama hanya dipahami melalui akal rasional manusia, maka ada risiko manusia mulai menuhankan akalnya sendiri, seperti yang terlihat pada beberapa pegiat media sosial dari Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS).
Ini menjadi masalah baru karena beragama tidak bisa sepenuhnya mengandalkan akal untuk mencapai kebenaran, apalagi untuk sampai pada Tuhan. Akal atau rasionalitas manusia memiliki keterbatasan dalam memahami hal-hal yang bersifat ilahi dan transendental. Banyak ajaran agama yang memerlukan iman dan kepercayaan yang mendalam, yang tidak selalu bisa dijelaskan atau dibuktikan secara rasional.
Pengalaman spiritual dan hubungan dengan Tuhan seringkali berada di luar jangkauan logika manusia. Jika kita terlalu mengandalkan akal, kita berisiko mengabaikan aspek spiritual dan mistis dalam agama, yang bisa mengurangi kedalaman dan kekayaan pengalaman beragama kita.
Oleh karena itu, beragama harus menjadi perpaduan antara akal, iman, dan pengalaman spiritual. Menggunakan akal untuk mendalami agama memang penting, tetapi harus diimbangi dengan keimanan dan penerimaan terhadap misteri ilahi yang tidak selalu dapat dijelaskan oleh logika manusia.
Baca juga: Meneroka Makna Manusia sebagai Khalifah
Imam al-Ghazali, seorang pemikir dan cendekiawan Islam yang memainkan peran penting dalam sejarah pemikiran Islam, menawarkan kritik yang mendalam terhadap penggunaan akal rasional manusia dalam memahami agama.
Salah satu kritik utamanya adalah tentang keterbatasan akal manusia dalam menangkap hakikat dan kebenaran agama. Baginya, akal manusia memiliki batasan yang jelas dalam memahami aspek-aspek yang lebih tinggi dan spiritual, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan dan dunia metafisika. Kritiknya ini menekankan bahwa akal semata tidaklah cukup untuk mencapai pemahaman yang benar tentang agama.
Selanjutnya, al-Ghazali juga menentang pemikiran filsafat dan teologi rasional yang terlalu mengandalkan akal dalam mencapai pemahaman agama. Baginya, penggunaan akal semata tidak dapat mencapai pemahaman yang benar tentang hakikat Tuhan, kehidupan setelah mati, dan aspek-aspek metafisika lainnya. Dalam pandangannya, kebenaran agama melebihi batasan-batasan akal manusia dan memerlukan dimensi spiritual yang lebih dalam.
Al-Ghazali menolak ide bahwa hukum alam atau pengetahuan tentang alam semesta bisa menjadi sumber pengetahuan yang cukup untuk memahami agama. Menurutnya, kebenaran agama memerlukan pengalaman spiritual dan wahyu yang tidak dapat dicapai melalui pengamatan dan analisis alam semesta semata. Ia lebih menekankan pentingnya pengalaman mistis dan intuisi dalam mencapai pemahaman agama yang benar.
Oleh karena itu, al-Ghazali mempromosikan praktik tasawuf (misticisme Islam) sebagai sarana untuk mencapai pemahaman spiritual yang lebih dalam dan kesadaran akan kehadiran Tuhan. Baginya, tasawuf memberikan akses langsung kepada pengalaman transendental yang tidak dapat dicapai melalui akal rasional semata.
Dengan demikian, kritik al-Ghazali terhadap akal rasional manusia menyoroti pentingnya pendekatan holistik yang menggabungkan akal, intuisi, dan pengalaman spiritual dalam mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang agama dan Tuhan.
Untuk itu, Islam tidak pernah mengajarkan manusia untuk menjadikan akal sebagai objek penyembahan atau menjadikannya sebagai satu-satunya alat untuk memahami agama secara keseluruhan. Bagi Islam, iman memegang peran yang sangat penting dan menjadi tingkatan paling tinggi dalam memahami kebenaran agama. Konsep ini menekankan bahwa iman, atau keyakinan yang mendalam kepada Allah dan ajaran-Nya, berada di atas akal manusia.
Dalam ajaran Islam, akal dianggap sebagai salah satu anugerah Allah yang harus dimanfaatkan dengan bijak untuk memahami dunia dan memecahkan masalah. Namun, Islam juga mengajarkan bahwa akal manusia memiliki batasan dan keterbatasan dalam memahami aspek-aspek agama yang bersifat metafisika dan transendental.
Oleh karena itu, sementara akal merupakan alat yang penting dalam memahami agama, iman tetap menjadi landasan utama yang lebih tinggi dan lebih penting dalam mengarahkan kehidupan dan pemahaman kebenaran agama.
Pentingnya iman dalam Islam menunjukkan bahwa hubungan pribadi dengan Allah dan keyakinan yang mendalam kepada-Nya melampaui kemampuan akal manusia. Iman memberikan panduan moral, spiritual, dan etika yang mendasar bagi kehidupan manusia, sementara akal hanya merupakan sarana untuk memahami dan mengaplikasikan prinsip-prinsip iman tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, Islam menekankan pentingnya keseimbangan antara akal dan iman dalam mencapai pemahaman yang utuh tentang agama dan kebenaran. Wallahu a’lam bisshawab