
Pemerintah baru-baru ini mengumumkan kebijakan kontroversial yang memberikan kewenangan kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola pertambangan. Langkah ini menuai berbagai reaksi dari berbagai pihak, termasuk dari Aktivis Peneleh Jang Oetama (APJO).
Kebijakan tersebut diumumkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, dalam sebuah konferensi pers. Menurut Arifin, pemberian kewenangan ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat lokal melalui ormas keagamaan yang dinilai memiliki pengaruh kuat di tingkat akar rumput. “Kami percaya ormas keagamaan bisa menjadi mitra strategis dalam memastikan pengelolaan tambang yang lebih berkelanjutan dan inklusif,” kata Arifin.
Namun, kebijakan ini mendapat tanggapan kritis dari Aktivis Peneleh Jang Oetama. Koordinator Nasional Aktivis Peneleh, Muh Fadhir Lamase menyatakan kekhawatirannya terkait potensi dampak negatif dari kebijakan ini.
“Kami khawatir kebijakan PP No 25 Tahun 2024 ini akan mencipta instabilitas kebangsaan. Hal itu bisa ditelaah dari berbagai aspek, dari aspek hukum terjadi kontradiksi dengan undang-undang, aspek kerusakan lingkungan, konflik horizontal kemasyarakatan, konflik elit ormas dan pengabaian tugas utamanya dan manifestasi kuasa politik ekonomi Presiden Jokowi,” ungkap Fadhir.
Fadhir juga menjelaskan, bahwa pemberian kewenangan ini bisa membuka celah bagi praktek-praktek eksploitasi yang tidak bertanggung jawab dan merusak lingkungan. Selain itu, pengelolaan tambang memerlukan keahlian teknis dan pengetahuan lingkungan yang mendalam.
“Ormas keagamaan mungkin memiliki niat baik, tetapi mereka tidak memiliki kapasitas teknis yang memadai untuk mengelola tambang secara berkelanjutan. Ini bisa berujung pada kerusakan lingkungan yang lebih parah,” lanjut pria kelahiran Buol tersebut.
“Jika ditelaah dari perspektif hukum dan kesejahteraan ekonomi masyarakat Indonesia, sebenarnya kebijakan ini telah bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33. Harusnya, peraturan seperti PP tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya. UUD 1945 pasal 33 secara tegas merangkum tentang maksud mendasar perekonomian nasional. Yakni, seluruh cabang produksi yang menguasai hajat orang banyak (air, bumi dan kekayaan alam bermuara untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,” jelasnya.
Fadhir lebih lanjut menguraikan bahwa Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2024 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, pada pasal 83A merupakan karpet merah pada organisasi kemasyarakatan keagamaan (ORMAS), hal ini hanya akan memberi kesejahteraan pada elit-elit tertentu saja, bukan pada masyarakat umum.
Kehadiran PP No. 25 tahun 2024 ini justru berpotensi memicu konflik horizontal antar kalangan ormas dan masyarakat adat. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 32 konflik agraria akibat tambang sepanjang tahun 2023, hal itu berdampak hebat pada 48.000 keluarga dari 57 desa di lokasi pertambangan.
Selain itu, APJO juga menyoroti potensi konflik kepentingan yang bisa muncul dari kebijakan ini. “Keterlibatan ormas keagamaan dalam pengelolaan tambang bisa menciptakan konflik baru, terutama jika kepentingan ekonomi mulai menggeser tujuan sosial dan keagamaan mereka,” kata Fadhir.
Menumpulkan nalar kritis ormas sebagai agen perantara (intermediality agent). Artinya, PP No. 25 tahun 2024 ini berpotensi membungkam kalangan ormas jika dimasa mendatang terjadi gejolak/konflik tentang pertambangan itu sendiri. Sehingga ormas hanya menjadi benteng sekaligus selang infus para elit kekuasaan.
Hal lain yang perlu kita soroti dalam pembentukan PP no 25 tahun 2024 ini semacam manifestasi politik Presiden Jokowi di akhir periode kepemimpinannya. Mengingat regulasi ini akan berjalan sejak 2024 hingga 2029 mendatang,” pungkas Fadhir.
Kontroversi seputar kebijakan ini diperkirakan akan terus berlanjut, dengan berbagai pihak yang terus mengawasi pelaksanaannya. Pemerintah diharapkan tidak banyak citra dan tidak cawe-cawe ke ormas keagamaan. (ABK/Red)