
Rombongan pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan suku Moi mendatangi gedung Mahkamah Agung di kawasan Jakarta Pusat awal pekan lalu. Mengenakan busana khas budaya masing-masing, mereka menggelar doa dan ritual adat di depan kantor lembaga peradilan tertinggi itu, serta diiringi solidaritas mahasiswa Papua dan sejumlah organisasi masyarakat sipil.
Melalui aksi damai yang digelar, masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi berharap Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka.
“Kami datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Ibu Kota Jakarta untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan ini,” ujar Hendrikus Woro.
Perlu diketahui, bahwa masyarakat adat suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya sama-sama sedang terlibat dalam gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka. Gugatan kedua suku tersebut saat ini sedang memasuki tahap kasasi di Mahkamah Agung.
Hendrikus Woro menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro–bagian dari suku Awyu. Sayangnya, gugatan yang dilayangkan Hendrikus kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua.
Proses kasasi di Mahkamah Agung adalah harapan terakhir yang tersisa untuk mempertahankan hutan adat yang telah menjadi warisan leluhurnya dan menghidupi marga Woro secara turun-temurun. Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan terhadap PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya.
“Kami sudah cukup lama tersiksa dengan adanya rencana sawit di wilayah adat kami. Kami ingin membesarkan anak-anak kami melalui hasil alam. Sawit akan merusak hutan kami, kami menolaknya,” jelas Rikarda Maa, perempuan adat Awyu.
Baca juga: Perundingan Iklim sedang Berjuang untuk Menyepakati Pendanaan bagi Negara-Negara Miskin
Sementara itu, sub suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit. PT SAS sebelumnya memegang konsesi seluas 40 ribu hektare di Kabupaten Sorong. Pada 2022, pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan PT SAS, disusul dengan pencabutan izin usaha.
Tak terima dengan keputusan itu, PT SAS menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta. Perwakilan masyarakat adat Moi Sigin pun melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Setelah hakim menolak gugatan itu awal Januari lalu, masyarakat adat Moi Sigin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Mei 2024.
Ekspansi perusahaan sawit PT IAL dan PT SAS akan merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat Awyu dan Moi selama puluhan tahun ke belakang.
Hutan tersebut juga habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, serta penyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar. Operasi PT IAL dan PT SAS dikhawatirkan memicu deforestasi yang akan melepas 25 juta ton CO2e ke atmosfer, memperparah dampak krisis iklim di Indonesia.
“Perjuangan suku Awyu dan Moi adalah upaya terhormat demi hutan adat, demi hidup anak-cucu mereka hari ini dan masa depan, dan secara tidak langsung kita semua. Kami mengajak publik untuk mendukung perjuangan suku Awyu dan Moi dan menyuarakan penyelamatan hutan Papua yang menjadi benteng kita menghadapi krisis iklim,” ungkap Sekar Banjaran Aji, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia.
Menilik perjuangan mereka, Suku Awyu dan Moi telah melewati serangkaian proses yang tak mudah demi mempertahankan hutan adat. Meski putusan pengadilan yang mereka terima sebelumnya tak sesuai harapan, mereka tak berhenti menempuh langkah hukum demi menuntut adanya keadilan atas wilayah di mana mereka menjalani kehidupan sehari-hari. (ABK/Red)