Oleh: Hendra Jaya (Aktivis Peneleh Jang Oetama, PKC PMII Jawa Timur)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tingkat kabupaten/kota dan provinsi akan segera dilaksanakan. Para calon kepala daerah mulai menunjukkan berbagai intrik untuk meraih simpati masyarakat.
Mereka memasang baliho di berbagai titik strategis sepanjang jalan raya untuk meningkatkan visibilitas. Selain itu, banyak calon yang mulai mendekati masyarakat dan melakukan kampanye secara terselubung. Promosi melalui dunia maya juga menjadi salah satu strategi yang terus digencarkan, dengan penggunaan platform seperti Facebook, Instagram, dan TikTok untuk menarik perhatian pemilih muda dan melek teknologi.
Salah satu fenomena yang menonjol adalah para calon melakukan ziarah ke makam-makam tokoh besar di Indonesia. Ziarah ini, yang seharusnya merupakan kegiatan spiritual dan penghormatan, sering kali dimanfaatkan sebagai alat kampanye dengan tujuan memoles citra mereka.
Momen ziarah tersebut diabadikan dan disebarluaskan di media sosial sebagai bagian dari strategi pencitraan. Akibatnya, ziarah yang berkedok kampanye ini menjadi pemandangan umum dalam rangkaian upaya para calon untuk mendapatkan dukungan di Pilkada mendatang.
Tidak hanya itu, untuk maju menjadi calon dalam Pilkada, para bakal calon harus mendapatkan rekomendasi dari partai politik atau, jika memilih jalur independen, harus mengumpulkan sejumlah dukungan berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari warga.
Jalur independen ini cenderung lebih sulit karena memerlukan pengumpulan dukungan dalam jumlah besar, yang memerlukan upaya dan sumber daya yang signifikan. Oleh karena itu, banyak bakal calon memilih untuk mencari rekomendasi dari partai-partai politik besar.
Rekomendasi ini tidak hanya terbatas pada partai-partai yang lolos ke Senayan (Dewan Perwakilan Rakyat), tetapi juga termasuk partai-partai yang memiliki perwakilan di tingkat kabupaten/kota atau provinsi. Selama partai tersebut memiliki anggota dewan di tingkat lokal, mereka berhak mengeluarkan rekomendasi bagi para calon. Akibatnya, bakal calon berlomba-lomba mendapatkan dukungan dari partai besar sebagai jalan yang lebih pasti untuk maju dalam kontestasi Pilkada.
Saat ini, proses perubahan rekomendasi partai sedang berlangsung. Para calon kepala daerah berlomba-lomba mendekatkan diri kepada Ketua Umum partai, tidak hanya di tingkat daerah tetapi juga hingga ke pusat. Mereka berusaha memastikan dukungan partai untuk memperlancar perjalanan politik mereka.
Fenomena ini mirip dengan semut yang berebutan gula: manis tetapi berpotensi menyebabkan masalah, seperti diabetes dan obsitas. Isu yang berkembang adalah adanya mahar politik yang harus disiapkan oleh calon untuk mendapatkan rekomendasi dari partai.
Menurut informasi dari salah satu bakal calon di kabupaten, biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan surat rekomendasi dari partai bisa berkisar antara 1 hingga 5 miliar rupiah, itupun tergantung kursi DPR yang ada di daerah, konon, 1 kursi DPR dibayar 500 juta ke pusat, di kepengursan cabang 1 partai berkisar 60-150 juta-angka yang tidak main-main bukan?
Layaknya panen raya untuk partai-partai, tidak heran jika saat ini, tokoh-tokoh di negeri kita berlomba-lomba mendirikan partai politik. Tetapi yang jelas, politik uang semacam ini menambah tantangan bagi calon kepala daerah dan menimbulkan berbagai perdebatan tentang etika dan transparansi dalam proses politik lokal.
Sejak awal, politik di Indonesia telah bersifat transaksional, dengan segala sesuatunya berbasis pada materi. Ketua partai sering kali menyatakan bahwa, “lu punya uang lu berkuasa, lu gak punya uang lu jangan mimpi tentang berkuasaā€¯.
Pernyataan ini menggambarkan realitas di mana kekuasaan politik sangat bergantung pada kekuatan finansial. Akibatnya, calon yang terpilih dalam proses pemerintahan cenderung berpikir tentang bagaimana cara mengembalikan modal yang telah dikeluarkan untuk mendapatkan posisi tersebut.
Hal ini menyebabkan praktik pemerasan di kalangan pejabat daerah, di mana kepala dinas dipaksa oleh eksekutif untuk menyetorkan sejumlah uang sebagai syarat menduduki jabatan mereka.
Prinsip “lu mau jadi kepala dinas, lu harus setor ke gua, lu punya uang lo jadi kepala dinas” menjadi norma yang merusak integritas dan fungsi pemerintahan. Paradigma dan model gerakan semacam ini menciptakan lingkungan yang koruptif dan merusak tata kelola pemerintahan di Indonesia, menghambat terciptanya pemerintahan yang bersih dan akuntabel.
Untuk itu, perlu ada evaluasi mendalam terhadap sistem demokrasi berbasis kepartaian di Indonesia yang sangat liberal. Efektivitas sistem ini dalam membangun negara harus dipertanyakan.
Terutama jika kita melihat pengalaman masa lalu yang menunjukkan bahwa sistem kepartaian sering kali membawa Indonesia ke dalam berbagai masalah. Banyak yang berpendapat bahwa sistem ini justru menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang kehancuran, dengan politik transaksional dan korupsi yang mengakar kuat.
Alternatif yang bisa dipertimbangkan adalah kembali ke sistem Musyawarah Mufakat berbasis perwakilan. Sistem ini menekankan pada pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, bukan berdasarkan mayoritas suara yang sering kali dipengaruhi oleh kekuatan finansial dan kepentingan partai.
Dengan musyawarah mufakat, keputusan diambil melalui diskusi dan konsensus, yang berpotensi menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Mengadopsi kembali sistem ini bukan tanpa tantangan, tetapi dapat menjadi langkah penting dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan dan mengurangi korupsi.
Sistem musyawarah mufakat mendorong keterlibatan semua pihak dalam proses pengambilan keputusan, sehingga lebih sulit bagi individu atau kelompok tertentu untuk mendominasi dan memanipulasi hasil untuk kepentingan pribadi atau golongan. Oleh karena itu, evaluasi dan mungkin adopsi kembali sistem ini layak dipertimbangkan sebagai upaya untuk menciptakan pemerintahan yang lebih bersih, transparan, dan bertanggung jawab.
Editor : Anik Meilinda