
Oleh: Ibnu Syifa (Kepala Sekolah Aktivis Peneleh)
Selama ini, kita sering mendengar peran manusia sebagai khalifah di muka bumi? Namun, sudahkah kita benar-benar memahami apa sebenarnya makna menjadi seorang khalifah dalam kehidupan yang kita jalani saat ini?
Adanya hubungan timbal balik di setiap gerak, tindakan, ucapan dan kejadian dalam hidup manusia menjadikan dasar disebutnya manusia sebagai makhluk sosial. Memang tidak dapat dipungkiri, kita sebagai manusia pasti membutuhkan bantuan atau bahkan sekedar perhatian dari manusia lain.
Yuval Noah Harari menuliskan bahwa sejarah mencatat bagaimana manusia hari ini masih eksis dikarenakan manusia berhasil mewujudkan hubungan ideal antara sesamanya. Coba kita renungkan, dari dulu hingga sekarang berapa banyak bantuan yang telah diterima sehingga masih bisa dan berkesempatan untuk sekedar membaca tulisan ini.
Namun tampaknya, akan sangat egois jika predikat makhluk sosial ini hanya difokuskan pada hubungan timbal balik yang terjadi antara sesama manusia. Mengingat Allah menciptakan banyak makhluk di alam semesta, yang sering kita dengar dengan sebutan malaikat, setan, manusia, tumbuhan dan binatang.
Disadari atau tidak, sejak manusia dilahirkan dari rahim Ibu manusia sudah berdampingan dengan keempat makhluk ciptaan Allah lainnya. Karena berdampingan, maka secara logis antara makhluk satu dengan makhluk yang lain akan saling mempengaruhi. Pengaruhnya bukan hanya pada sifat, watak atau kepribadian saja, namun tentang jangka usia hidup dan eksistensinya di alam semesta.
Berkaitan dengan eksistensi antar makhluk untuk lebih fokusnya kita bicarakan tentang manusia, tumbuhan dan binatang. Ketiga makhluk ini dapat dilihat dengan mata telanjang ataupun dengan alat bantu lihat dan ketika berbicara tentang eksistensi yang sifatnya metafisik, tiga makhluk ini menjadi objek yang menarik untuk didiskusikan.
Semua dikarenakan indikasi ideal kehidupan ditentukan oleh keberadaan ketiganya. Maksudnya ideal atau tidaknya suatu kehidupan akan tercipta ketika suasana antar ketiganya berjalan secara harmonis. Tidak ada yang perlu merasa terancam hilang atau punah.
Saat kita membaca Jared Diamond dalam karyanya yang berjudul Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed, Diamond begitu banyak menyinggung tentang hilangnya atau hancurnya peradaban terdahulu dan digantikan dengan peradaban yang sedang kita jalani saat ini.
Perlu digarisbawahi pada kata hilang dan hancur. Kata ini menegaskan bahwa ada suatu eksistensi yang tiada. Diamond menuliskan ketiadaan paling tidak dipengaruhi oleh empat faktor, yakni kesengajaan atau tidak kesengajaan, pengaruh iklim, permusuhan dan persahabatan. Dari empat faktor tersebut kemudian coba dikelompokkan lagi, sehingga menjadi dua faktor, karena ulah manusia dan pengaruh iklim/alam.
Pengelompokan dilakukan berdasarkan asal muasal tindakannya. Kesengajaan atau tidak kesengajaan, permusuhan dan persahabatan dijadikan satu dikarenakan hal ini sangat erat hubungannya dengan tindakan manusia.
Sedangkan untuk pengaruh iklim disendirikan karena perubahan iklim berhubungan dengan adanya kekuatan dari Sang Maha Pencipta, meskipun ada asumsi yang mengatakan perubahan iklim yang tidak menentu hari ini disebabkan karena ulah manusia. Namun, hukum tata alam terkait iklim ketentuannya tetap mutlak berada pada kuasa Sang Pencipta.
Dilihat secara kuantitas faktor kerusakan akibat ulah tangan manusia lebih besar dibandingkan siklus alam. Sehingga bisa dikatakan kunci ideal kehidupan berada di tangan manusia. Ini sangat tepat dengan salah satu ayat Al-Quran yang menjelaskan bahwasanya manusia diturunkan ke muka bumi sebagai seorang khalifah yang nantinya bisa merawat kehidupan. Maka artinya tanggung jawab untuk menjaga keberlangsungan eksistensi makhluk merupakan tugas manusia.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami sentiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah : 30)
Namun yang disayangkan, dewasa ini nilai antroposentrisme masif tertanam pada masyarakat dunia. Pengaplikasian nilai antroposentris secara ekstrim dapat berdampak pada rusaknya ideal kehidupan. Seperti yang hari ini kita rasakan, berapa luasnya hutan yang telah digunduli untuk kepentingan hidup sebagian manusia?
Padahal jika kita melihat menggunakan kacamata ekologi ketika ada kerusakan yang terjadi pada hutan, maka pihak yang dirugikan bukan hanya tumbuhan di hutan tersebut. Kerugian dapat merembet pada makhluk hidup di sekitarnya juga, baik itu binatang atau manusia sendiri.
Inilah kiranya yang terjadi pada peradaban-peradaban manusia terdahulu, mereka hilang karena ulah tangan mereka sendiri. Kemajuan dan kejayaan yang dikejar justru berbalik menyerang mereka sendiri. Lalu kita yang hidup sekarang bagaimana menyelesaikan persoalan turun-temurun ini?
Untuk menjawab persoalan tersebut, coba kita menengok pada ajaran Islam yang membawa semangat Rahmatan lil Alamin. Semangat yang mengajarkan bagaimana semua yang terjadi di alam semesta ini merupakan bentuk kasih sayang yang diberikan oleh Allah.
Konsekuensi dari semangat Rahmatan lil Alamin adalah tauhid. Seroang Muslim ketika menerapkan apa yang disebut Rahmatan lil Alamin maka seharusnya tiap gerak hidupnya selalu mengingat akan rahmat yang diberikan Allah kepadanya dengan rasa beribadah.
Ketika yang demikian ini tertanam dan menjadi kebiasaan maka selain tindakannya sebagai bentuk ibadah namun juga terwujud dalam bentuk rasa kasih sayang, karena dia tahu apa yang dia lakukan merupakan contoh dan tindakan seperti yang dilakukan Tuhannya.
Rumusan langkah teknis yang bisa kita lakukan hari ini ialah, kita orang muslim yang tahu, sadar dan meyakini akan keberadaan Allah, bertindaklah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam melalui perantaranya, baginda Nabi Muhammad saw.
Aplikasikan rasa kasih sayang pada tiap-tiap makhluk, jadilah seperti kekasih Allah yang konon ceritanya, para kekasih Allah tidak akan memetik atau mencabut tumbuhan jika tidak benar-benar ada kepentingan. Kekasih Allah bertindak dalam konsumsi bukan karena ingin tapi karena butuh. Kekasih Allah akan menghargai setiap kehidupan yang diberikan pada tiap-tiap makhluknya.
Baca juga: Terpenjara dalam AKU
Dari sini disimpulkan tanggungjawab merawat, menjaga alam dan generasi masa depan adalah tugas kita sebagai manusia. Biarkan anak cucu kita merasakan sejuknya nuansa pegunungan bukan hanya merasakan ruang 3×3 meter yang terdapat alat kotak pengeluar hawa dingin.
Izinkan mereka mendengar merdunya suara burung di pagi hari, bukan bisingnya mesin-mesin pabrik. Lihatlah mereka berlari bahagia mengejar cantiknya warna-warni kupu-kupu, bukan mengurungnya dengan suapan gadget di tangan.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi