World Water Forum ke-10 diadakan di Bali selama satu minggu sejak 18-25 Mei 2024. Agenda rutin setiap tiga tahun sekali ini mendadak ramai karena munculnya sekelompok orang yang mengatasnamakan pihak ormas Patriot Garuda Nusantara (PGN) membubarkan diskusi tandingan yang diinisasi oleh aktivis dan masyarakat sipil dengan tajuk People’s Water Forum (PWF) pada Senin, 20 Mei 2024.
Awalnya, PWF yang awalnya diselenggarakan di ISI Denpasar itu terpaksa dijadwalkan ulang karena aksi pembubaran paksa oleh anggota ormas PGN. Dilansir oleh YLBHI, mereka bahkan mencopot serta merampas spanduk, baliho, karya seni dan atribut agenda kegiatan secara paksa. Tak hanya itu, mereka juga melakukan kekerasan fisik kepada peserta forum dan meretas ponsel panitia PWF.
Tak pelak, diskusi pun dialihkan ke Hotel Oranjje keesokan harinya. Sayangnya, aksi pemboikotan diskusi ini berlanjut dan dilakukan dengan cara yang semena-mena. Pada kesempatan kedua itu, tempat kegiatan diskusi, dalam hal ini Hotel Oranjje, disegel dengan garis batas polisi. Wartawan pun dilarang masuk untuk melakukan peliputan. Bahkan, pembicara yang sedianya ikut hadir pun dicegat masuk ke dalamnya.
Serangkaian kericuhan yang terjadi di Bali ini tentu menimbulkan pertanyaan besar bagi kita? Mengapa sebuah aksi diskusi yang bertujuan untuk mencari solusi atas permasalahan air dewasa ini justru dilarang? Apakah ada kepentingan negara dan sekelompok penguasa yang terusik akan forum gelaran rakyat itu?
Perlu diketahui, People’s Water Forum atau biasa disingkat dengan PWF merupakan wadah bagi para aktivis keadilan air, mulai dari penduduk perkotaan dan pedesaan, petani kecil, masyarakat adat, organisasi keadilan sosial dan lingkungan, hingga serikat pekerja di pemerintah lokal dan nasional
Tujuan dari dibentuknya forum ini ialah untuk melawan agenda perusahaan air yang mendorong privatisasi air di berbagai sektor kehidupan dan membangun alternatif yang berkelanjutan dan adil untuk melindungi air sebagai hak asasi manusia dan sebagai bagian dari milik bersama.
Gerakan yang menuntut keadilan air global kemudian membentuk PWF setelah forum alternatif tahun 2022 yang diadakan di Dakar, Senegal. PWF sendiri mengklaim dirinya sebagai ruang permanen bagi gerakan keadilan air untuk terus menantang upaya korporasi dalam tata kelola air global, serta memperkuat upaya untuk melibatkan dan menentang gelaran World Water Forum tiap tiga tahun.
Jika ditelisik lebih jauh, apa yang menjadi keresahan masyarakat setempat di Bali ialah soal krisis air yang berawal dari eksploitasi berlebihan para pemilik usaha dan wisata di sana. Isu mengenai Bali yang disebut telah mengalami overtourism, situasi di mana sebuah wilayah telah melebihi kapasitasnya dalam melakukan kegiatan wisata, pun dibantah oleh pemerintah dan pihak yang berkepentingan.
Baca juga: UKT Mahal, Kampus Melanggar Undang-Undang, Pemerintah Gagal Mewujudkan Pancasila
Padahal, dari beberapa data yang telah dipublikasikan, gejala mengenai industrialisasi Bali sebagai destinasi wisata dari tahun ke tahun semakin. Terbaru, penelitian yang dilakukan Irnawan dan Suryawan menunjukkan bahwa privatisasi sempadan atau batas pantai semakin banyak dilakukan di Bali. Alhasil, masyarakat sekitar, seperti yang terjadi di Sanur beberapa tahun lalu, terusir saat hendak menikmati pesona alam wilayahnya sendiri.
Upaya melawan privatisasi air yang ditempuh oleh para aktivis lokal Bali sejatinya telah sejalan dengan amanat hukum dan konstitusi. Bukankah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 2 dan 3 menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dalam hal ini, air tentu termasuk dalam kriteria di atas.
Persoalan krisis air yang terjadi di Bali hendaknya membuka mata masyarakat bahwa masih ada begitu banyak kebijakan yang melenceng dari cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia. Akankah kita terus berdiam diri atau mulai bangun dan menguatkan solidaritas untuk mencari keadilan yang kian hari kian sulit untuk kita temui di negeri ini?
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi