
Oleh: Hendra Jaya (Mahasiswa Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” (Pembukaan UUD 1945)
Sejak di sekolah dasar, hampir setiap hari Senin kita mendengar kalimat dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dibacakan oleh petugas upacara bendera. Kalimat yang memiliki kedalaman makna tersebut salah satunya menitikberatkan pada kewajiban pemerintah Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kewajiban ini sejalan dengan Pancasila, khususnya sila ke-5 yang menekankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekadar menyediakan akses ke pendidikan, tetapi juga memastikan bahwa pendidikan tersebut berkualitas dan dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Pendidikan yang berkualitas dan terjangkau adalah hak setiap warga negara, sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Bahkan, jika menafsirkan sila ke-5 Pancasila dan alinea ke-4 dalam pembukaan UUD 1945 dengan lebih mendalam, rakyat Indonesia berhak memperoleh pendidikan secara gratis dan tidak terbatas hanya sampai tingkat SMA.
Kewajiban ini menuntut pemerintah untuk tidak hanya menyediakan infrastruktur pendidikan, tetapi juga memastikan bahwa biaya pendidikan tidak menjadi penghalang bagi siapapun untuk mendapatkan ilmu. Pendidikan gratis yang berkualitas hingga tingkat yang lebih tinggi adalah wujud nyata dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan keadilan sosial.
Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil dalam sektor pendidikan benar-benar mencerminkan komitmen terhadap amanah undang-undang dan Pancasila, memberikan akses pendidikan yang merata dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Paradigma materialis yang mendominasi kampus-kampus telah menggeser tujuan utama pendidikan. Pendidikan, yang seharusnya menjadi alat untuk membangun kecerdasan dan kemerdekaan bagi rakyat, kini lebih sering dimanfaatkan sebagai sarana untuk meraih keuntungan finansial. Nilai-nilai kemanusiaan dan sosial diabaikan, digantikan oleh dorongan untuk menjadikan pendidikan sebagai industri yang menguntungkan.
Polemik PTN-BH dan UKT Mahal bagi Keterjangkauan Pendidikan Tinggi
Sebagai konsekuensi dari dominasi paradigma materialis ini, banyak kampus berlomba-lomba untuk menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Status PTNBH memberikan otonomi yang lebih besar kepada perguruan tinggi untuk mengatur keuangan dan operasionalnya sendiri, termasuk kebebasan untuk menetapkan biaya kuliah. Sayangnya, kebebasan ini sering disalahgunakan untuk melambungkan biaya pendidikan tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial mahasiswa dan keluarganya.
Akibatnya, mahasiswa dari kalangan ekonomi lemah menjadi korban utama dari kebijakan ini. Biaya kuliah yang terus meningkat membuat pendidikan tinggi semakin sulit diakses oleh orang-orang miskin. Alih-alih menjadi sarana untuk meningkatkan taraf hidup dan memberdayakan masyarakat, pendidikan justru berubah menjadi beban yang mencekik rakyat kecil.
Situasi ini memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi, serta menegaskan bahwa pendidikan di Indonesia masih jauh dari tujuan idealnya untuk memajukan kesejahteraan umum. Bahkan Presiden Joko Widodo telah menyatakan kekhawatirannya mengenai rendahnya jumlah sarjana dan magister di Indonesia.
Ironisnya, di tengah kekhawatiran ini, banyak kampus justru sibuk menaikkan biaya pendidikan. Kebijakan menaikkan biaya ini mengabaikan kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat tidak mampu menjangkau biaya pendidikan yang tinggi, sehingga harapan untuk meningkatkan jumlah lulusan sarjana dan magister semakin jauh dari kenyataan.
Keputusan kampus-kampus untuk terus menaikkan biaya pendidikan memperburuk situasi, menghalangi akses pendidikan tinggi bagi banyak orang. Biaya yang tidak terjangkau oleh mayoritas masyarakat menjadi hambatan besar dalam upaya meningkatkan angka partisipasi pendidikan tinggi.
Tanpa akses yang memadai dan terjangkau, sulit untuk memenuhi kuota sarjana dan magister yang diinginkan oleh pemerintah, apalagi untuk menciptakan masyarakat yang berpendidikan tinggi dan siap bersaing di pasar global.
Respon Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan jenjang tersier dan bukan bagian dari program wajib belajar juga menambah ironi situasi ini. Pernyataan ini menunjukkan kurangnya pemahaman tentang pentingnya akses yang lebih luas ke pendidikan tinggi bagi pembangunan bangsa.
Mereka lupa bahwa untuk dapat berbicara dan berargumen seperti itu, mereka sendiri membutuhkan pendidikan tinggi. Keadaan ini membuat banyak orang merasa bahwa kebijakan pendidikan di negara ini semakin mirip dengan sebuah lelucon, karena bertentangan dengan realitas kebutuhan masyarakat dan visi pembangunan nasional.
Alokasi Dana Pendidikan: Antara Cita-Cita dan Realita
Meskipun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2023 mengalokasikan Rp612,2 triliun untuk sektor pendidikan, realitas di lapangan menunjukkan ketidaksesuaian antara alokasi dana dan kondisi yang dihadapi masyarakat. Dari jumlah tersebut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menerima anggaran sebesar Rp237,1 triliun untuk belanja pendidikan.
Pemerintah bahkan merencanakan anggaran pendidikan sebesar Rp665,02 triliun atau 20 persen dari APBN 2024 dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang unggul, inovatif, berintegritas, dan berdaya saing menuju Indonesia Emas 2045 .
Ironisnya, meskipun dana yang dialokasikan cukup besar, banyak kampus masih mencari tambahan dana dari mahasiswa dengan menaikkan biaya pendidikan. Hal ini memunculkan dugaan bahwa ada oknum-oknum yang memangkas atau menyalahgunakan dana tersebut.
Beberapa lembaga mengindikasikan bahwa sektor pendidikan merupakan salah satu lahan subur bagi praktik korupsi. Jika ini benar, maka dana yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan memperluas akses justru hilang akibat ulah segelintir pihak yang tidak bertanggung jawab.
Terlepas dari berbagai permasalahan tersebut, masyarakat seharusnya tidak menjadi korban dari kebijakan dan praktik yang tidak adil ini. Pemerintah dan lembaga terkait harus memastikan bahwa dana yang dialokasikan untuk pendidikan benar-benar sampai kepada yang membutuhkan dan digunakan secara efektif.
Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pendidikan harus ditingkatkan agar tujuan mulia meningkatkan kualitas sumber daya manusia dapat tercapai dan masyarakat dapat merasakan manfaat nyata dari anggaran yang besar tersebut.
Saat ini, kita menyaksikan kegagalan pemerintah dalam menjalankan amanah undang-undang dan Pancasila, khususnya dalam sektor pendidikan. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak seluruh lapisan masyarakat kini dimonopoli oleh kampus-kampus.
Kebijakan kampus yang cenderung mengabaikan prinsip-prinsip Pancasila dan UUD 1945 memperlihatkan adanya kontradiksi antara teori dan praktik. Di satu sisi, di kampus-kampus diajarkan tentang kebaikan, keadilan, dan kesejahteraan, namun pada kenyataannya, tindakan para pengelola kampus sering kali bertolak belakang dengan nilai-nilai tersebut, seakan mereka telah dirasuki oleh sifat-sifat yang bertentangan dengan moral dan etika yang diajarkan.
Baca juga: Revolusi Total Pendidikan Indonesia
Hal ini sangat menyedihkan dan menimbulkan perenungan bagi penulis hampir setiap saat. Bagaimana tidak, kampus yang seharusnya menjadi tempat untuk menanamkan nilai-nilai luhur justru menjadi tempat di mana praktik-praktik yang tidak adil dan tidak manusiawi berlangsung. Pemerintah pun sering kali menyanyikan slogan tentang keadilan dan kesejahteraan, namun dalam praktiknya, hasilnya nihil.
Ketidaksesuaian antara retorika dan realita ini menimbulkan kekecewaan yang mendalam. Melihat situasi ini, mungkin sudah saatnya kita memberikan nilai C atau raport merah kepada rektor kampus dan pemerintah. Namun, lebih dari itu, yang dibutuhkan adalah evaluasi bersama terhadap sistem yang ada di negeri ini. Perlu ada perlawanan yang terorganisir dan strategis untuk menuntut perubahan.
Tanpa perlawanan, kemerdekaan dan keadilan tidak akan terwujud. Perlawanan yang dimaksud bukan sekadar kritik, tetapi juga tindakan nyata yang terarah untuk memperbaiki sistem dan memastikan bahwa amanah undang-undang dan Pancasila benar-benar dijalankan demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi