
Oleh: Hendra Jaya
Setiap tahun, tepatnya pada tanggal 20 Mei, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang ditandai dengan berdirinya organisasi Boedi Oetomo di Jawa pada tahun 1908. Meskipun penetapan ini telah diterima secara luas, ada alasan yang kuat untuk mempertanyakan relevansinya sebagai simbol kebangkitan nasional Indonesia.
Pertama, Boedi Oetomo pada awalnya lebih berfokus pada isu-isu pendidikan dan kesejahteraan sosial bagi priyayi Jawa, bukan gerakan nasionalis yang inklusif untuk seluruh rakyat Indonesia. Organisasi ini tidak secara eksplisit menargetkan kemerdekaan dari penjajahan Belanda, melainkan lebih pada memperjuangkan peningkatan status sosial-ekonomi kelompok elit Jawa.
Selain itu, banyak tokoh dan peristiwa lain yang berperan signifikan dalam membangun kesadaran nasional di Indonesia, seperti Perhimpunan Indonesia di Belanda, Sarekat Islam, dan berbagai pemberontakan rakyat di berbagai daerah.
Oleh karena itu, menjadikan berdirinya Boedi Oetomo sebagai simbol tunggal kebangkitan nasional terasa kurang mewakili semangat perjuangan kemerdekaan yang lebih luas dan beragam. Mengingat kompleksitas sejarah perjuangan nasional, mungkin sudah saatnya kita mempertimbangkan kembali apa yang seharusnya menjadi simbol yang lebih inklusif dan representatif dari kebangkitan nasional Indonesia.
Saya pun sependapat dengan hal tersebut. Setidaknya ada dua alasan mengapa saya tidak setuju dengan penetapan tersebut. Petama, Boedi Oetomo merupakan organisasi yang hanya mengorganisir masyarakat Jawa dan Madura.
Jika dikatakan sebagai kebangkitan nasional, seharusnya organisasi tersebut mampu mengorganisir seluruh wilayah Indonesia secara keseluruhan. Selain itu, Boedi Oetomo hanya merangkul kaum-kaum elit, seperti para priyayi dan intelektual, sementara masyarakat akar rumput tidak dapat menembus struktur organisasi yang eksklusif ini.
Akibatnya, Boedi Oetomo tidak sepenuhnya mencerminkan perjuangan nasional yang inklusif dan menyeluruh. Kebangkitan nasional seharusnya melibatkan semua lapisan masyarakat dan seluruh daerah di Indonesia, bukan hanya sekelompok kecil dari wilayah tertentu.
Oleh karena itu, penetapan Hari Kebangkitan Nasional sebaiknya didasarkan pada simbol atau peristiwa yang lebih representatif dari semangat perjuangan kemerdekaan yang inklusif dan melibatkan seluruh rakyat Indonesia. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Firdaus AN:
“…Boedi Oetomo adalah organsasi sempit, lokal dan etnis, dimana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya”. Selain itu dalam rapat-rapat perkumpulan, Boedi Oetomo menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia.
“Tidak pernah sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri,” papar KH. Firdaus AN.
Karena itu, lanjut Firdaus, Boedi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekaan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia, dan Boedi Oetomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.
Lantas apa yang menjadi penanda akan Hari Kebangkitan Nasional?
Menandai Hari Kebangkitan Nasional dengan lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI), yang kemudian berkembang menjadi Sarekat Islam (SI), merupakan pilihan yang lebih representatif. SDI didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 di Jawa Tengah, diinisiasi oleh H. Samanhudi yang awalnya menghimpun para pedagang batik.
Namun, ketika dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto, gerakan ini mengalami transformasi signifikan. Tidak hanya menjadi sebuah gerakan ekonomi, tetapi juga menjadi gerakan sosial kemasyarakatan yang melibatkan anggota dari berbagai lapisan masyarakat secara nasional.
Perubahan ini menunjukkan evolusi SDI menjadi organisasi yang lebih terbuka dan berorientasi pada perjuangan nasional yang lebih luas. Transformasi menjadi Sarekat Islam mencerminkan semangat persatuan dan perjuangan untuk kemerdekaan yang melibatkan seluruh masyarakat Indonesia, bukan hanya terbatas pada kelompok tertentu seperti yang terjadi pada Boedi Oetomo.
Dengan demikian, memperingati Hari Kebangkitan Nasional dengan lahirnya SDI yang kemudian menjadi SI memberikan pengakuan yang lebih tepat terhadap peran organisasi ini dalam membangun kesadaran nasional dan perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.
Sarekat Islam (SI) memang memperlihatkan nasionalisme yang lebih luas dalam keanggotaannya, tidak terbatas hanya pada masyarakat Jawa dan Madura. Para pemimpinnya seperti Haji Samanhudi, H.O.S. Tjokroaminoto, Agus Salim, Abdoel Moeis, dan AM. Sangaji berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Maluku, menunjukkan keragaman geografis dalam struktur organisasinya.
Tujuan utama SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan, dan tolong-menolong di antara umat Muslim serta mengembangkan perekonomian rakyat. Meskipun SI berlabel agama Islam dan hanya memperbolehkan anggota dari kalangan Muslim, hal ini tidak menghalangi organisasi ini untuk tetap peka terhadap perbedaan.
Penggunaan label Islam dipilih karena dianggap sebagai harta yang tersisa setelah penjajahan Belanda, dan juga karena Islam diyakini dapat menjadi sarana pemersatu bangsa. Namun, penting untuk dicatat bahwa meskipun berbasis agama, SI tidak menutup diri terhadap pluralitas dan aspirasi seluruh rakyat. Prinsip-prinsip Islam seperti keadilan, kesejahteraan umat, dan keberpihakan kepada yang lemah menjadi landasan bagi kemajuan yang diinginkan oleh SI bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, inklusivitas SI dalam keanggotaannya serta kesadaran akan pluralitas dan keadilan sosial yang dianutnya menjadikannya sebagai organisasi yang progresif dan berorientasi pada kemajuan seluruh rakyat Indonesia, tanpa membatasi diri pada kelompok tertentu.
Selain karena inklusivitas keanggotaannya, Sarekat Islam (SI) juga memiliki kontribusi signifikan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. SI merupakan organisasi pertama yang secara terbuka menyatakan aspirasi untuk kemerdekaan Indonesia (Zelfbestuur) pada tahun 1916, di tengah kolonialisme Belanda yang kuat. Pernyataan ini menjadi titik awal penting dalam perjalanan menuju proklamasi kemerdekaan Indonesia yang pertama.
Keberanian HOS Tjokroaminoto dalam memperjuangkan kemerdekaan menjadi warisan yang berharga bagi para muridnya, seperti Soekarno, Kartosoewirjo, Alimin, dan Musso, yang kemudian melanjutkan perjuangan tersebut. Pemikiran dan semangat perjuangan yang ditanamkan oleh H.O.S. Tjokroaminoto dalam SI menjadi landasan bagi para pemimpin dan aktivis kemerdekaan selanjutnya untuk terus menggalang perjuangan dan memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.
Dengan demikian, peran SI dalam menyatakan aspirasi kemerdekaan serta warisan keberanian dan semangat perjuangan dari H.O.S. Tjokroaminoto kepada para pemimpin masa depan menjadi bukti nyata kontribusi organisasi ini dalam perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, memperingati Hari Kebangkitan Nasional dengan mengakui peran SI dalam sejarah perjuangan kemerdekaan adalah suatu penghormatan yang tepat dan relevan.
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi