Beberapa waktu belakangan, masyarakat internasional dikejutkan dengan gelombang mobilisasi mahasiswa dan dosen Amerika Serikat di berbagai kampus yang ada. Sebagai fenomena yang mengemuka di hadapan kita, tentu ada pertanyaan mendasar tentang ke mana sebenarnya muara dari gerakan ini?
Salah satu kampus yang menjadi pelopor gerakan demonstrasi ini ialah Columbia University, kampus yang telah banyak melahirkan pemikir brilian dari berbagai belahan dunia, termasuk 60 lulusan yang meraih penghargaan nobel seperti Harold C. Urey di bidang kimia, Polykarp Kusch di bidang fisika, William Vickrey di bidang ekonomi, hingga Dickinson Richards di bidang pengobatan.
Tak hanya itu, beberapa lulusan universitas ini juga ada yang menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) layaknya Franklin Delano Roosevelt dan Barrack Obama. Sementara itu, lulusan Columbia asal Indonesia yang berprestasi ialah Prof. Azyumardi Azra, intelektual serta penulis prolifik yang menjadi pakar tentang sejarah Islam, khususnya di wilayah Indonesia dan Asia Tenggara. Nama lain asal Indonesia yang juga lulusan kampus kenamaan ini antara lain Cinta Laura, Tasya Kamila, hingga Eri Gudono.
Gerakan demonstrasi yang pada perkembangannya menjalar ke berbagai kampus lain di Amerika Serikat ini tentu tidak bermuatan kosong. Skala demonstrasinya pun semakin membesar dari hari ke hari. Bahkan, tak sedikit mahasiswa serta dosen dan profesor ikut terlibat dalam gerakan penting ini. Imbas dari hal ini, banyak jadwal kelas dan perkuliahan yang dibatalkan dan ditangguhkan sementara waktu.
Kericuhan antara aparat yang dikerahkan oleh pihak kampus atau pemerintah dengan para pendemo pun tidak bisa terelakkan. Situasi ini semakin memanas ketika para mahasiswa dan dosen mendukung gerakan mogok secara massal dari masing-masing kampus tempat mereka belajar dan mengajar.
Seiring berjalannya waktu, tuntutan yang diberikan oleh demonstran pun mengemuka ke publik. Ya, secara kompak dan serentak isi dari tuntutan yang diajukan ialah agar kampus bersedia melakukan divestasi terhadap perusahaan atau lembaga yang mendukung genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Israel atas Palestina.
Secara sederhana, divestasi berarti pelepasan atau penghentian aliran dana yang diperoleh oleh kampus tertentu dari sebuah perusahaan atau lembaga. Hal ini biasanya berkaitan dengan kerja sama atau kolaborasi kemitraan, di mana sebuah perusahaan bersedia mengucurkan sejumlah dana tertentu bagi universitas dengan skema kerja sama yang disepakati bersama.
Tiga perguruan tinggi, yaitu Universitas Brown, John Hopkins, dan Northwestern, telah membuat kesepakatan antara kampus dan para mahasiswa pengunjuk rasa. Mereka akan membahas kemungkinan divestasi dari perusahaan-perusahaan Israel ataupun lembaga yang mendukung militer Israel di Palestina.
Berkaitan dengan divestasi, tiga perguruan tinggi di atas mempertimbangkan hal tersebut. Selain menarik uang kuliah dari mahasiswa, kampus-kampus di AS juga mengandalkan investasi maupun sumbangan dari individu, perusahaan, dan lembaga. Berdasarkan data Departemen Pendidikan AS tahun 2023, di 100 perguruan tinggi, nilai investasi dari pihak luar mencapai 375 juta dollar AS.
Sebagai contoh, dalam kasus Universitas Brown, misalnya, mahasiswa mengidentifikasi 11 perusahaan yang menurut mereka menyokong genosida di Palestina. Apabila dihitung, nilai dari 11 perusahaan ini kurang dari 10 persen investasi swasta di universitas tersebut. Ini pula yang diduga membuat Brown mau mempertimbangkan divestasi.
Baca juga: Melihat Fenomena Korean Wave dari Sudut Pandang Teori Komunikasi: Uses and Effects Theory
Melihat perkembangan ke depan, tak menutup kemungkinan lebih banyak kampus lain di Amerika Serikat yang akan mengambil jalur serupa. Pertanyaan yang patut kita renungkan justru bukanlah berapa banyak universitas di sana yang berani mengambil langkah divestasi, tetapi bagaimana kabar dukungan dan perjuangan nyata yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen di Indonesia? Apakah kita akan mengambil bagian dengan peristiwa global yang terjadi? Atau masih berkutat dengan masalah sendiri di negeri ini?
Editor: Ahmad Bagus Kazhimi