
doc. istimewa
Bimasakti Satyarsa
Politisi tidak boleh karbitan. Tidak boleh hanya menjajaki kebaikan secara material semata. Mentang-mentang kaya kemudian merasa layak untuk memimpin suatu masyarakat di suatu daerah. Mentang-mentang kaya, maka tinggal bayar masyarakat untuk membantunya berkampanye. Tinggal bayar masyarakat untuk memilihnya. Jadi selama perjalanan gerakan politiknya serta kampanyenya, hanya dihabiskan untuk mengelabui hati masyarakat. Padahal kalau seandainya karir politiknya benar-benar dibangun dari level terbawah dari masyarakat, entah mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau tidaknya, jalan menjadi pemimpin tidaklah meleset.
Gusti mboten sore, kawan. Takdir menjadi pemimpin itu sudah digariskan dan tidak perlu dipaksakan secara transaksional. Oh ya, saya ingatkan dulu, tulisan ini bukan tulisan yang menggiring opini kebencian terhadap suatu prosesi politik yang ada. Tidak ada giringan kebencian hingga memilih golongan putih (golput) nantinya. Tapi untuk menggiring kesadaran sebagai masyarakat atau pada politisi agar lebih tersadar terhadap jalan politiknya.
Belum lagi soal politik dinasti, ini tidak beda jauh dengan politisi karbitan yang saya maksud. Politik dinasti melanggengkan jalan politis dengan kekuatan pengaruh keluarga. Sehingga mentang-mentang–sebut saja–Antonio anak dari Jacob, Kepala Daerah Bastina, maka yang dikampanyekan stigma anak dari pemimpin juga punya kapasitas kepemimpinan yang sama. Jacob pun selaku orang tua sangat mendukung anaknya menjadi walikota di kota Dharmanda.
Berbagai kampanye juga dibantunya untuk mendapatkan keinginan anaknya tersebut. Hal semacam ini harus diukur terlebih dahulu dengan rekor atau riwayat gerakan sosial yang saya sebut di paragraf sebelumnya. Kapasitas kepemimpinan paling objektif adalah dilihat dengan sebesar apa pengaruhnya terhadap gerakan pembangunan kemasyarakatannya. Bukan hanya sekadar dilihat dari siapa keluarganya dan identitas belakanya.
Kalau dilihat dari politik dinastinya, apa bedanya dengan politik monarki? Apakah daerah-daerah Indonesia menerapkan sistem kerajaan? Kalau memang tidak ya jangan dicampur adukkan lagi warna politik di negara kita ini. Selebihnya, pembaca juga pasti tahu lah contoh-contoh politik dinasti lainnya di negara Indonesia. Bisa dibaca juga di infografis Praktik Politik Dinasti yang Lumrah di Indonesia, Kompas edisi 21 November 2023.
Seandainya kita seorang politisi…
Politisi yang baik itu seperti HOS Tjokroaminoto. Seorang Guru Bangsa yang memiliki pengaruh besar terhadap gerakan sosial-politik-budaya di Indonesia. HOS Tjokroaminoto tidaklah membangun karir politiknya secara karbitan seperti para politisi yang marak saat ini. Ia memiliki karir sosial yang jatuh bangun dan murni untuk kemerdekaan Indonesia. Analisanya bisa kita telaah dari bagaimana karya-karya HOS Tjokroaminoto dalam membangun kesadaran masyarakat Hindia-Timur kala itu. Dari Islam dan Nasionalisme, Sosialisme Islam, Tarich Agama Islam, Memeriksai Alam Kebenaran, Tafsir Program Asas dan Program Tandhim, Reglemen Wasiat untuk Umat Islam, dan lain sebagainya. Tak heran HOS Tjokroaminoto juga memberikan rekomendasinya untuk para calon pemimpin sebagaimana dikatakannya:
Jikalau engkau ingin menjadi pemimpin besar, maka berbicaralah seperti orator dan menulislah seperti wartawan.
Rekomendasi HOS Tjokroaminoto ini saja menjadi daya ukur bagi para kita atau para politisi, agar memiliki kemampuan berbicara yang tegas dan juga menulis. Karena logikanya, menulis berarti memiliki ide atau gagasan, serta berbicara tegas seperti orator, berarti tegas bersikap dan bertindak. Sehingga karakter semacam ini saja haruslah terimplementasi pada setiap pemimpin. Buktinya HOS Tjokroaminoto sendiri sudah membuktikannya dengan melahirkan banyak karya, omongannya selalu dinantikan oleh masyarakat bahkan Soekarno sendiri terinspirasi dari gaya orasi HOS Tjokroaminoto, dan bahkan HOS Tjokroaminoto sukses dengan Sarekat Islam berpengaruh besar pada pembangunan masyarakat Hindia-Timur kala itu.
Tak mengherankan juga banyak murid-muridnya turut menjadi founding fathers Indonesia. Seperti Soekarno, Hamka, Semaoen, Kartosoewirjo, Tan Malaka, KH. Wahab Hasbullah, dan lain sebagainya. Apakah ini secara kebetulan? tentu tidak, pemirsa. Dari HOS Tjokroaminoto seharusnya para politisi hari ini harus sering-sering evaluasi diri. Haruslah menjadi Politisi ke-Tjokro-an. Sebagaimana dalam buku Hamka; Ulama Serba Bisa dalam Sejarah Indonesia, disebutkan bahwaorang-orang Jawa kala itu menyebut Tjokro berarti yang cerah pemikirannya.
Kalau kita membicarakan HOS Tjokroaminoto secara personal sebagai politisi, tentunya banyak hal yang sangat mendalam terkait esensi politik itu sendiri. HOS Tjokroaminoto tidak serta merta mewakilkan diri sebagai wakil rakyatuntuk dipilih oleh masyarakat. Tapi masyarakat sendirilah yang memilihnya sebagai Ratu Adilyang dapat membawa perubahan besar untuk masyarakat dari keterjajahan.
Semurni-murni Tauhid, Setinggi-tinggi Ilmu, Sepintar-pintar Siyasah.Merupakan trilogi HOS Tjokroaminoto yang populer dikalangan penggemarnya. Trilogi pemikiran ini memiliki esensi yang saling berkaitan. Siyasah yang dimaksud adalah politik. Namun politik yang dibangun tentunya harus berlandaskan ilmu serta ketauhidan yang benar-benar murni. Politik tidak hanya dibangun dari pondasi kekuasaan semata yang sifatnya material.
Dengan usaha kita sendiri saja, tanpa petunjuk Kitabullah dan bimbingan Allah, kita tidaklah mungkin mendapat pengetahuan yang sepenuh-penuhnya dari gejala-gejala alam tentang berbagai bentuk tanda bukti Kebenaran Allah dengan segala Kebesaran dan Keesaan-Nya, walau hanya sekadar yang ada di kalangan maddi (material).HOSTjokroaminoto dalam Tafsir Program Asas dan Tandhim.
Seandainya kita seorang politisi…
Semoga menjadi politisi yang siap memperjuangkan keadilan di dunia hingga akhirat.
Referensi:
Samuel Huntington. 1997. Gelombang Demokrasi Ketiga. Jakarta. Graffiti.
Christopher Lazarski. 2012. Power Tends to Corrupt: Lord Acton’s Study of Liberty. Illinois. NIU Press.
Yoshihara Kunio. 1993. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta. Pustaka LP3ES.
Tim Historia. 2018. HAMKA : Ulama Serba Bisa dalam Sejarah Indonesia. Jakarta. Penerbit Kompas.
Hos Tjokroaminoto. 2011. Tafsir Program Asas dan Program Tandhim Syameat Islam.Jakarta. DPP Syarikat Islam.
Artikel Praktik Politik Dinasti yang Lumrah di Indonesia, Kompas edisi 21 November 2023.