Bimasakti Satyarsa
Masih kita menyoroti fenomena politik prasmanandi Indonesia. Mungkin kali ini akan saya wakilkan dengan berbagai term lainnya berkaitan dengan bagaimana prosesi politik yang mengatasnamakan demokrasi di Indonesia. Namun kali ini coba kita fokuskan pada lingkup prosesi politik yang ada di daerah-daerah dan saya berikan kritik beserta rekomendasinya. Berandai saja dulu, seandainya kita seorang politisi.
Seandainya kita seorang politisi…
Politisi itu sebenarnya adalah kebaikan. Kebaikan yang apabila kita sudah menduduki sebagai pejabat atau pemangku jabatan di suatu instansi pemerintahan. Maka sudah menjadi tugas wajib untuk merumuskan kebijakan yang berpihak pada pembangunan kemasyarakatan beserta potensi daerah yang dimiliki. Ini sudah jelas tanpa tambahan teori pemerintahan apapun lagi. Sudah menjadi kewajiban utama seorang pejabat yang juga mengalami proses politik dalam perjalanannya hingga eksekusi kebijakannya. Intinya, siap memimpin dan siap dipimpin, patah tumbuh, hilang berganti.
Membicarakan masa 2024, masih menjadi pembicaraan umum masyarakat terkait siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Karena di tahun ini, khusus di Indonesia, mengatasnamakan pesta demokrasi dengan bergulirnya Pemilihan Umum (Pemilu), Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA), serta Pemilihan Legislatif (PILEG). Sehingga setiap calon wakil rakyat yang mengajukan dirinya untuk memimpin, mengharuskan kampanye dimana-mana untuk menggapai hati rakyat agar ia dipilih menjadi pemimpin.
Kampanye secara umum yang tengah dimulai yakni dengan memasang baliho-baliho yang berisikan wajah calon pemimpinuntuk lebih familiar dan dipilih. Untuk strategi kampanye lainnya cukup variatif. Ada yang menggelar suatu kampanye dengan membagi-bagikan sembako kepada masyarakat. Ya, untuk menyenangkan hati masyarakat dan agar masyarakat mau memilihnya sebagai timbal balik jasa kebaikan.
Saya rasa pembaca yang budiman lebih tahu bagaimana jalannya kampanye calon wakil rakyat yang sering berseliweran di sekitar kita. Ketika prosesi politik semacam ini, secara transaksional belaka terjadi, maka apa yang diharapkan dari pembangunan kesadaran masyarakat secara demokratis? Belum lagi persoalan transaksional di tubuh partai politik itu sendiri.
Samuel Huntington (1993) sendiri telah merekomendasikan indikator demokrasi. Yaitu: 1) Pemilihan umum secara demokratis, 2) Rotasi kekuasaan yang tidak boleh dipegang secara terus menerus oleh penguasa, 3) Rekrutmen secara terbuka tanpa batasan dan masyarakat berhak berkontribusi, 4) Akuntabilitas publik yang mana pertanggungjawaban pemimpin terhadap masyarakat benar-benar transparan dan fair. Namun lagi-lagi ya, uang berbicara segalanya. Terasa percuma berbagai teori dari para pakar untuk diimplementasikan di negeri ini.
Terkait kampanye calon wakil rakyat yang masif di sekitar masyarakat, sudah saya jelaskan kritik saya di tulisan sebelumnya, baca politik kok prasmanan.Saya mengkritisi gaya kampanye yang hanya menampilkan senyum di setiap media-media yang ada. Maupun yang sudah menggunakan gaya milenial yang bersentuhan dengan media digital, masih sama menggunakan konsep lama. Hanya menampilkan sosok kebaikanlewat senyum saja. Dimana visi-misi dan dimana gerakan sosial yang sudah dibangunnya? Kalau tidak ada, maka sama saja, bolehlah kita sebut politisi karbitan.
Seorang politisi karbitan adalah politisi yang hanya menggunakan kuasa kekayaan atau kuasa dinasti, bahkan sekadar popularitas, untuk mempermudah jalan politiknya sebagai politisi. Hari ini telah menjamur banyak politisi semacam ini. Politisi yang memiliki kekayaan–entah hasil usaha atau memang kaya–sehingga memberanikan diri untuk terjun pada dunia politik. Disangkanya dengan menjadi pejabat maka meyakinkan diri untuk membangun sosial daerah dengan perumusan regulasi pemerintahan beserta kebijakannya.
Hal ini tidak menjadi salah besarnya suatu sistem pemerintahan terhadap pembangunan masyarakat daerah. Tapi justru menjadi salah besarnya adalah ketika tidak diawali dengan gerakan sosialnya terlebih dahulu. Tidak pernah bergotong royong bersama masyarakat dalam suatu kegiatan, tidak pernah membangun perubahan dalam skala kecil di masyarakat, bahkan paling parahnya tidak pernah bersentuhan dengan kegiatan masyarakat secara langsung, ini menjadi kesalahan besar. Karena algoritma pemikirannya bakal berbeda dengan orang yang benar-benar merasakan apa yang dialami masyarakat secara langsung.
Bagi orang yang benar-benar bergelut dengan kegiatan sosial kemasyarakatan, akan langsung menemukan solusi yang pas untuk masyarakat. Lantas bagaimana ceritanya seorang calon wakil rakyat tapi tidak punya rekor atau riwayat kemasyarakatan–di suatu daerah–kemudian ujug-ujug memberanikan diri untuk memimpin daerah tersebut. Sebut saja si Antonio yang notabene-nya besar di kota Sambana kemudian nyalegatau mewakilkan diri menjadi walikota di kota Dharmanda. Ini sudah membingungkan masyarakat–kalau mereka sadar–kenapa mau memimpin daerah yang kultur masyarakat dan potensi daerahnya pun tidak diketahui Antonio. Percayalah Antonio, memimpin tidak selucu komedi di tanah demokratis.
Ketika seseorang percaya diri untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat dengan cara dipilih melalui Pemilu, Pilkada, dan Pileg, maka haruslah dirinya menyadari. Bahwa tidak selucu itu mencalon diri dengan cara karbitan. Yakni dengan cara menggelontorkan kekuatan harta kekayaan atau kuasa keluarga.
Kampanye perpolitikan hari ini memang identik dengan berapa banyak danakampanye yang dimiliki. Dana untuk cetak baliho, dana untuk bakti sosial bagi-bagi sembako, dana untuk partai politik, dana untuk bagi-bagi kue politik, dan lain sebagainya. Namun saya berasumsi, apabila seorang calon wakil rakyat yang notabene-nya orang kaya dan seorang pengusaha sukses, maka apa yang ingin dicarinya sebagai wakil rakyat nantinya? Sepertinya bukan hanya kekayaan lagi yang ia cari. Tapi perluasan aset kekayaan serta kemudahan regulasi untuk mempermudah jalan usaha bisnisnya.
Sebagaimana Yoshihara Kunio (1990) menyebutnya fenomena ini sebagai kapitalisme semu (ersatz capitalizm).Ini asumsi saja ya, entah kalau memang benar. Tetap saja ini disebut politisi karbitan. Dampak besarnya tentu kecenderungan untuk korupsi mudah saja terjadi. Selaras bukan dengan adagium power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutelydari Lord Acton (1833-1902). Nah, politisi yang bahkan tidak paham teori sosial dan teori pemerintahan. Hal ini sangat berbahaya dan tidak berdampak apapun secara signifikan terhadap masyarakat atau daerah yang dipimpinnya, apabila terpilih. Ya, masyarakat pun harus sadar akan gejala politis semacam ini. Jangan mau terbuai dengan kebaikan secara instan saja.
bersambung……