Hendra Jaya
Tanggal 14 Februari semakin dekat. Setiap detik yang berlalu semakin mengukuhkan keberadaan Pemilu di ufuk. Suasana politik yang semakin memanas merambah ke segala penjuru, menciptakan gelombang gejolak di tengah masyarakat. Para calon pemimpin tidak hanya berlomba untuk meningkatkan elektabilitas dan mendapatkan dukungan, tetapi juga terlibat dalam perlombaan membuat gorengan terrenyah yang siap disantap oleh masyarakat.
Dalam konteks ini, politik bukan hanya menjadi panggung perdebatan ideologi dan visi-misi, tetapi juga ajang untuk menciptakan citra yang menarik dan meraih hati rakyat melalui “goreng-gorengan isu” atau menciptkan isu terseksi. Di tengah-tengah persaingan ketat, partisipan pemilu tidak hanya diharapkan untuk menjadi pemimpin yang visioner, tetapi juga harus mampu meracik gorengan yang lezat.
Isu-isu kemanusiaan yang pada awalnya memberikan dukungan kuat kepada Prabowo menjadi bahan perbincangan di berbagai kalangan dan media. Namun, setelah pemilihan selesai, terjadi ketidakselarasan dalam penanganan isu-isu tersebut. Prabowo dinilai kurang tegas, dan pemerintah yang telah terpilih dianggap tidak mampu menegakkan hukum secara konsisten.
Perkembangan terkini menunjukkan bahwa isu-isu tersebut kembali mencuat dalam wacana politik. Calon pemimpin lain dan media memerdebatkan kembali isu-isu kemanusiaan yang sebelumnya menjadi fokus. Ironisnya, setelah pemilihan selesai, isu-isu tersebut terlupakan dan tidak mendapatkan penanganan serius dari pemerintah yang baru.
Muncul juga akhir-akhir tentang Prof. Mahfud MD dalam isu perempuan. Meskipun Prof. Mahfud telah membahasnya sebelum menjadi calon wakil presiden, isu ini menjadi ramai di media sosial setelah pencalonannya. Hal ini cukup disayangkan dan hanya membuang energi saja.
Isu-isu agama juga kerap menjadi bahan pembicaraan yang digoreng dengan berbagai cara selama tahun-tahun politik. Dari perdebatan tentang “amin” yang berujung pada kasus penistaan agama hingga kasus kontroversial Ahok. Politik Indonesia sering kali diwarnai oleh isu-isu keagamaan yang disajikan sebagai gorengan renyah. Pertanyaan mendasar mengenai penegakan hukum dan keadilan dalam konteks ini menjadi semakin penting.
Politik di Indonesia sering diibaratkan sebagai politik gorengan, yang diolah dengan berbagai bumbu untuk mendapatkan rasa yang diinginkan. Analogi ini mencerminkan kompleksitas dan dinamika politik di tanah air. Ada upaya untuk menciptakan citra yang menarik dan lezat, namun terkadang diabaikan kualitas substansi di baliknya.
Pola dan desain pendidikan politik perlu mendapatkan perhatian khusus dalam menghadapi realitas politik yang semakin kompleks ini. Masyarakat seharusnya tidak hanya disuguhkan dengan politik yang menarik perhatian, tetapi juga harus diberikan pemahaman yang mendalam tentang isu-isu krusial yang memengaruhi kehidupan mereka.
Namun, sayangnya, masyarakat sering kali dibingungkan oleh informasi yang bersifat sugestif dan tidak memadai. Saat tahun politik tiba, mereka dihadapkan pada berbagai tontonan dan isu-isu yang seakan-akan menjadi hiburan, tetapi sebenarnya tidak memberikan kedewasaan politik. Dalam konteks ini, pendidikan politik perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat memahami dan menilai isu-isu politik dengan bijak. Politik kita, politik gorengan, yang digoreng juga daging babi, kalaupun goreng daging sapi, pakai minyak babi, jadi haram. Pola dan desain pendidikan politik harus dirubah, masyarakat tidak boleh disuguhkan dengan daging babi atau daging yang digoreng dengan minyak babi.
Kebingungan masyarakat semakin diperumit oleh ketidakjelasan dalam menentukan pilihan politik. Mereka mencari arah dan pedoman dalam sosok-sosok yang dianggap sebagai “kiblat” dalam kehidupan sosial dan agama. Namun, terkadang, para tokoh yang diharapkan menjadi panutan justru terjerat dalam ruang-ruang kepentingan politik, menyulitkan masyarakat dalam menentukan pilihan yang tepat.
Para kyai, yang diharapkan dapat menjadi penengah dalam masyarakat, terkadang terjerat dalam kepentingan politik yang sempit. Mereka yang seharusnya memberikan petunjuk moral dan spiritual, terkadang terbawa arus kepentingan politik yang jauh dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Begitu juga dengan kaum intelektual, yang seharusnya mampu menjadi pencerah di tengah kegelapan politik. Namun, mereka pun tidak luput dari pengaruh arus politik yang sering kali membutakan pandangan objektif. Keberpihakan pada kelompok atau golongan tertentu dapat mengaburkan nalar dan menghambat kontribusi nyata dalam memecahkan masalah-masalah masyarakat.
Masyarakat Indonesia di tahun politik berada dalam dilema antara tuntutan politik yang menarik perhatian atau kebutuhan akan pemahaman mendalam tentang isu-isu yang dihadapi. Mereka dihadapkan pada suguh-suguhan politik yang terkadang hanya berupa sensasi tanpa substansi. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat perlu dibekali dengan pemahaman politik yang lebih matang agar dapat mengambil keputusan yang bijak.
Penting untuk memahami bahwa politik bukanlah sekadar tontonan atau ajang hiburan semata. Politik adalah instrumen utama dalam pembentukan nasib bangsa dan negara. Oleh karena itu, pola dan desain pendidikan politik harus dirancang sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat mengembangkan kritisitas dan kecerdasan politik yang tinggi.
Baca juga tulisan dari Bimasakti : https://koranpeneleh.id/2023/12/27/politik-kok-prasmanan/
Dalam menghadapi isu-isu kompleks seperti penegakan hukum, kemanusiaan, dan keadilan, masyarakat harus mampu melihat melampaui permukaan dan memahami akar permasalahan. Politik gorengan, yang mungkin menarik perhatian untuk sementara waktu, harus diimbangi dengan pemahaman mendalam tentang realitas politik yang kompleks dan dinamis.
Isu-isu krusial seperti penegakan hukum, hak asasi manusia, dan kebebasan berpendapat tidak boleh hanya menjadi alat untuk meraih dukungan selama kampanye politik. Setelah pemilihan selesai, pemimpin yang terpilih harus memiliki tanggung jawab untuk menangani isu-isu ini dengan serius dan konsisten.
Masalah isu-isu agama juga perlu ditangani dengan bijak. Kontroversi seputar penistaan agama dan kasus-kasus yang dapat memicu perpecahan masyarakat harus diatasi dengan pendekatan yang adil dan mengedepankan nilai-nilai kebhinekaan. Politik yang mengadopsi isu-isu agama harus selaras dengan semangat pluralisme yang menjadi dasar bangsa Indonesia.
Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam memandang politik sebagai suatu proses pembentukan kebijakan. Mereka bukan hanya sebagai penonton, tetapi juga sebagai partisipan yang memiliki hak dan tanggung jawab dalam menentukan arah negara. Pendidikan politik yang efektif harus memberikan wawasan dan keterampilan kepada masyarakat untuk berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab dalam proses politik.