Bimasakti Satyarsa
“Perihal prasmanan, semua hal bebas memilih dan meninggalkan. Terserah selera.”
Saya gusar, Rek. Gusar karena rasa ingin menikmati pemandangan kota, bahkan jalanan desa, tercemari oleh baliho-baliho tanpa unsur seni. Banyak sekali, satu meter dua meter kemudian, terpampang wajah-wajah dengan senyum manisnya. Paham kan kondisi saya? Sepertinya sudah lumrah di sekitar kita hal demikian.
Masih berkaitan dengan momentum tahun politik 2024. Disela-sela saya sibuk meramu resolusi terbaik untuk tahun 2024, saya juga sempatkan untuk menulis revolusi berpikir dalam tulisan ini. Ya berkaitan dengan menghadapi tahun 2024 nanti, saya sebut tahun politik prasmanan.
Kita berbicara negara dulu. Negara kita ini dari dulu, sejak masa kerajaan, kolonial, hingga saat ini, sistemnya berwajah monarki atau demokrasi pun rasanya sama saja. Dari Nusantara dengan segala warnanya, kemudian dileburkan oleh warna kolonialisme, dan akhirnya Indonesia berwarna demikian. Memang benderanya berwarna merah dan putih. Tapi etika politiknya berwarna abu-abu tua. Tidak begitu jelas. Apalagi kita batasi pembahasan kali ini dari segi perpolitikannya.
Indonesia hari ini dalam dunia politiknya bermanhaj abu-abu. Mazhabnya saja demokrasi, tapi manhaj-nya abu-abu. Terlalu mencampur adukkan warna politik yang itu justru bukan membuat lukisan negara kita semakin mahal nilai intrinsik seni dan moralnya. Justru semakin kacau tak bernilai. Memang kekacauan warna lukisan politik di Indonesia saat ini hasil dari imajinasi nilai-nilai yang saling berselisih satu sama lain. Ibaratnya nih, Garuda Pancasila sudah terpampang di setiap dinding kelas kita, tapi untuk melukiskan ulang malah jadinya burung gagak yang pertanda adanya suatu kematian. Ya, kematian jati diri bangsa beserta pranata konsitusi sosialnya.
Bila saya tanya, apa menurutmu tentang politik? Atau saya khususkan deh, pada para calon legislatif atau eksekutif yang mencalonkan diri saat ini, apa itu politik? Saya berani jamin, antum-antum sekalian rada kelabakan menyusun penjelasan tentang politik agar terdengar wibawa dan bijak. Sederhananya saja, bisa kita analisa dari omongan ke omongan, bahwa nyaleg atau mencalonkan diri untuk dipilih masyarakat, maka akan menambah kekayaan secara nominal di rekeningnya. Intinya, antum nyaleg dan terpilih, maka akan kaya. Sudah menjadi rahasia umum bukan, gaji para wakil rakyat sungguh fantastis perbulannya, eh bahkan per rapatnya. Sehingga anak muda kemarin sore, akan terinspirasi untuk menempuh jalur kekayaan melalui jalan politik semacam ini. Eh, apakah bahasa saya terlalu frontal? Tapi paham kan, maksud saya untuk paragraf ini?
Hal seperti ini sering terdengar dari omongan calon dalam restunya terhadap partai politik yang disinggahinya. Mahar politik atau pun uang perahu juga kerapkali menjadi isu penting dalam dalih menjalanan mesin politik individu atau pun partai. Hal seperti ini juga menjadi normatif dalam pencalonan di setiap partai masing-masing. Kemudian logikanya, tak heran seorang pengusaha-pengusaha besar pun sangat mudah untuk berkontestasi dalam panggung politik di Indonesia. Sederhanya, lu punya duit, lu punya kuasa. Urusan pengetahuan politik dan pengetahuan perumusan kebijakan, itu hal kesekian saja. Dari sini saja bisa ketahuan bagaimana alur cerita kemudian.
Inilah yang saya maksud politik prasmanan. Banyak sekali para ‘calon pemimpin’ baru yang hadir dengan segala macam warna partai di jalanan sekitar kita. Senyum mereka menjual untuk harus kita pilih sesuai nomor urut yang sudah ditentukan. Saya sih no comment, kalau mereka memang mau benar-benar berkontribusi dengan jalur politik untuk memimpin keteraturan masyarakat. Tapi saya tidak melihat dari prasamanan baliho yang ada terkait visi-misi mereka untuk mempimpin rakyat menuju kesejahteraan.
Minim sekali para calon ini menyiarkan gagasan dan ide. Secara teknik marketing saja -ibarat teori penjualan produk- saya pun tidak mendapatkan apa yang saya butuhkan berdasarkan cara mereka menjual diri mereka. Jadi supply and demand-nya justru membuat inflasi politik. Ibaratnya lagi, prasmanan yang katanya tinggal pilih, justru dikibuli dengan rasa yang tidak nyaman dan mahal pula. Alhasil, masyarakat semakin lama bakal tidak mendatangi prasmanan semacam ini. Masyarakat butuhnya kenyang, tapi tidak dipenuhi oleh mereka. Masyarakat tidak butuh banyaknya variasi sajian lauk-pauk apalagi rasanya hambar. Lebih baik satu dua lauk, tapi memang betul sedap untuk dikonsumsi.
Lanjut dulu -seandainya- hari ini kita undang para pengamat politik ke Indonesia seperti Aristoteles, Machiavelli, dan Ibn Taimiyah. Kiranya bagaimana pendapat mereka terkait warna politik Indonesia hari ini? Ketiganya dipertemukan di satu meja warung kopi (warkop) untuk mendiskusikan politik di Indonesia.
“Baguslah, kalau lembaga-lembaga demokrasi -baca partai politik- di Indonesia (Etika Nicomachean; t.t) ini semakin variatif. Sepertinya masing-masing punya gagasan besarnya,” ujar Aristoteles sambil memerhatikan lembaran-lembaran konstitusi parlemen dari tahun ke tahun.
“Coba perhatikan kembali, Tuan. Lembar demi lembar. Lembaga demi lembaga kenegaraan dari tahun ke tahun apakah terjadi konsistensi konstitusi atau justru degradasi. Saya melihat amoral dalam tiap keputusannya,” tanggap Machiavelli (Il Prince; 1532) pada Aristoteles.
“Maksudnya?” jawab Aristoteles.
“Ya maksudnya ada nilai imamah yang tidak sejalan dengan teori siyasah-mu, ya Aristo. Bisa ditinjau dari Pancasila dan UUD 1945 terlebih dahulu. Nilai-nilai sangat rapi dan kaya akan nilai-nilai kebaikan agama. Tapi ya begitulah, eksekusinya hampir mirip seperti kondisi Florence di masa Machiavelli,” tanggap Taimiyah (Siyasah Syar’iyah; 1988) atas pertanyaan Aristoteles.
“Oh begitu, baiklah saya paham. Rada ngeri ya,” ujar Aristo.
“Mau tidak mau, mau ya mau, konflik politik ini terjadi bukan karena faktor eksternal. Justru dari internal sendiri yang tidak mengamini jalan politik sebagai jalan kebaikan untuk rakyat. Istilahnya ya sebagaimana Taimiyah sampaikan tadi, korelasi moral kepemimpinan dan politik berbasis nilai yang harus diterapkan. Walau pun sih, aku memaparkan masalah ketimpangan politik, tapi kuncinya ada di kalian. Muasalnya darimu Aristo, tapi kontekstualisasinya di Taimiyah,” puji Machiavelli pada kedua teman ngopinya ini.
Masalah demi masalah, maslahah demi maslahah, teori demi teori saling bertautan. Tapi realitas implementasinya pun berbeda. Seakan tiga tokoh ini kesulitan juga memberi gambaran ideal terkait dunia politik di Indonesia. Obrolan demi obrolan berlalu, mereka pun merasa lapar. Tak heran mereka melihat warung makan depan warkop.
Warung makannya dilihat dari etalase menyediakan berbagai macam lauk-pauk. Orang-orang tinggal memilih sesuai selera mereka kemudian makan. Ada yang ambil banyak varian lauk, ada yang cuma satu lauknya, bahkan ada yang sekadar masuk warung kemudian liat etalase lalu pergi lagi. Mungkin yang terakhir sedang tidak selera untuk mencari sajian makan sesuai seleranya.
Dari sini lah mereka bertiga, kiranya sepakat bahwa politik di Indonesia, mendekati tahun 2024, merupakan politik prasmanan. Karena sejumlah ‘calon wakil rakyat’ tersedia untuk dipilih. Saking banyaknya juga, kita tidak tahu juga bagaimana prosesi hasil kebijakan nantinya untuk rakyat.
(Pesannya: teruntuk calon wakil rakyat, tolong jangan sekadar menebar senyum di baliho-baliho di jalanan atau media lainnya. Tapi tunjukkan dengan narasi serius seperti visi-misi yang konkret dan juga aksi. Kalau antum sudah terbukti aksi sosial membangun masyarakat, tidak perlu mahar politik atau uang fajar pun, maka antum terpilih. Nah, kalau sudah terpilih fokus saja menyejahterakan rakyat dulu, jangan diri sendiri yang disejahterakan.)
(Kemudian pesan untuk rakyat yang memilih, selamat merayakan perayaan politik prasmanan tahun 2024. Silakan pilih sesuai selera dan sesuai gizi. Jangan terbuai dengan janji-janji manis saja, tapi tetap harus objektif melihat kapasitas dan loyalitas yang dipilih nantinya. Kalau sudah sesuai nurani memilih, ya bagus. Kalau tidak selera juga tidak apa-apa. Bisa cari di warung sesuai selera, atau puasa saja)