Oleh: Bimasakti Satyarsa
Tahun 2024 sebenarnya merupakan tahun yang seperti biasanya tahun-tahun lain yang bergulir. Di sisi lain, pada tahun ini juga mestinya waktu bagi kita untuk terus lebih baik dari dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, di Indonesia, tahun 2024 banyak diasosisasikan sebagai tahun politik. Bagi saya, ini hanya kesempitan berpikir. Padahal kesempatan di 2024 lebih besar dari sempitnya pemikiran tentang dinamika politik 2024 semata.
Saya sering berinteraksi dengan teman, rekan, kawan, apalah itu, untuk saling berdiskusi atau pun berbagi pengalaman kehidupan. Obrolan demi obrolan, curahan demi curahan, semua tertuang dari detik ke detik, dari jam ke jam. Tak jarang karena nikmatnya obrolan yang ada, keniscayaan yang sering terjadi adalah berakhirnya obrolan di atas pukul 23.00 WIB.
Hal ini menyita rehat malam saya untuk persiapan tahajud. Tapi tak apalah, suatu momen semacam itu harus juga disyukuri. Sebelum dicabutnya nikmat sekawanan diantara belantara kesibukan duniawi saat ini. Ya, hal seperti ini sering terjadi di kota-kota besar.
Diantara obrolan-obrolan atau lebih lumrah kita sebut ngopi saja, sering terjadi singgungan pembahasan terkait politik, khususnya pilihan politik 2024. Baiklah, ini saya maklumi dan tidak apa-apa juga menjadi bumbu tambahan dalam sajian perkopian antar kawan. Namun, jelas ada keresahan dari bagaimana cara pandang politik yang justru itu terlalu sempit untuk dinikmati. Ibaratnya ini seperti air yang tidak mencapai 2 qullah, maka rada rentan dan was-was untuk digunakan untuk berwudhu.
Apa dan bagaimana sebenarnya yang dipikirkan? Ya, singgungan pembahasan tentang politik tentu sangat mudah dibahas dimulai dari fenomena kontemporer saat ini. Tentang apa itu? Tentang politik dalam kerangkeng Pemilu Raya 2024. Kenapa saya sebut kerangkeng? Karena memang dari fenomena Pemilu Raya 2024, masyarakat terpantik dengan terminologi politik beserta pilihannya sebagai landasan kesuksesan.
Sederhananya, disangkanya dengan memperjuangkan pilihan politik berdasarkan calon A, B, atau C dan sebagainya, maka akan sejahtera masa depannya. Masa depan siapa? Lagi-lagi masa depan milik si pemenang. Bukan kemenangan rakyat. Seharusnya memang masyarakat sering-sering lihat cermin spion pada masa 2019 lalu. Bukankah pada masa itu juga ‘baku hantam’ ego pilihan politik marak terjadi. Pemenangnya bukan rakyat kan? Jelas bukan, karena tetap pemenangnya adalah sang penguasa.
Ketika ditanya masifikasi isu pada tahun 2024, tentunya masyarakat, apalagi Gen Z kalau boleh saya spesifikkan justru hanya mengerti 2024 adalah tahun politik, tahunnya pesta politik, dan sejenisnya. Hal ini saya akui memang settingan konstruksi cara berpikir yang didapat dari apa yang dilihat. Khususnya apa yang ditampilkan di media-media hari ini. Konsepnya, kesadaran masyarakat adalah tergantung dari bagaimana pemantik sekitarnya yang terus berulang-ulang hadir dalam pemikirannya, ilusi kebenaran yang diyakini (Adam Khoo, 2009:20).
Sebagaimana media dan algoritmanya memfasilitasi sajian kampanye politik 2024, khsususnya dalam pemilihan presiden Republik Indonesia. Maka, masyarakat tentunya akan tergiring dalam badai opini dan ilusi fakta tentang para pasangan calon (paslon) tertentu. Kemudian, setelah terbentuknya kesadaran yang dikira cukup, berbuah suatu tindakan seperti kampanye sana-sini, proyek pemenangan sana-sini dan lain sebagainya. Kenapa demikian? Karena kesadaran pragmatis yang memantik tindakan pragmatis juga.
Mohon maaf sebelumnya kalau hal ini sudah menyinggung secara gamblang terkait pilihan politik dalam kerangkeng pemilihan paslon presiden dan wakilnya di 2024. Memang sudah menjadi rahasia umum term (istilah) pembahasan politik 2024 dengan pemilihan umum capres dan cawapres. Padahal Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Kepala-Wakil Daerah (Pilkada) juga terjadi pada waktu yang sama dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).
Memang begitu yang terjadi di sekitar kita. Banyak obrolan tentang isu politik yang saling beradu gagasan di kampanye politik saja. Tak heran, saya pun diserang pertanyaan tentang “kamu pilih paslon nomor berapa?”. Saya pun tak menjawab dan netral saja. Justru saya coba balikkan pertanyaan tersebut. “Kamu pilih nomor berapa? Kenapa kamu dukung nomor sekian?” Kemudian jawaban atas pilihannya pun tidak memuaskan gairah pemikiran saya. Karena jawabannya sangat normatif dan sudah umum saya ketahui jawaban-jawaban tersebut lewat di kolom buzzer media-media yang ada.
Hal ini sudah membuktikan, bahwa alasan pilihan politik yang dia sampaikan, bukanlah terbentuk dari nuraninya. Padahal yang saya inginkan adalah jawaban secara komprehensif dimulai dari bagaimana peran politik hingga analisis kebijakan para paslon, khususnya yang dipilihnya. Hal ini agar menguatkan wawasan analisis pilihan politiknya. Serta bukan sekadar ikut arus sana-sini yang bahkan hanya diketahuinya melalui media-media saja.
Baiklah, artikel ini menjadi pemantik pembuka dari serangkaian artikel yang senara selanjutnya. Kalau ditanya kesimpulan artikel ini apa, ya tentang cara pandang masyarakat yang kurang utuh dalam memantau realitas politik 2024. Itu saja dulu sebagai pemantik pandangan umum tentang dinamika politik 2024. Nantikan serial artikel berikutnya dengan tema yang sama.
(Oh ya, bagi yang yang punya gagasan atau tambahan ide untuk mengupas narasi tentang perpolitikan menuju 2024, sila tulis di kolom komentar. Saya akan mengolahnya senetral mungkin.)
Baca juga:
Bijak Memilih : Platform Digital Penuntun Generasi Z dalam Pemilu 2024