Revolusi Total Pendidikan Indonesia

Membahas dinamika pendidikan di Indonesia sama dengan mengurai benang kusut. Benang kusut dunia pendidikan di Indonesia, demikian kami menyebutnya. Karena evaluasi saja tidak cukup. Butuh ‘Revolusi pendidikan yang dievaluasi total’ dari hulu ke hilir.

Bahan revolusi yang pertama, kita singgung isu terkini dunia pendidikan, yakni terkait isu realisasi marketplace guru yang diinisiasi Kemendikbud pada periode jabatan hari ini. Marketplace ini berdasar apa yang disampaikan oleh Nadiem Makariem pada Rapat Kerjasama di Komisi X (24/05), selaku menteri pendidikan Indonesia, menuai pro-kontra dalam kebijakannya. Namun, kami memposisikan sebagai kubu kontra apabila program markerplace guru ini akan dilaksanakan. Alasannya sederhana, apakah program ini menjadi solutif untuk meningkatkan kualitas pendidikan kedepannya?

Marketplace guru, memang punya niat baik untuk menyejahterakan para guru, khususnya guru honorer. Dilihat dari segi kesejahteraan berbasis kapital, maka indikator kesejahteraan adalah terpenuhi kesejahteraan berbasis material (Mulawarman, 2022). Meliputi gaji, tunjangan, fasilitas dan sebagainya. Memang, konsep utuhnya belum kami terima dan ketahui sedemikian rupa. Tapi kami sudah bertanya-tanya terkait realisasi program ini, apakah memungkinkan sekali program ini bakal menggelontorkan dana lebih? Apakah untuk pengeluaran APBN Kemendikbud memang salah satunya untuk program ini? Kalau iya, bagaimana dengan program sekolah gratis bagi siswa? Apa sudah merata di Indonesia? Ini pertanyaan sederhana dulu dan coba refleksikan kembali UUD 1945 Pasal 31 ayat 2.

Apabila salah satu realisasi program kerja Kemendikbud hari ini untuk pengadaan marketplace guru, bagaimana peta konseptual implementasinya? Apakah sesederhana itu? Karena sebagaimana realita yang terjadi, sekolah-sekolah, guru-guru, beserta perangkat-perangkat pendidikannya justru disibukkan dalam hal administrasi. Oleh karenanya, curiga kami dalam pengadaan marketplace guru ini bakal memakan waktu lama dan panjang hanya dalam prosesi administratif. Lantas, bagaimana fokus kurikulum mengajarnya? Lagi-lagi siswa dimungkinkan lebih lama lagi untuk mendapatkan kenyamanan mereka dalam belajarnya.

Masih persoalan marketplace guru, coba dikroscek ulang, sebenarnya apakah Kemendikbud sendiri mengetahui esensi dari seorang guru? Wong, Nadiem Makarim sendiri dalam rapatnya mengatakan bahwa guru adalah pekerja. Guru bukanlah pekerja, mas. Guru tetap abdi pendidikan kita. Kemendikbud perlu mengenal esensi terdalam dari seorang guru. Sebagaimana KH. Hasyim Asy’ari menulsikan dalam kitabnya, Adabu Ta’lim wa al-Muta’allim, posisi Guru adalah seorang yang harus dimuliakan oleh seluruh orang, karena Allah saja memuliakan seorang guru dengan memberikan cahaya (ilmu) kepadanya. Ilmu itu cahaya Allah, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat. Dengan adanya marketplace ini, status kemuliaan guru didegradasi menjadi pekerja yang bergantung pada hukum permintaan dan penawaran (supply and demand), jelas tidak sesuai dengan derajat kemuliaan. Kiranya perlu disikapi dengan bijak terhadap kesejahteraan guru dengan cara yang lebih baik. Apa iya, guru adalah buruh? Guru adalah barang dagangan?

Jadi, setidaknya Kemendikbud juga perlu mengetahui esensi keguruan sebagaimana tersebut dan jangan menciderai muruah seorang guru. Sebagaimana yang tertulis dalam kitab Taisirul Akhlak, bahwasanya guru harus menjaga muruah dengan menjaga akhlak mulia dan kebiasaan baik, bukan menjadi pengemis ala sistem marketplace tersebut. Apalagi Kemendikbud tolong jangan hanya fokus pada realisasi APBN yang berjumlah Rp612,2 (Sri Mulyani, 2023). Pendidikan tanpa kerangka konseptual-ideal dalam peta pendidikan Indonesia hari ini kedepannya. Apalagi kalau guru dalam dunia marketplace, maka berarti hukum pendidikan keguruan berubah menjadi keburuhan, yang ada hanyalah soal kerja dan gajian.

Intinya, dalam permasalahan pertama ini, marketplace guru tolong ditiadakan. Banyak hal esensial yang lebih penting dari pengadaan marketplace guru hari ini. Alternatifnya, coba pikirkan, bagaimana kembungnya APBN pendidikan Kemendikbud ini—seharusnya—mampu memberi fasilitas berupa akses sekolah gratis bagi para siswa. Sehingga siswa tidak dibebani perihal uang sekolah, guru diberi hak kesejahteraannya yang layak. Masa’ Kementerian nggak jago muter uang untuk hal semacam ini? Masa’ gaji dewan, pejabat, dkk, jauh lebih tinggi duitnya daripada rakyatnya?

Baca Juga

Diseminasi Moderasi Beragama Melalui Pendidikan Tanggap Budaya

Masalah kedua, kualitas para guru. Sekarang kita mencoba revolusi kualitas para guru. Kami percaya bahwasanya guru-guru di sekolah punya kualitas mengajar yang baik. Kalau pun ada yang kurang baik, itu bukan kualitas otentik yang dimiliki para guru. Justru karena ada hal-hal yang membuat para guru harus terbebani dengan hal-hal non-edukasi. Ya seperti yang kami sebutkan di awal tadi, para guru hari ini diributkan pada persoalan administrasi. Administrasi assesmen, administrasi pencairan dana sekolah, administrasi alokasi dana sekolah dan lain-lain. Pada akhirnya, guru-guru yang terlibat harus menggadaikan esensial keguruannya dengan hal-hal kusut seperti ini. Siswa kemudian disuruh hanya datang ke sekolah, absensi, tugas sekolah, dan ujian, kemudian lulus. Dimana esensi pendidikan yang menjamin ketakwaan, kritis, dan membangun karakter pendidik maupun yang dididik? Coba muraja’ah ulang tuh, tujuan pendidikan kita di UUD 1945 Pasal 31 ayat 3.

Sebelum mencapai masalah inti, ya inilah coba jawab ya para pemangku jabatan pendidikan Indonesia. Apakah kualitas para guru dan kualitas pendidikan di tubuh Kemendikbud sendiri sudah baik? Sudah jujur? Baru coba jawab kualitas para guru nasional hari ini.

Kemudian kita masuk pada permasalah inti, ya itulah kurikulum. Sebagaimana UU Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1, kurikulum memang menjadi core bagaimana dinamika pendidikan itu berlangsung. Kalau kurikulumnya sarat akan nilai Religiusitas-Kebangsaan, termasuk juga kurikulumnya mencapai sendi-sendi pendidikan di tingkat daerah, nah kurikulumnya bakal enak diaplikasikan. Masalahnya kurikulumnya dari periode ke periode jabatan kepemimpinan terus menerus gonta-ganti. Memang betul, kurikulum bakal adaptif dengan situasi dan kondisi. Masalahnya, belum maksimal udah ganti lagi. Apalagi sekarang terkait kurikulum Merdeka Belajar. Pertanyaannya, sudah sampai mana pencapaian suksesi kurikulum ini diterapkan? Itu dulu dijawab. Kemudian coba jawab, kemana arah gerak pendidikan kita hari ini yang ingin dicapai kurikulum Merdeka Belajar? Apakah arah gerak pendidikan kita menuju pendidikan berbasis industrialisasi? Sepertinya begitu ya. Wong, ya guru saja dibuatkan marketplace. Para pelajar atau mahasiswa juga disalurkan pada dunia industri nantinya. Bukan kami tidak pro-adaptif terhadap perkembangan zaman, mas menteri. Tapi esensi pendidikan kita yakni untuk menyuburkan hati dan memerdekakakan pemikiran masyarakatnya terlebih dahulu. Kalau pas orientasinya untuk industri, apakah hanya ditujukan menjadi budak-budak korporasi yang diiming-imingi kesejahteraan berdasar gaji? Ini justru yang membuat Indonesia kering dalam perkembangan pendidikannya. Solusinya, untuk masalah kurikulum ini, tolong lebih musyawarah lagi bersama para guru yang memang terlibat langsung dalam dunia pendidikan, dalam dunia kegiatan belajar mengajar. Kalau cuma tiba-tiba pelantikan, tiba-tiba kabinet, tiba-tiba APBN, tiba-tiba kurikulum baru, ini tiba-tiba yang mendadak dan bakal akan menyebakan efek domino kedepannya.

Sedemikian surat ini, suara ini, kami layangkan pada siapapun yang membacanya. Khsususnya Mas Menteri Nadiem Makariem beserta jajarannya. Semata-mata ini untuk kebaikan Indonesia. Kebaikan pendidikan Indonesia. Kalau pendidikannya baik, maka negaranya baik. Insha Allah.

Billahi fi Sabilil Haq,

Referensi:

Mulawarman, A. Dedi, Semesta Sejahtera. Malang: Penerbit Peneleh. 2022.

Asy’ari, KH. Hasyim. Adabu Ta’lim wa al-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turots Al-Islami. 1415 H.

Al-Mas’udi, Hafidz Hasan, Taisirul Akhlak fi Ilmi Akhlak, Khurtum: Dar As-Sudaniah lil Kutub. 1993.

Sri Mulyani dalam warta CNBC Indonesia pada acara Mandiri Investmen Forum 2023 (2/2/2023)

UUD 1945 Pasal 31 ayat 2

UUD 1945 Pasal 31 ayat 3

UU Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *