SUDAH SAATNYA PERANTAU LAMPUNG BERSUARA

Mansurni Abadi
(Perantau Lampung di Malaysia)


“Kebanjiran fakta” mungkin itulah yang di rasakan oleh para elit lampung yang dirujak oleh netizen selama beberapa hari terakhir ini, akibat viralnya kritikan dari seorang pelajar lampung yang sedang berkuliah di Australia yang kemudian dibalas oleh pelaporan dari seorang advokat.


Diksi “Dajjal” menjadi permasalahan utama bagi para elit yang merasa dirinya di kritik. Perihal sopan santun memang menjadi keutamaan dalam menyampaikan pendapat, tapi perihal pemenuhan kesejahteraan dan perbaikan infrastruktur dari yang diberi amanah oleh rakyat juga merupakan keutamaan yang jauh lebih penting.


Bagi saya memang dibutuhkan sifat kurang ajar agar kita sebagai rakyat mendapatkan apa yang seharusnnya kita dapatkan. Kalau kata Usman Awang, dalam puisinya berjudul kurang ajar “suatu bangsa tidak menjadi besar, jika tidak memiliki sifat kurang ajar”, tentu bagi sastrawan asal Malaysia itu tidak menyuruh kita untuk membenarkan sifat kurang ajar pada setiap kondisi namun mencoba memberikan pemaknaan ulang akan sifat kurang ajar dalam konotasi yang lebih positif yaitu bertujuan untuk melawan penindasan.


Saya rasa kebanyakan rakyat lampung sebenarnya tidak membenci secara personal Gubernur dan wakilnya berserta para elitnya, tetapi boleh saja mereka membenci kinerja yang para elit ini perlihatkan. Jika kita membaca komentar para netizen di kolom instagram bapak gubernur dan wakilnya, mereka menyampaiakn keluh kesah mereka secara sopan sembari memberikan fakta.


Meskipun para elite mencoba menjawab hal ini dengan sebanyak mungkin data-data bahkan penghargaan yang coba mereka perlihatkan di media social namun hal itu tidak menutupi kenyataann di lapangan yang berbeda dari yang didata.


Sebagai seorang peneliti tingkat pemula, kita pun harus kritis terhadap data karena data-data tentang Lampung yang lebih baik itu patut dipertanyakan. Dibuat oleh siapa ? Menggunakann metode apa? Lalu apa indikatornya? Karena data tidak pernah terlepas dari kepentingan para elit. Cobalah membaca buku-buku seputar Nazi Jerman, disana diungkapkan bagaimana penggunaan data untuk membius kesadaran rakyat, yaitu Jerman pada ketika itu berada pada kondisi yang baik-baik saja.

Dalam konteks Lampung, apakah data-data itu terlepas dari dokrin ‘asal bapak senang (abs)’ yang telah menjadi budaya birokrasi kita. Yang buruk disembunyikan dengan menjadikannya seolah-olah baik, padahal kenyataannya tidaklah demikian.

Sekali lagi tentang diaspora Lampung. Apa yang dilakukan oleh pelajar Lampung di Australia itu bukan saja mendorong yang lain untuk bersuara tapi merupakan bentuk kepedulian mereka yang di rantau terutama luar negeri untuk kemajuan kampung halamannya.


Sebagai seorang diaspora Lampung yang menetap selama 6 tahun di luar negeri, dari mulai Australia, Singapura, Thailand, hingga kini di Malaysia. Saya selalu mengikuti perkembangan apapun yang terjadi di Lampung termasuklah terkoneksi dengan sesama perantau Lampung lainnya.


Berbagi cerita termasuklah keluh-kesah tentang kampung halaman seringkali kami lakukan. Persoalan infrastruktur yang rusak, permasalahan pendidikan, kuatnya nepotisme, praktik premanisme, sampai lah pada isu-isu seputar konflik lahan seringkali menjadi bahan kami menghabiskan waktu ketika bertemu disela-sela kepenatan berkerja.


Kepada pemuda lampung dimanapun berada, terutama yang saat ini sedang berada di luar negeri, baik untuk tujuan kuliah maupun berkerja sudah saatnya untuk ikut bersuara mengangkat masalah-masalah yang terjadi di Provinsi Lampung secara terus menerus.


Berkontribusi tidak harus masuk dalam sistem dan tidak harus cepat-cepat untuk kembali ke kampung halaman. Alam demokrasi memberikan alternatif, bahkan jika kita berada di luar sistem sekalipun. Talenta kreatif yang kita miliki bisa menjadi senjata yang efektif untuk memantik kesadaran, membuka fakta, dan mengoncang kekuasaan.


Seringkali, kreatifitas jauh lebih efektif ketimbang peluru apalagi makian, yang kita perlukan hanyalah terus menerus mengasahnya dengan keberanian dan ketajaman berpikir.


Saya rasa, pelajar Lampung dari Australia dan beberapa oknum netizen lainnya sudah membuktikan kekuatan kreatifitas ini. Tinggal bagaimana kita yang memiliki talenta untuk juga keluar menyuarakan hal yang sama tanpa perlu menunggu waktu untuk masuk ke dalam sistem. Karena, tidak semua dari kita yang menjadi bagian dari diaspora Lampung saat ini, memiliki keistimewaan sekelik yang dapat menempatkan kita pada posisi-posisi yang strategis untuk merubah keadaan. Apalagi sebagai kaum muda Lampung, pergunakanlah waktu mudamu untuk berkontribusi dalam perubahan yang lebih baik dengan apapun yang kamu bisa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *