Oleh: Daud al-Furqon (Aktivis Peneleh Jombang)
“Sesungguhnya akan dibukakan Kota Konstantinopel. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin saat itu. Sebaik-baik pasukan, adalah pasukan saat itu.”
-Katanya begitu.
Akhir-akhir ini saya sedikit gelisah. Disaat umat muslim, eh masyarakat (baik yang non-Islam) juga turut bergembira menyambur bulan Ramadan, yang dikenal sebagai raja dari para bulan dalam kalender Hijriyah. Ketika masyarakat senang nan riang menyambur Ramadan, justru di detak-detik waktunya, entah saat puasa atau saat telah berbuka puasa, rasa gelisah nya tetap ada. Tapi saya temukan jawabannya, kenapa saya gelisah. Nanti di akhir tulisan saya jadikan simpulan.
Saya mulai tulisan dari memaparkan Sultan Mehmed II, atau nama bekennya, Sultan Muhammad Al-Fatih. Silsilah keluarganya tidak perlu dipaparkan panjang lebar disini. Setidaknya nama tersebut sudah sering didengar, dilihat, di berbagai literatur sejarah umat Islam, bahkan dunia.
Sultan Mehmed II, panggilan orang Turki yakni Mehmed at-Tsani, entah bagaimana cara baca berdasar logatnya orang Turki, yang bisa dibaca Raja Muhammad Kedua, secara bahasa Indonesia. Raja ini dikenal cerdas, hafidz sejak kecil, pandai ilmu eksak dan sebagainya. Spek atau spesifikasi orang satu ini layak lah disebut sebagai pemimpin apabila dipilih secara meriktokrasi walau kenyataannya monarki. Karena salah satu pencapaian terbesarnya dalam ranah kepemimpinan yakni mampu menaklukkan Kota Konstantinopel di masa Kekaisaran Romawi Timur yang dipimpin Konstantin XI. Uniknya lagi, penaklukkan Kota Konstantinopel ini dipimpinnya pada umur dua puluh lima tahun. Ya, seumuran dnegan penulis sendiri. Umur sekiannya aja bisa menaklukkan peradaban, bagaimana dengan penulis? Jauh banged (pakai D) dari pencapaian tersebut.
Ngomongin penaklukkan Konstantinopel, sekarang namanya Kota Istanbul di Turki, bukan hanya sekadar dilihat dari bagaimana peperangan itu terjadi. Kalau hanya bahas terkait peperangan, dari segi etika manusia pun, perang adalah neraka. Banyak korban pasti berjatuhan, banyak tenaga juga dikeluarkan, banyak waktu juga dikorbankan. Apalagi pernyerbuan Kota Konstantinopel oleh pasukannya Sultan Mehmet II ini memakan waktu hingga kurang lebih dua bulan beberapa hari. Ada yang menuliskan dari 6 April 1453 M hingga mencapai kemenangan dari pihak Kekaisaran Ottoman pada 29 Mei 1453. Ya sekitar 50 hari begitulah. Ini kalau dilihat dari bagaimana emosi manusianya, sungguh sudah ketar-ketir baik dari pihak rakyatnya Konstantin XI, Byzantium, atau bahkan dari pihak pasukan Ottoman dibawah kuasa Sultan Mehmed II ini. Makanya untuk alur peperangannya tidak dipaparkan lebih lanjut disini, bayangkan saja bagaimana lelahnya. Ya walaupun secara periode peperangan tidak selama Perang Diponegoro yang berlangsung lima tahun. Tapi teyap saja, perang adalah neraka, secara kemanusiaan.
Sultan Mehmed II, setelah menaklukkan Kota Konstantinopel pada 29 Mei 1453 M atau secara kalender Hijiryah yakni pada 20 Jumadil Ula 875 H. Eh, saya kira ini momentum Ramadan, sama seperti Perang Badar yang berlangsung dalam bulan Ramadan. Tapi saya tidak akan mempolitisasi Ramadan sebagai bulan yang ada daya magis-nya dalam peperangan. Walau bukan momentumnya di bulan Ramadan, kita bakal bahas terkait konsekuensinya Kota Konstantinopel jatuh pada Kekaisaran Ottoman yang notabene-nya kekaisaran Islam.
Setelah Konstanstinopel jatuh di tangan Kekaisara Ottoman, maka Konstantinopel berbubah nama menjadi Istanbul. Kemudian kebijakan-kebijakan pun diterapkan dalam masa Sultan Mehmed II ini. Seperti kebikan arus perdagangan. Sebelumnya, Konstantinopel atau Istanbul ini menjadi sentra arus perdagangan antara Asia dan Eropa, bahkan semenanjung Arab. Tak ayal, sangat seksi Kota ini bila jatuh dikuasi peradaban. Namun setelah Sultan Mehmed II ini berkuasa, maka arus perdagangan dari Asia ke Eropa bahkan sebaliknya, menjadi lebih sulit tanpa permisif. Konon, inilah yang membuat Eropa kesulitan akses dagang via darat kemudian membuka jalur baru via laut ke Asia yang kemudian beberapa negara menemukan Nusantara untuk dijajah. Walau seperti itu, kebijakan positif lainnya yakni Sultan Mhemed II, atau kita panggil saja setelah menaklukkan Konstantinopel sebagai Sultan Muhammad Al-Fatih, banyak juga mendirikan ratusan masjid, sekolah, hingga fasilitas umum di Konstantinopel dan sekitarnya. Ya tidak apa-apalah hal demikian juga menjadi plot sejarah yang kemudian meruntut ke sejarah penjajahan di bumi Nusntara oleh bangsa Eropa. Jadinya bikin tebal buku sejarah atau buku IPS kita bukan? Bukan.
Nah, sekarang konstekstualisasinya. Hal demikian, terkait penaklukan Konstantinopel ini sebenarnya baru terbersit ketika Khotmul Quran bersama Aktivis Peneleh Surabaya dan Jombang di kediaman HOS Tjokroaminoto, di Gg. Peneleh VII kec. Genteng, Surabaya. Ketika para aktivis melanuntankan kalimat-kalimat suci Al-Quran disini serasa hati terbersit adanya peristiwa penaklukkan Konstantinopel atau Istanbul di Turki sana. Memang jauh sih melihat secara geografis dan momentumnya yang berbeda. Yang satu tentang perang penaklukkan dan satunya momentum haul HOS Tjokroaminoto.
Rumah atau kediaman HOS Tjokroaminoto di Gg. Peneleh VII kec. Genteng, Surabaya ini memang bukan sekadar rumah arsip kenangan bahwasanya dulunya ditempati oleh HOS Tjokroaminoto, salah satu pahlawan nasional Indonesia. Namun lebih dari itu, dari rumah ini spirit perjuangan kebangsaan itu lahir. Semaoen, Alimin, Musso, Darsono, Soeakarno, H. Agus Salim, KH. Ahmad Dahlan, KH. Wahab Hasbullah dan lain sebaginya, seringkali terlibat dalam dialketika panjang seputar kebangsaan disini. Bayangkan, rahim peradaban Nusnatara fase pra-Kemerdekaan justru ada di rumah itu. Memang masih belum ketemu kontekstualisasi penaklukkan Konstantinopel dan Dapur Nasionalisme-versi Soekarno, di Gg. Peneleh VII ini. Tapi para Aktivis Peneleh Surabaya dan Jombang saat melaksanakan agenda haul HOS Tjokroaminoto, itu merupakan penaklukkan perabadan hang dulu ada, kemudian terbenam, dan sekarang akan dibangkitkan lagi.
Aktivis Peneleh tentu bukanlah aktivis yang berdiam di daerah kampung Peneleh di Surabaya. Aktivis Peneleh dimanapun berpijak yakni mengambil spirit perjuangan dari rumah kebangsaan di salah satu gang di kampung Peneleh tersebutlah yang diperjuangkan hari ini. Memang rumah HOS Tjokroaminoto saat ini sudah dijadikan museum cagar budaya yang dikelola oleh Pemkot Surabaya. Namun tidak dengan ruhnya, museum hanya bakal menjadi rumah tanpa nyawa yang hanya bisa didatangi lalu pulang. Setidaknya Aktivis Peneleh setelah haul HOS Tjokroaminoto kemarin (07/04) berteparan dengan Nuzulul Quran menjadi moementum penaklukkan rumah yang hanya sekadar menampilkan visualisasi sejarah, menjadi sebenarnya Dapur Nasionalisme untuk para masyarakat atau pemuda kembali berkonsolidasi untuk berjuang demi bangsanya. Inikan yang dicontohkan HOS Tjokroaminoto dalam jejak sejarahnya. Ini yang kita semogakan, menjadi gerbang Kerkoporta untuk membuka peradaban lainnya. Apalagi Surabaya sebagai sentra dari Indonesia Barat, Tengah, maupun Timur.
Mengenal Eko Hadiratno, selaku juru kunci rumah HOS Tjokroaminoto yang sekaligus ketua RT di daerah Gg. Peneleh VII ini, acap kali bersedih atas inisiatif Pemkot Surabaya yang hanya sekadar memfasilitasi secara materialis semata untuk perawatan rumah ini. Tapi justru tidak menyentuh bagaimana perawatan dialektika kebangsaan yang sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, adanya Aktivis Peneleh yang kemudian selaras dengan pemikiran Eko Hadiratno ini untuk merawat rumah ini dari segi ruh dialektis-konstruktifnya, bakal memperjuangkan kedepannya menjadi ‘rahim’ ide kebangsaan selanjutnya dilahirkan. Semua sudah sama-sama sepakat, bahwasanya hari ini memang, Indonesia tidak kunjung menemu peradaban mulianya. Baik dari segi politik, pendidikan, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain, Indonesia harus segera berbenah.
Lantas, apa kaitannya salah satu kutipan hadist di pembuka tulisan dengan substansi tulisan?
Sebenarnya tidak ada. Itu merupakan hadist dhai’f yang masih sering beredar di berbagai literatur. Disini penguatan konfirmasi saja. Bahwasanya itu hadist dhaif. Bahwsanya penaklukkan Konstantinopel via gerbang Kerkoporta, bahwasanya penaklukkan gerbang ‘Kerkoporta’ Peneleh Surabaya, menjadikan kejayaan peradaban selnnjutnya semakin terbuka lebar. Bahwasanya, gerbang ‘kerkoporta’ regional-regional Peneleh se Indonesia akan segera jaya atas berdikari di tanah sendiri.
Salam Zelfbestuur Aksi!