Oleh: Sayyid Adzim Baragbah
Status Facebook, yang aplikasinya banyak digunakan oleh generasi X seperti saya, memang beda kronologi berpikirnya seperti generasi Y, Z atau apalagi entah yang hasil didikan Covid-19. Yang jelas, generasi X adalah generasi setelah baby boomers, disebut Gen Bust, generasi Latchkey Kids, generasi yang merasa kesepian karena ditinggal orang tua mereka bekerja. Dampaknya mereka terkonstruksi menjadi pribadi mandiri, mengutamakan keseimbangan antara kehidupannya dan dunia kerja, banyak akal serta pandai beradaptasi. Masalahnya, mereka ini dianggap manusia-manusia skeptis yang tidak suka cawe-cawe dengan urusan di luar dirinya selama tidak menguntungkan. Mereka kemudian bisa jadi segan menikah duluan karena tidak mau dibebani anak. (https://onlinelearning.binus.ac.id/2021/12/06/begini-perbedaan-generasi-baby-boomers-x-y-z-dan-alpha/)
Kayaknya sih, urusan tahunnya bener, saya lahir di era antara tahun 1965-1976, dan dibesarkan oleh generasi baby boomers. Tapi urusan perilaku kayaknya nggak gitu deh. Kayaknya yang begituan itu perilaku masyarakat Amrik. Abah almarhum memang bekerja, tapi di dunia namanya bapak mesti kerja coi, kayal iki. Ibuku di rumah. Jadi ini aja dah satu kesalahan mendasar!
Saya juga ndak kesepian, wong saya punya tiga saudara laki-laki, dua kakak dan satu adik. Rumah ramai sekali kalau sudah sore hingga malam. Guyub dan komunalitas keluarga tetap hadir di rumah. Belum lagi kalau malam setelah isya pas bulan purnama, kami sering berada di luar rumah, bersama keluarga di sebelah kiri dan kanan menikmati terangnya cengkerama, bermain gobak sodor, dan bernyanyi banyak lagu. Kesalahan kedua!
Terus, saya juga malah menikah lebih cepat, umur 24 tahun, dan punya empat anak. Kesalahan ketiga!
Jadi, pendefinisian generasi X memangtidak bener blas. Pendefinisian dan pen-jelentreh-annya tentang masyarakat di luar sono, bukan di Nusantara. Mau tahu kesalahan keempat? Tentang kepedulian pada dunia. Fasilitas Facebook memberikan rekam jejak tanggal 15 April selama 10 tahun, antara tahun 2010 hingga 2020; bagaimana kepedulian saya terhadap realitas, dunia, Indonesia, agama, etika, lingkungan, bahkan covid-19. Mari kita lihat satu persatu.
Tanggal 15 april 2010, saya memosting pendek saja mengenai Indonesia. Berikut postingannya:
“Indonesia memang sudah melepaskan simbol, mitos, moral dan metafisika dalam aktivitas pemerintahan hanya uuntuk kepentingan ekonomi semata. Tidak beda dengan Belanda ketika menembak Mbah Priok karena tanah beliau akan digusur untuk pembuatan pelabuhan.”
Enam tahun kemudian, 15 april 2016, salah satu dari seratus episode perjalanan saya bicara tentang Buku Jang Oetama Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto, di kota Palopo, memosting agak panjang mengenai refleksi atas Sirah Rasulullah. Postingan lebih pada menjelaskan mengapa Rasulullah merenungi manusia-manusia Mekkah yang sangat materialistis, bahagia dengan kehidupan yang nyaman. Tak pelak beliau terjebak di ruang-ruang seperti itu, bergelimang harta serta kuasa politik yang benar-benar berada di puncak, setelah menikah dengan Siti Khadijah. Tetapi apa yang kemudian dilakukan beliau? Beliau malah lebih sering menyendiri ke Gua Hira:
“Kalau Rasulullah ingin kedamaian hidup beliau pasti tidak akan ke gua hira merenungi semesta dan hanya bertemu malaikat jibril yang jelas-jelas tak kasat mata, bahasa moderen sekarang itu menemui yang tidak konkret dan khayalan, untuk kemudian meninggalkan semua kemewahan ribawi sebagai saudagar kaya di Mekkah dan berhijrah sebagai “nothing” ke Madinah. Kalau Rasulullah ingin menikmati kenyamanan material di rumahnya di Mekkah yang semua berfasilitas standar, beliau tidak perlu tinggal di rumah yang menempel di masjid kecil yang dibangun kaum muhajirin dan anshor di Madinah, yaitu sepetak kamar dengan perabot sederhana serta pemisah dari kain lusuh. Kalau Rasulullah ingin kekuasaan dan kehormatan beliau tidak akan melawan tirani penguasa Mekkah penyembah berhala, apalagi hampir semua berkerabat serta bersahabat, memiliki ikatan kekuasaan aristokratik sangat kuat, sebuah kekuasaan turun temurun yang tinggal menunggu waktu pasti terestafetkan.”
Refleksi Rasulullah ini sebagaimana pula yang terjadi pada perjuangan Jang Oetama HOS Tjokroaminoto, seorang cucu bupati dan keturunan kyai kharismatik di jamannya, Kyai Kasan Besari, Ponorogo, yang melihat realitas yang hadir di depannya. Seperti itulah saya melihat realitas. Berdasarkan pengamatan itulah kemudian saya ingin melihat lebih jauh substansi kehidupan seperti apa sebenarnya yang harusnya dijalani, seperti saya menegaskan di akhir postingan: “Celoteh manusia biasa yang hanya dan selalu berharap tentang kesederhanaan llahiah substantif – di hari Jumat di Negeri Sawerigading Palopo.”
Di hari yang sama, kegelisahan menjadi-jadi setelah merasakan Rasulullah berjuang demikian pula HOS Tjokroaminoto, membentuk torehan kritis dalam postingan tentang Rumah Pasir:
“Menjadi aneh bila cara pandang yang mengagungkan kearifan langit demi menentang ketidakadilan struktural dan hegemoni rasis segala bentuk, tetapi tanpa praksis emansipatif berkesadaran kultural, bahkan hanya menjadi permainan wacana dialektis linguistik yang ujung-ujungnya jadi serakan karya berdebu, apalagi bila itu kemudian terdeklinasi pada sebatas merayakan pesta berkarikatifkan nilai, bak kehidupan di rumah pasir.”
Tahun kedelapan, sepertinya dunia kita tidak pula berubah, kecuali manusia-manusianya yang dinamis melakukan kegagalan menjalankan aksi kehidupan yang lebih mulia, membuat saya menuliskan interpretasi realitas secara kritis tanggal 15 april 2018. Refleksi lebih dalam dari ruang-ruang aksi kehidupan manusia yang terbentuk dalam kebudayaan yang saya sebut sebagai Junk Culture (Kebudayaan Sampah):
“Kebudayaan Bobrok atau Sampah yang kita hasilkan bisa jadi membentuk kebobrokan- kebobrokan turunan maupun tumpukan sampah sekaligus kotoran politik dan ekonomi. Bisa jadi pula kebudayaan bobrok ini dibentuk dari sampah pendidikan, ya pendidikan yang direproduksi melalui impor sampah dan kotoran tetangga yang menurut kita baik. Ya kitalah mungkin para pemulung sampah sekaligus kotoran kebudayaan itu. Dengan bangganya kita atas nama sampah dan kotoran kemudian dengan ‘lugu’ plus ‘kreatif’ melakukan transfer menjadi nilai dan pengetahuan kepada masyarakat. Daur ulang ekologis di ruang kebudayaan kemudian perlu cacing, kecoa, termasuk hewan penggemar kotoran/sampah politik dan ekonomi sebagai solusi biologisnya. Selamat menikmati evolusi ekologis natural dari kebudayaan sampah dan kotoran. Kecuali memang kita bukan bagian dari itu, kalau kita memang manusia yang beradab, maka jangan pernah mau jadi manusia bodoh yang masuk di kubangan ‘sana’ atau malah terjerembab di septitank kita sendiri.”
Ya, begitulah kebudayaan sampah berkuasa menebarkan bau busuk yang tak lagi dapat dibenahi dengan benar kecuali dilakukan daur ulang ekologis yang lebih substansial. Bau busuk berdasarkan logika memahami realitas yang sudah masuk dalam lingkaran setan evolutif pertumbuhan sampah modernitas nan akut, sebagaimana saya posting setahun kemudian, tahun kesembilan tanggal 15 april 2019:
“Realitas dan rasionalitas memang sangat bisa ditebak, tetapi ketika jalan melampaui rasionalitas ternyata terjebak pada agenda evolusionis dan orientasi pertumbuhan, maka akhirnya terjadilah kejatuhan kesucian, religiositas/spiritualitaspun akhirnya pasrah pada dahsyatnya energi lubang (hitam) (keledai) untung rugi berujung kepentingan diri yang sama pula.”
Kegelisahan itu sebenarnya juga menginspirasi saya untuk kemudian bersama kawan-kawan akademisi dan kaum profesional; rerata merupakan generasi X; peduli dengan masa depan negeri dan dunia ini. Kami menjalankan apa yang kami sebut sebagai penolakan terhadap Institutional Drift ala Acemoglu dan Robinson yang mengedepankan perbaikan dan perubahan sebuah negeri dan peradaban berbasis Politik dan Ekonomi, tetapi dengan apa yang kami sepakati bersama dan saya tulis di buku 2024 Hijrah untuk Negeri sebagai Cultural Drift. Gerakan Cultural Drift tidak hanya digemakan lewat wacana literasi, riset dan kegenitan intelektual, tetapi harus membumi dalam bentuk yang lebih konkret bersama masyarakat. Gerakan kemudian mulai mengajak anak-anak muda di generasi Y, Z hingga entah generasi apalagi, untuk melakukan perubahan peradaban yang lebih baik melalui jalan kenusantaraan yang selalu mengedepankan kemandirian, religiositas, dan kebangsaan, dan ketiganya wajiba diaksikan, bukan hanya diomongkan.
Akhirnya, puncak kesengsaraan manusia-manusia sampah yang harus didaur ulang oleh ekologi bumi terjadi pada tahun 2020, pada saat pandemi global mendera kita, tanggal 15 April 2020. Kebetulan untuk mengisi diskursus keberpihakan pada masyarakat menuju kemandirian, religiositas, kebangsaan, dan aksi konkret selama masa lockdown, kami mengadakan rangkaian International Online Guest Lecture menggunakan aplikasi zoom; kegiatan yang bisa dianggap pelopor kegiatan diskusi internasional online di Indonesia. Salah satunya, khusus tanggal 15 April 2020 adalah mengundang Peneleh Ambassador dari Yunani, Prof. Evangelos Afendras. Di sela-sela acara itu saya memosting di Facebook:
“Update kasus POSITIF COVID-19 per tanggal 15 April 2020 pukul 07.00 GMT +7 di seantero jagad berjumlah 1.878.489 kasus, kematian mencapai 199.044 menyebar di 213 negara, area maupun teritori. Kasus POSITIF dominan bila dihitung menggunakan logika dominan Paradigma Barat yaitu POSITIVISME KUANTITATIF atau ANGKA berada di wilayah pertama kali gagasan ide positivisme Comte muncul, yaitu Eropa, berjumlah 913.272 jiwa atau sekitar 48,61%; disusul wilayah Amerika, berjumlah 673.361 jiwa atau sekitar 35,85% positif mengidap COVID-19. Amerika Serikat, penerus tradisi positivisme paling setia, merupakan negara terdepan “highest cases”, hingga 578.268 kasus positif atau sekitar 85,88% dari kasus yang melanda di wilayah benua Amerika atau sekitar 30,78% dari seluruh kasus di dunia. Sedih melihatnya. Sedih pula bahwa di wilayah Asia Tenggara secara kuantitatif terdapat sekitar 19.154 jiwa yang positif atau sekitar 1,02%. Indonesia sendiri kasus positif mencapai 5.136 kasus… Semangat, berusaha bersama, saling membantu dan saling menyampaikan doa serta zikir terbaik “badai pasti berlalu” Insya Allah.”
Selang beberapa waktu saya nyetatus lagi di Facebook karena ada sentilan dari Si Prof bahwa Oktober 2019 menjelang pandemi manusia-manusia bermental Junk Culture seperti Bill Gates dan para ahli di Pusat Riset John Hopkins melakukan simulai skala besar. Kalau Arema bilang “Jancik Koen“:
“Karena kepo saat mendengarkan International Online Guest Lecture Series, Session 3 dari Prof. Evangelos Afendras pada saat beliau bilang padangan mengenai covid-19 dari Noam Chomsky, selesai acara langsung nyari linknya… dan tata….. ketemu komentar Noam Chomsky mengenai Covid-19, WiiI… Thanks Prof. I miss you:
“This coronavirus pandemic could have been prevented, the information was there to prevent it. In fact, it was well-known. In October 2019, just before the outbreak, there was a large-scale simulation in the United States – possible pandemic of this kind,” he said, referring to an exercise – titled Event 201 – hosted by the Johns Hopkins Center for Health Security in partnership with the World Economic Forum and the Bill &Melinda Gates Foundation. (https://www.aljazeera.com/news/2020/04/ noam-chomsky-coronavirus-pandemicprevented-200403113823259.html)
Quote QS. Az-Zumar ayat 53
Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Tanggal 24 Ramadhan 1444, bertepatan tanggal 15 April 2023, angkat 24 itu adalah angka yang saya gemari sejak menulis buku 2024 Hijrah untuk Negeri, saya iseng mengumpulkan memori yang hobi dialgoritmakan di Facebook. Jadilah rentetang algoritma tentang Junk Culture yang tak pernah berhenti terjadi di negeri dan dunia hari-hari ini. Bagaimana tidak, tahun 2023 peristiwa demi peristiwa pasca Covid-19 yang katanya adalah New Normal nyatanya sama saja bagi saya. Tidak ada New Normal, tapi Junk Culture.
Lihat saja, Amrik hasratnya byuh-byuh jahat pol, politiknya politik adu domba karena krisis ekonomi dan pangan di negerinya sendiri pasca covid-19 (negeri ini paling parah terdampak covid meski Bill Gates nggaya pakai acara “large-scale simulation” segala), ngompori Ukraina dan Nato, hingga meletuslah perang Ukraina dan Rusia. Perang masih terus, berlangsung setahun lebih. Taiwan yang juga jadi antek ideologisnya, sekarang sedang panas-panasnya dengan China, demikian pula Korea Selatan dengan Korea Utara. Belum lagi mbahnya yang penting, Israel sekarang lebih weng, manasin dunia Islam dengan merangsek bikin gaduh dan membunuh orang-orang Pelestina di Masjid Al Aqsa, Yerusalem; di bulan Ramadhan lagi. Emang Amrik dan Nato ini yang gila atau korporasi di balik mereka yang gila? Atau siapa? Entahlah.
Di negeri kita? Eh, malah ratusan triliun (menurut beberapa hitungan akumulatif selama dua puluh tahun hingga triliun, entah benar entah tidak) dijarah banyak manusia-manusia Junk Culture kayak Rafael yang akhirnya kena tai kerbau kepleset ulah anaknya sendiri yang songong itu pakai mobil mewah yang entah milik setan atau jin. Dampaknya, merembet kemana-mana, para manusia Junk Culture lain yang ternyata banyak juga, yang mamer-mamerin barang mewah di media sosial, apalagi merek-mereknya ratusan juta hingga miliaran rupiah. Mereka itu mulai dari pejabat pajak, bea cukai, pertanahan, dan bahkan bisa jadi (nyadar gak ya?) yang mamerin pernikahan anaknya (puluhan atau ratusan?) miliaran rupiah hingga menggerakkan kebahagiaan dan sebar-sebar makanan receh di sepanjang jalan protokol kota. Bukan hanya itu, kepala desa, bupati, walikota, gubernur, hingga menteri, dan dinas-dinas berlomba-lomba masuk KPK; di samping berlomba membuang APBD/N demi prestise, untuk mbangun lintasan racing yang hanya dinikmati orang-orang Junk Culture. Sudah gitu, jejak kebusukanpun ditinggalkan. Sekarang mereka ramai-ramai masuk ruang politik, mendemonstrasikan keberhasilan proyeknya mengelola uang negara, untuk nyalon jadi DPRD, DPD, hingga Presiden. Ini negeri bener-bener Junk Culture.
Lebih Junk Culture lagi adalah kita itu ndak tau mana benar mana salah, tetapi malah bisa jadi kita telah menjadi manusia hipokrit atau munafik apa ya? Saya sempat pula menuliskan bagaimana sebenarnya perilaku hipokrit dari masyarakat Junk Culture kita, memang tanggalnya tidak 15 April, tetapi 9 April 2023. Saat itu saya membaca berita dari CNN dengan headline “Amerika tegaskan dukungan buat Israel di konflik Palestina (https://www.cnnindonesia.com/internasional/20230408095119-120-935031/amerika-tegaskan-dukungan-buat-israel-di-konflik-palestina):
Amrik tegaskan Dukungan buat Israel di konflik Palestina. Begitulah headline CNN Indonesia. Apik tenan iki headline nya, tinggal lihat siapa yang pro Israel dan atau dapat dukungan Amrik, pas nganu ntar 2024 heee. Ya kalau mau tegas beneran, ini bukan hanya masalah Israel, jes, ini juga bukan masalah Palestina, ini masalah ketidakadilan. Kalau mau lebih kontekstual dengan isu kepentingan kuasa hari-hari ini, ya ini lebih pada urusan pragmatisme kepentingan politik hipokrit.
Jadi, siap gak tanggung-tanggung pokoke wis… Nek tanggung-tanggung itu mesti nanggung, kadang kiri kadang kanan, ya kayak bahasa hipokrit, atau nek quran itu bilang munafik. Mosok munafik tapi alasaanya taqiyah, jeru banget maneh, sampai puluhan tahun. Itu bukan taqiyah tapi sudah jadi sifat, perilaku, moral, asal selamat dan bahagia. Nek arep lihat sejarah, yang jelas itu 6 September 1944 jadi momen yang penting karena Palestina mengakui Indonesia sebagai negara merdeka secara de facto. Bahkan pengakuan ini disebarluaskan ke seluruh dunia oleh mufti besar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini.
Bisakah kita melakukan daur ulang ekologis kebudayaan kita di masa Ramadhan yang memang bertujuan untuk membersihkan manusia menjadi lebih baik lagi di masa depan? Semoga puasa kita tidak jadi bagian dari keinginan untuk bukber meningkatkan hasrat perut saja. Karena apabila hanya sekedar puasa untuk legitimasi keagamaan dan tetap saja menunjukkan ke-aku-an dan hasrat politik dan ekonomi yang bertumpuk-tumpuk di acara bukber entah di rumah atau di ruang-ruang publik, tetapi tidak memberi dampak kesucian dan kepasrahan sejati, artinya memang Ramadhan kita hanyalah Daur Ulang Junk Culture. Ataghfirullahaladzim.
Billahi fi Sabilil Haq
Singosari, 24 Ramadhan 1444 – 15 April 2023