KoranPeneleh.id – Jumat (10/03) dari wilayah Makassar, tepatnya di Adiva Cafe telah berlangsung diskursus intelektual dengan tema “Episentrum Peradaban Nusantara: Menakar Keteguhan Jati Diri Pemuda Makassar?”. Diskursus tersebut diinisiasi oleh Aktivis Peneleh Regional Makassar berkolaborasi dengan HMI Cabang Makassar, PC IMM BSKM DIY, dan Pemuda Penggerak Akselerasi Pendidikan Digital.
Episentrum Peradaban Nusantara merupakan salah satu ikhtiar dari Aktivis Peneleh dalam membumikan kembali jati diri kenusantaraan pemuda Indonesia. Berangkat dari grand design pengurus pusat dan diejawantahkan oleh pengurus regional bagaimana melihat realitas secara utuh, spesifik pada persoalan gerakan kepemudaan yang direfleksikan dari historikal-eksistensial nilai lokalitas yang menjadi jangkar perjuangannya.
“Pemuda Makassar ditinjau dari sosio-historis terkenal dengan falsafah hidupnya ialah berdagang dan berperang. Oleh karena itu, tidak heran jika pemuda Makassar sering dijuluki sebagai pelaut yang tangguh,” ungkap Muhammad Arsyi Jailolo dalam argumentasinya malam itu. Korelasi antara pelaut yang tangguh dengan falsafah hidup pemuda Makassar adalah gambaran utuh bagaimana branding eksistensi berbasis nilai pemuda Makassar yang mendunia.
“Semua dapat ditelusuri dari sejarah-sejarah perjuanganya dulu yang hari ini dipatenkan dalam ekspresi budaya berbentuk penamaan nama tempat maupun simbolisasi rupa yang ada di Makassar,” tegas Arsyi Jailolo.
Kejatidirian pemuda Makassar berdasarkan nilai lokalitas harusnya mampu memberikan prespektif utuh dalam melihat realitas kepemudaan hari ini. Bicara gagasan, ide dan strategi sampai pada aksi nyata di setiap dimensi kehidupan menjadi resolusi baru akan problematika keumatan hari ini.
Di aspek pendidikan misalnya, Archiv Arianto, pemateri kedua EPN Makassar, mengatakan bahwa ketimpangan akses pendidikan menjadi masalah yang sangat krusial. Kebutuhan akan finansial yang besar menjadi salah satu indikator penting akan mudahnya akses pendidikan.
Dalam wacana kritis menggali lebih radikal soal fenomena tersebut, adanya industrialisasi pendidikan yang kian mengakar di Indonesia menjadikan aktualisasi amanah dari Undang-Undang Dasar 1945 yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi utopis belaka.
Muncul sebuah opini baru, “Jangan-jangan kurikulum yang dikonsepkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia adalah titipan dari kolonial, dan bahkan bisa jadi wacana tersebut adalah agenda hegemoni pendidikan yang orientasinya sangat barat sentris dan kapitalis,” tutur salah satu penanya waktu itu.
Hal ini dapat ditelusuri di ruang-ruang praksis orientasi daripada pendidikan kita hari ini. Dengan hadirnya kampus merdeka menargetkan luaran daripada mahasiswanya adalah pekerja-pekerja baru di dunia industri, yang mana jika itu ditelisik lebih jauh maka kita akan melihat fenomena menarik yang bisa kita sebut dengan istilah mekanisasi mentalitas manusia.
Realitas ini sungguh miris. Lulusan-lulusan kampus yang di pundaknya bergantung harapan masyarakat malah sebagian kesadarannya dimodifikasi sebagai robot-robot pekerja. Bukan seutuhnya manusia. Tidak cukup sampai di situ, dalam ruang-ruang politik pun melihat positioning pemuda Makassar secara umum dari prespektif aktivis terdapat satu ruang yang itu jarang dijamah secara serius, khususnya mengenai konsolidasi dalam gerakan.
Dikotomi telah terjadi, bahkan di dalam ruang-ruang pemikiran pemuda. Jangankan mau bersama-sama mengkonkretkan gagasan dalam aksi-aksi konstruktif, menghidupkan ruang diskursus yang melibatkan semua pihak, terutama organisasi kepemudaan (OKP) juga jarang dilakukan.
Akhirnya, konsekuensinya sangat jelas, di internal pemuda tidak utuh karena perbedaan kepentingan. Pemuda terpolarisasi. Dikotomis ruang pergerakan pemuda menjadikan pemuda gagap melihat realitas secara holistik, sehingga pada tahap selanjutnya pemuda yang seharusnya menjadi lokomotif edukator masyarakat malah ikut terlibat dalam ruang-ruang pragmatis politik praktis.
Bung Alex, pemateri ketiga, dalam argumentasinya menyampaikan bahwa pemuda khusunya aktivis, di semua organisasi harusnya tidak lagi hanya berpikir membangun internal organisasinya masing-masing. Tapi ruang lingkup daripada gerakan harusnya mampu menaungi semua elemen yang ada.
“Hadirnya konsolidasi sebagai ruang penyatuan tidak hanya meng-cover gagasan pemuda, tapi juga mempersatukan gerakan yang dibangun, terutama soal mengawal kepentingan bersama,” ujar Fachrizal Ubbe selaku pemateri terakhir dalam diskusi malam itu.
Kontekstualisasi nilai-nilai lokalitas Makassar secara utuh dapat dikonstruksi sebagai basis dalam mengintegralkan praksis yang menjadi abstraksi daripada keutuhan bangunan pemikiran pemuda dalam menelaah realitas, terkhusus pada persoalan mengkonstruksi politik dalam wacana pembangunan peradaban. (ABK/Red)
Baca juga:
APJO Makassar Siap Pupuk Spirit Zelfbestuur Aksi di Tanah Daeng