Oleh: Mansurni Abadi (Peneliti di Institut Kajian Etnik, Universitas Kebangsaan Malaysia)
Sebagai peminat kajian budaya, saya tertarik mengkaji konsep Indonesia Emas yang kita nanti-nantikan itu dari sudut pandang budaya, khususnya sastra lama. Jarang sekali budaya disentuh dalam pembahasan terkait Indonesia Emas. Padahal Dr. Purwadi (2006) mengingatkan kalau ekuilibrium (titik keseimbangan) peradaban bangsa yang terdiri dari banyak suku ini hanya bisa ditumbuhkan dengan mempelajari peninggalan leluhur zaman dahulu .
Selalu ada stigma keterbelakangan yang akan muncul ketika kita mencoba mengangkat berbagai ajaran dari para leluhur, khususnya di bidang sastra lama. Padahal, Prof. A. Teeuw dalam Sastra dan Ilmu Sastra (2017) pernah mengingatkan bangsa yang acuh terhadap sastra dari para leluhurnya dan membiarkan orang asing mengkajinya bukanlah bangsa yang sungguh-sungguh merdeka.
Di tengah gegap gempita menyambut sekaligus mempersiapkan momen keemasan, sudah selayaknya kita perlu membaca dan merefleksikan kembali apa yang dipetuahkan oleh leluhur kita dari berbagai etnik itu, sehingga kita dapat menerapkan dalam konteks kekinian mana yang baik dari pikiran dan cita-cita mereka, sekaligus menghindari apa yang mereka peringatkan dari kisah-kisah tentang laku-laku di masa lalu.
Baca juga: Diseminasi Moderasi Beragama Melalui Pendidikan Tanggap Budaya
Apalagi semua serat-serat itu mengandung ajaran yang sifatnya adiluhung, yang berisi banyak pitutur (nasehat) yang bukan saja indah namun mengandung ajaran moral yang luhur lagi mulia, bahkan mengandungi pesan-pesan yang sifatnya futuristik seperti dalam Jangka Jayabaya, Serat Dharmagandul, maupun Mahameru yang dapat menyuntikkan virus mental untuk membangun prestasi sekaligus rasa bangga sebagai manusia Nusantara.
Kondisi Zaman dalam Serat Kalatidha
Sebagaimana saya tuliskan di awal, sebagai peminat kajian budaya, kegiatan membaca sembari mengoleksi buku-buku yang berkaitan dengan sastra lama merupakan kenikmatan tersendiri. Apalagi ketika menemukan karya-karya yang terbilang langka.
Di antara karya yang saya miliki adalah Serat Kalatidha karya Ranggawarsita yang diterbitkan pada tahun 1930. Beruntungnya buku yang saya dapatkan di Singaraja, Bali pada bulan Agustus 2018 itu terdapat terjemahannya, meskipun dalam bentuk ejaan lama.
Serat Kalatidha ditulis oleh Ranggawarsita pada tahun 1800, terdiri dari 12 bait berisi interprestasi dari serat Jayabaya yang terkenal dengan ramalannya dalam kepustakaan Jawa, Menurut Thomas Anton Reuter (2016), ada dua karya yang terkenal akan ramalannya tentang Nusantara. Pertama Jangka Jayabaya dari abad ke-12, dan kedua Sabda Palon dari abad ke-14 di masa Kerajaan Majapahit.
Pengaruh kedua sastra utopis ini sangatlah kuat di Indonesia, terutama dalam dunia politik maupun sosial. Apalagi personifikasi Raja Jayabaya sebagai pemimpin yang berhasil menyatukan wilayah Kediri yang terpecah-pecah lalu membawa rakyatnya menikmati kesejahteraan seringkali dikaitkan dengan konsep Ratu Adil, istilah yang masih populer hingga saat ini.
Kajian terbaru dari Mladen Stajić (2020) misalnya mendapati jika ramalan Jayabaya yang memiliki unsur spiritual (laduni) sekaligus pengetahuan utamanya dalam soal kenegaraan itu adalah salah satu perwujudan peninggalan budaya yang menjadi inspirasi dalam mengendalikan nasib bangsa Indonesia untuk mencapai impian idealnya, yakni sebagai bangsa yang adil dan makmur dalam lanskap Indonesia Emas 2045.
Menurut Ranggawarsita, hal yang paling terkenal dari ramalan Jayabaya selain soal ratu adil adalah soal zaman keemasan (Krtayuga) dan zaman kesengsaraan (Kalatidha). Sebelum mencapai zaman keemasan, wilayah ini akan diguncang oleh zaman kesengsaraan yang identik dengan artati (uang/korupsi), nistana (kemelaratan), dan jutya (kriminalitas).
Dalam Serat Kalatidha, ketiga kondisi itu terjadi karena sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah dan aturan-aturan, sementara orang cerdiknya terbawa arus keragu-raguan (Rurah pangrehing ukara, Karana tanpa palupi, Atilar silastuti, Sujana sarjana kelu, Kalulun kala tida, Tidhem tandhaning dumadi, Ardayengrat dene karoban rubeda).
Meskipun pemimpin dan perangkatnya, bahkan tokoh masyarakat itu baik, namun kebaikan mereka tidak menciptakan kebaikan (Ratune ratu utama, Patihe patih linuwih, Pra nayaka tyas raharja, Panekare becik-becik, Paranedene tan dadi, Paliyasing Kala Bendu, Mandar mangkin andadra, Rubeda angrebedi, Beda-beda ardaning wong saknegara).
Solusi Terlepas dari Jebakan Kalatidha
Jika kita hubungkan dengan kondisi sekarang, kita dapat merasakan sendiri bagaimana keadilan dipermainkan, kesejahteraan sebatas janji, dan kekuasaan disalahgunakan untuk memperkaya diri. Ironisnya, golongan intelektual ada yang ikut-ikutan membenarkan bahkan ikut ambil bagian, sebagian lagi dari mereka justru mendiamkan. Sedikit yang melawan karena masih yakin akan tugas mulianya sebagai rausyan fikr.
Ranggawarsita sebenarnya memberikan tiga solusi untuk menghindarkan Indonesia dari perangkap zaman Kalatidha (edan) sekaligus dapat menjadi arah pengembangan sumber daya manusia Indonesia ke depannya untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Emas.
Pertama, ialah dengan mengangkat orang-orang yang berbudi luhur meskipun menurutnya orang-orang seperti ini cenderung tidak terpakai di zaman ini (Ing jaman keneng musibat, Wong ambeg jatmika kontit). Akan tetapi, kalau kita membaca dari sudut pandang lain, di sinilah letak solusi sebenarnya.
Kita kekurangan orang-orang yang berbudi/bijak dalam kehidupan bernegara sehingga menjadi baik saja tidaklah cukup kalau tidak diimbangi dengan kebijaksanaan dan keberanian.
Kedua, yakni dengan membentuk karakter kebangsaan yang selalu ingat dan waspada (begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada) bagi seluruh warga Indonesia. Tidak mudah ikut-ikutan serta terus menerus, memiliki keinginan untuk belajar dan diajar.
Aspek ketiga yang juga tidak kalah penting ialah dengan menguatkan ikhtiar pada sang Khalik sembari terus-menerus berada pada jalan yang baik (Karana riwayat muni, Ikhtiyar iku yekti, Pamilihing reh rahayu, Sinambi budidaya ).
Referensi
Stajić, M. (2020). ‘The Political Use of Prophecies in Indonesia’, ISSUES IN ETHNOLOGY AND ANTHROPOLOGY, 15(1). doi: 10.21301/eap.v15i1.10.
Reuter, Thomas Anton.(2016). ‘The Once and Future King: Utopianism as Political Practice in Indonesia’. Utopía: 500 años. Guerra, Pablo (Ed.).Bogotá: Ediciones Universidad Cooperativa de Colombia, 2016,pp. 293-315. doi: http://dx.doi.org/10.16925/9789587600544
Purwadi. 2006. Kitab Jawa Kuno.edisi kesatu. Pinus. Yogyakarta. Teeuw, Andries. 2017. Sastra dan Ilmu Sastra. Pustaka Jaya.Bandung. Raden. Ranggawarsi.1930. Serat Kalatidha. Pustaka Jawa. Jogjakarta.
Teeuw, Andries. 2017. Sastra dan Ilmu Sastra. Pustaka Jaya.Bandung. Raden. Ranggawarsi.1930. Serat Kalatidha. Pustaka Jawa. Jogjakarta.