Sebuah Resume atas Jawa, Islam, dan Pergulatan Diri

Rezal Prihatin

Merujuk desertasi Harun Hadiwiyono dengan judul “Man in The Present Javanese Mysticism” (1967), Islam hanyalah “lapisan tipis” yang menyelimuti masyarakat jawa secara keseluruhan. Beliau lebih dalam menganggap bahwa Islam memang merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat jawa.


Tidak hanya Hadiwiyono, berbagai orientalis seperti Mulder, Geertz, Snouck, dan Graff juga memiliki pendapat yang sama dalam hal ini. Mereka berpendapat bahwa Islam adalah suatu yang asing bagi masyarakat jawa. Jikapun tidak secara eksplisit menyatakan hal tersebut, setidaknya mereka – para orientalis ini – mengisahkan bahwa Islam adalah agama yang diterima secara enggan, dan kemudian menghasilkan aturan yang tidak jelas bentuknya.


Tidak hanya orientalis, para pemikir muslim Indonesia seperti Hamka dalam “Perkembangan Kebatinan dan Jawa”-pun berpendapat demikian. Ia menyebut bahwa Islam Jawa berada pada kondisi bagalu putu, alias samar, tak jelas, dan campur aduk. Begitu pula Rasjidi, dalam “Kebatinan dan Islam”-nya ia mengafirmasi apa yang dikatakan oleh Hadiwiyono, Hamka, dan para orientalis yang sudah disebut di atas.

Baca juga :

Saya, Jawa, dan Islam: Pergulatan Diri


Di titik inilah saya bertanya, apakah benar demikian? Bukan dengan maksud meragukan kehebatan para sejarawan tertulis, tapi lebih kepada, apakah perjuangan para da’i kita, termasuk Walisongo, para Sunan, Sultan dan kalangan Islam lainnya tidak menghasilkan sesuatu yang berarti, kecuali hanya agama yang diterima dengan “enggan” tadi? Yang berabad-abad kemudian harus dimurnikan lagi?


Jika ditelisik lebih lanjut, nampaknya dikotomi tersebut berakar dari pendapat dua tokoh mahsyur yang menaungi diskursus javanologi hingga kini, Raffles dan Crawfund. Keduanya berhasil memberikan struktur yang padu terkait sekularisasi Islam dan Jawa secara historis. Pendapat inipun terus diperbincangkan berulang-ulang oleh para orientalis lainnya. Tentu, dapat diasumsikan bahwa definisi yang dibawa oleh para penulis belakangan ini telah mendapat hasil dikte dari kolonial.


Terdapat penjelasan yang apik oleh Nancy K. Florida, dalam “Writing Tradition in Colonial Java: The Question of Islam” (1997) dan “Reading Unread in Traditional Javanese Literature” (1997). Ia menjelaskan bahwa, ideological violence yang dikampanyekan oleh para orientalis -setelah Raffles- memiliki satu motif yakni untuk menjinakkan masyarakat Jawa paska Perang Jawa (1825-2830). Usaha itu menjadi terlembaga setelah munculnya Institut Budaya dan Bahasa Jawa (Het Instituut vorr de Javansche Taal) pada tahun 1832 di Surakarta. Dari situ berpindahlah tradisi dan cara pandang keilmuan penjajah pada masyarakat Jawa.


Di mata kolonial, “Islam Pribumi” adalah hantu yang meneror dan merupakan “ancaman potensial” atas keberkuasaan ekonomi-politik belanda di Jawa. Oleh Nancy Florida dikatakan bahwa usaha kolonial untuk menghentikan perlawanan dari islam pribumi ini adalah dengan menolaknya. Dalam artian, Belanda berusaha mendoktrin pribumi bahwa Islam tidak sedalam itu pada diri mereka, meskipun orang-orang jawa meyakini diri mereka sebagai muslim dan terus melaksanakan praktik lahiriah dan publik sebagaimana seorang muslim sebagai “pengakuan iman mereka”.


Nampaklah benang merah keterpautan pendapat antar orientalis yang mengkaji Islam Jawa, yang merujuk pada karya utama dari Raffles atau Crawfund. Hal ini mengindikasikan bahwa, kita perlu menelisik ulang apakah benar Islam jawa merupakan agama yang diterima dengan enggan? Dugaan bahwa Islam yang dianut orang Jawa – termasuk pada masa pra-perang Jawa – merupakan Islam yang cacat merupakan temuan yang perlu dikritisi. Hal ini disebabkan penggambaran realita masyarakat Jawa pada masa itu memiliki bias-bias kolonialisme yang meliputi pada kolonisasi budaya, agama, doktrin, dan sejarah yang menghasilkan pengaburan dan degradasi peradaban Jawa.


Maka dari itu saran dari penulis adalah kita perlu menggali bagaimana kondisi masyarakat Jawa-Islam era pra dan kolonial. Kontras dari kedua era tersebut perlu dicurigai, apakah betul konstruksi masyarakat Jawa Islam era kolonial merupakan hasil dari kolonialisme, yang kemudian mereduksi peredaban Jawa Islam yang asli? Asumsi ini barulah sekedar asumsi yang perlu dibantu untuk digali, tentunya tugas ini tidak dapat dilaksanakan oleh penulis sendiri. Perlu adanya usaha untuk melakukan dekolonisasi ilmu pengetahuan dari berbagai segi, termasuk pada kasus ini ialah keilmuan Jawa-Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *