Dunia Menjenuhkan, Sufisme Penyejuknya

Oleh: Eka Ananda Sari (Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya)

Dalam banyak aspek, apa yang terjadi di dunia ini begitu menjemukan dan membuat kita terkadang merasa muak terhadapnya. Sufisme ala Abu Yazid al-Busthami adalah salah satu tawaran yang perlu kita pertimbangkan sebagai obat penyejuknya.

Sejatinya, dunia memiliki banyak istilah atau kiasan yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Beberapa di antaranya adalah: dunia adalah fatamorgana, tempat permainan bagi para manusia yang lalai akan hakikatnya. Bagaimanapun juga, dunia adalah fase ketiga yang sudah semestinya dilewati oleh manusia dalam menjalankan ketetapan-Nya.

Bagaimanapun juga, manusia setelah dilahirkan ke dunia telah dikaruniai akal pikiran oleh Allah untuk membedakan hal yang baik dan buruk, serta untuk menunjukkan bahwa manusia diciptakan dengan tujuan agar mengabdi kepada Allah. Namun, saat ini, mayoritas manusia lupa akan hakikat tujuan penciptaan dirinya. Hingga pada akhirnya mereka hanya menyibukkan diri dengan urusan duniawi, tanpa mempersiapkan urusan ukhrawi.

Seiring berjalannya waktu, kesibukan yang selalu manusia lakukan di dunia menjadikan bosan dan jenuh. Dunia hanya dianggap sebagai tempat berlomba dan bersaing tanpa henti untuk meningkatkan taraf hidup. Contoh aktifitas dunia yang menjenuhkan bagi manusia seperti halnya ambisi pekerja yang hanya fokus bekerja saja tanpa henti, menghabiskan waktu dan tenaga untuk bekerja mencari kekayaan. Bahkan manusia yang tidak bekerja (pengangguran), mereka pun menginginkan hidup yang bergelimang harta.

Contoh seperti itulah yang banyak bermunculan di zaman ini sehingga kehidupan manusia dihabiskan untuk mencari penghidupan tanpa dihiasi dengan aktifitas menyucikan jiwa yang berfokus membangun diri untuk menjauhi hal duniawi semata. Oleh sebab itu, manusia perlu mengetahui istilah dan makna tasawuf/sufisme dalam kehidupan. Hal itu bertujuan agar aktifitas kehidupan duniawi dan persiapan kepada kehidupan ukhrowi dapat berjalan beriringan.

Sebagaimana contoh dari seorang yang alim, sufi, dan zahid, yang mana mereka dapat mengintegrasikan kepentingan duniawi dan ukhrawi mereka secara seimbang. Dengan jalan melepaskan segala bentuk problematika duniawi dan meleburkan dirinya untuk tujuan ukhrawi. Dunia ini fana, tidaklah abadi layaknya permadani Ilahi Rabbi. Alangkah indahnya umat Nabi Muhammad mendalami zuhud dalam hidupnya, karena itulah yang amat disukai Tuhan.

Salah satu dinamika pemikiran seorang sufi Abu Yazid al-Busthami yang menjelaskan kejenuhan duniawi adalah tentang fana’ dan baqa. Lebih spesifiknya sifat kezuhudan (asketisme). Abu Yazid al-Busthami adalah seorang sufi yang menghadirkan konsep baru di tengah khazanah sufisme dan mistisisme Islam, yaitu ajaran fana, baqa, dan ittihad. Beliau juga menjadi tokoh pembatas antara masa asketisme (kezuhudan) dan masa tasawuf teoritis (mistisisme).

Dalam pandangan tasawuf Abu Yazid al-Busthami, fana itu selalu diiringi oleh baqa’, keduanya merupakan keadaan kembar. Adapun makna hubungan dan asal usul keduanya diuraikan oleh Dr. Abdullah al-Daim sebagai berikut: Al-fana ialah hancurnya jiwa manusia yang diiringi oleh baqa’. Maka seorang sufi tidak ada hubungan dengan alamnya (dunia). Karena kesatuan Allah mencakupnya (sufi) dari segala sisinya.

Uraian di atas dijabarkan layaknya keadaan duniawi yang hakikatnya sesaat (fana) akan terasa hampa dan menjenuhkan bagi seorang hamba yang tidak menempuh jalan (salik/ sufi). Istilah al-fana dimaksudkan sebagai fenomena nyata manusia yang tersesat dalam dunianya sehingga kondisi jiwanya redup atau kehilangan arah tujuan hidup yang pada nantinya jiwa itu berkelanjutan tetap hidup pada alam akhirat (kekekalan).

Manusia menjadi sempurna di mana ia selamat daripada keadaan berbilang dan ia tunduk kepada kesatuan yang mutlak. Hal ini mengandung maksud di mana para sufi akan terasa sempurna kebahagiaannya sebab telah dikelilingi Allah dari segala arah jiwa dan raganya sampai merasakan melebur dalam kasih dan Dzat-Nya (keadaan bersatu dengan Allah). Maka jiwanya hancur dan berada beserta Allah.

Teori ini disebarkan oleh Abu Yazid al-Busthami yang didapatkannya dari gurunya Abi Ali al-Sindi. Dalam melihat realitas dunia saat ini, kita patut menuntun umat manusia, khususnya kaum Muslim, untuk perlahan kembali menemukan hakikat siapa dirinya, dan tujuan mengapa dirinya diciptakan. Dengan kita berkaca pada seorang sufi Abu Yazid al-Busthami terdapat kedalaman hikmah dan jalan yang ditempuh beliau dalam mengamalkan tasawufnya untuk sampai kepada Allah.

Kita perlu berusaha menyadarkan manusia di saat mereka merasa jenuh dan overthinking terhadap masalah dunia, kembali mengingat Allah dan menyebut nama-Nya adalah obatnya. Langkah pertama yang dapat diambil untuk menemukan kesejukan hati dan jiwa-jiwa yang lelah adalah berperilaku zuhud (meninggalkan gemerlap kesibukan duniawi). Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa zuhud para sufi tidak memperkenankan seseorang meninggalkan pekerjaanya dan tanggung jawabnya di dunia.

Abu Yazid al-Busthami mengemukakakan bahwa zuhud harus dapat membawa jiwa manusia untuk mendekat kepada Allah sampai kepada tingkat yang tertinggi. Zuhud yang dimaksud bukan mengenai maqam (tingkatan) seseorang, melainkan suatu hal (keadaan) jiwa yang menjadi suci sebab upaya meninggalkan perkara dunia yang sia-sia.

Sufisme dimaknai sebagai ajaran mensucikan jiwa, membangun zahir dan batin untuk mencapai kebahagiaan hakiki. Konsep keduniawian manusia kerap kali melalaikan mereka. Hal itu terus berkelanjutan hingga manusia berada pada titik bosan, titik jenuh mereka pada aktivitas fana nan sia-sia mereka lakukan. Bahkan, lebih ekstremnya lagi mereka rela mengorbankan jiwa dan raga hanya mencari keuntungan duniawi semata. 

Akankah mereka tahu, banyak dari mereka kecewa karena sikap membabi buta terhadap dunia yang kemudian berujung celaka. Berbanding terbalik dengan itu dengan dunia sufisme meniscayakan pentingnya perjalanan mengenal diri dan mengenal Tuhannya. Lingkungan sufisme yang bertendensi pada kehidupan ukhrawi, dalam hal ini penyucian jiwa, terbukti mampu menyejukkan hati dan jiwa manusia yang lalai dan buta akan hakikat diri.

Baca juga:

Bukti Cinta Ilmu Fatimah Al Fihri, Dirikan Universitas Pertama di Dunia

Uraian teori mengenai fana dan baqa’ di atas berkesinambungan dengan konsep tema dunia menjenuhkan sufisme penyejuknya, sebab fenomena manusia belakangan ini banyak menilai kehidupan dunia itu semakin lama semakin hampa, stagnan, bahkan memicu depresi bagi orang yang tidak memiliki iman (agama).

Maka sufisme adalah tawaran yang dapat menjadi obat penyejuk semua problem kehidupan duniawi itu. Dengan melalui teori pokok ajaran tasawuf Abu Yazid al-Busthami, seorang hamba dengan mudah memahami dan menerapkan konsep jiwa manusia melalui fana, yakni penghancuran atau peleburan jiwa pribadi hamba. Kemudian seseorang akan sampai kepada baqa’ (kekekalan) yang ada dalam Allah. Dari situ ia bersatu dengan Allah (ittihad). 

Dalam paham ittihad ini, Abu Yazid al-Busthami dianggap dirinya telah bersatu dengan Tuhan. Padahal karena kefanaannya, beliau sampai tidak mempunyai kesadaran lagi, seolah-olah beliau berbicara dengan nama Tuhan. Itulah titik atau puncak tertinggi Abu Yazid al-Busthami dalam dunia sufismenya, yang mana ini selaras dengan makna dunia menjenuhkan, sufisme obat penyejuknya.

Referensi:

Zulfahani, Mukhlasin Ahmad. “Ajaran Tasawuf Abu Yazid Al-Busthami”, Al-Munqidz : Jurnal Kajian Keislaman. Vol. 8, No. 1 (Januari, 2020).

Ibnu Pakar, Suteja. Tokoh-Tokoh Tasawuf dan Ajarannya. Yogyakarta: Deepublish, 2013.

Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1973.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *