Mansurni Abadi
IMM Malaysia
Dalam setiap peristiwa di zaman digital ini, kita akan selalu dibingungkan oleh fakta yang sebenarnya dengan yang seolah-olah fakta. Apalagi saat ini semua orang bisa menjadi seolah-olah ahli, saksi, maupun korban yang bisa berbicara atas nama kebenaran. Oleh karena itu, mulai dari sekarang kita tidak boleh berpikir faktor yang kedua muncul secara alamiah sebagai akibat adannya ketidaktahuan, ketidaklengkapan, dan ketidaksengajaan dalam menerima, menelaah, dan menyebarkan fakta apalagi dengan semakin dengan populernya istilah buzzer yang kita definisikan sebagai aktor intelektual yang terdiri dari influencer maupun pasukan digital yang siap 1 x 24 jam membela majikannya di dunia maya.
Buzzer ini berkerja dengan dua prinsip yang pertama penuh dengan paradoks, karena ketika mereka berusaha menerangkan mereka juga menutupi, mengelabaui, dan membungkam fakta-fakta yang disinyalir akan menggugat pihak yang memelihara mereka dan yang kedua, tidak tahu moralitas, karena seringkali mereka melontarkan pendapat-pendapat yang sensitif bahkan mendorong terjadinya perpecahan.
Dalam kasus kanjuruhan pada awal oktober itu, belum genap 7 hari jenazah para korban di makamkan. Ruang publik kita di penuhi oleh narasi-narasi yang menempatkan supporter sebagai biang utama tragedi melalui rekaman suara dari tukang dawet di pintu 13, isu ditemukannya narkoba dan minuman keras di dalam dan luar stadion, dan isu telah terjadinya pemukulan terhadap pemain Arema Malang setelah pertandingan sontak booming di jagad sosial media.
Yang terbaru, seorang buzzer yang merangkap dosen di salah satu universitas ternama yang sempat menjadi bulan-bulanan massa di depan gedung MPR/DPR beberapa bulan lalu. Kembali muncul di kanal media yang dikelolanya bersama para buzzer lainnya dengan statement-nya yang dinilai oleh banyak warga net sangat tidak beradab, karena mengapresiasi apa yang dilakukan polisi sebagai tindakan yang tepat. Tentu saja hal ini menimbulkan kekisruhan yang berujung pada pengancaman terhadap diri si buzzer sendiri.
Apakah kemudian si empunya perkataan ini, berarti takut? Tentu saja kecil kemungkinan tidak, apalagi jika melihat rekam jejak penegakan hukum terhadap perkataan-perkataan kontroversial dari mereka yang dicurigai sebagai buzzer sebelumnya yang tidak pernah disentuh oleh aparat.
Di tengah kedukaan kehadiran para buzzer, nyatanya justru mengalihkan kita dari masalah yang sebenarnya. Kita sibuk memverifikasi benar atau tidaknya informasi yang mereka sebarkan dan kemudian sibuk berdebat dengan pasukan digital yang membela mereka ketimbang fokus terhadap kasus yang banyak dinilai telah melanggar kemanusiaan ini. Oleh karena itu, buzzer selepas tragedi Kanjuruhan memiliki dosa yang amat besar, terutama dalam tiga hal.
Yang pertama, menguatkan stigma supporter yang bersalah, termasuk mereka yang tewas sebagai tersangka utama. Bukan berarti saya sepenuhnya membela supporter, karena ada sebagian dari mereka juga yang salah. Misalnya akibat dari kefanatikan yang berlebihan. Namun, peran aparat dalam mengendalikan para supporter yang masuk kelapangan pun memiliki andil.
Tetapi kehadiran Buzzer dengan banyak hoaxnya, membuat seolah-olah supporter menjadi aktor utama yang layak untuk dipersalahkan. Adanya isu telah terjadinya kerusuhan di pintu 13, temuan narkoba dan minuman keras di sekitar dan luar stadion, pembakaran terhadap kendaraan aparat sebelum penembakan gas air mata, dan ditemukannya senjata tajam yang diungkapkan oleh para buzzer yang diistilahkan oleh ‘si dosen’ yang pernah bonyok dengan “petantang-petenteng” itu telah meangakibatkan kuatnya stigma terhadap supporter yang dianggap sebagai biang keladi sepenuhnya dari tragedi ini.
Barisan supporter sebenarnya tidaklah diam dalam menanggapi isu yang dihembuskan para buzzer namun kekuataan pengaruh di media sosial yang kuat dari kelompok buzzer dan pasukan digital itu telah menutup fakta-fakta yang diungkapkan oleh barisan supporter, ini tentunya menjadi semacam ironi mengapa yang benar justru kalah viral dengan yang dibuat seolah-olah benar.
Yang kedua, melakukan kebohongan yang sistematis salah satunya merekayasa seolah-olah adanya saksi-saksi lapangan yang melihat isu-isu yang dihembuskan oleh para buzzer tadi. Masih segar dalam ingatan kita tentang adanya seorang ibu penjual dawet yang melihat terjadinya kerusuhan di pintu 13, yang kemudian dikonfirmasi oleh banyak saksi di lapangan tidak pernah ada pedagang dawet di dekat pintu yang menjadi lokasi banyaknya kematian.
Bahkan beberapa netizen menganalisa perkataan si Ibu pedagang dawet itu yang dianggap tidak memiliki akses jawa timuran sebagaimana framing dari beberapa kelompok buzzer jika ‘si ibu’ itu adalah orang jawa timur asli. Jika pedagang dawet itu benar-benar ada, tentu dia akan muncul di hadapan publik menjadi salah satu saksi kunci dari tragedi di pintu 13, nyatanya hingga saat ini bahkan mungkin nanti sosok itu tidak benar-benar ada sama seperti sosok-sosok rekaan lainnya yang dikatakan melihat jika supporter memasuki stadion membawa minuman keras dan narkoba.
Yang ketiga, membela perlakuan aparat sebagai tindakan yang sudah tepat. Disini kita pun seharusnya prihatin dengan para polisi yang menjadi korban dari tragedi ini. Tapi keprihatian yang disertai sikap membenarkan apa yang dilakukan sebagian dari mereka di lapangan jelas bukan hal yang tepat. Karena akan menormalkan kejadian-kejadian berikutnya yang bisa saja menimpa kita. tidak ada kompromi bagi arogansi aparat apalagi yang jelas-jelas melanggar aturan FIFA.
Barisan polisi yang menembakkan gas air mata ke arah tribun maupun komandan mereka seharusnya diadili karena dari sanalah tragedi yang merenggut 150 nyawa lebih terjadi. Buzzer dalam tragedi membela mati-matian polisi dengan kata-kata yang tidak sensitif terhadap para korban. Bagaimana sebuah tindakan dikatakan telah tepat, terukur, dan efektif jika hasilnya ratusan nyawa melayang dan luka-luka bahkan ada wanita dan anak-anak di dalamnya?
Rasa-rasanya sudah seharusnya penegakan hukum juga berlaku bagi mereka yang membuat polarisasi di tengah banyak tragedi yang menimpa negeri ini. Berharap mereka memiliki pertimbangan moral untuk objektif jelas sebuah utopia, karena mereka adalah barisan yang membela mati-matian kelompok yang disinyalir menaungi mereka. Dalam kehidupan demokrasi, sah-sah saja untuk pro maupun kontra terhadap suatu peristiwa tetapi menjadi tidak etis ketika terjadinya monopoli kebenaran dengan data-data palsu yang justru menyebabkan kepercayaan terhadap pemerintah maupun aparaturnya menjadi berkurang.
Percaya atau tidak sebenarnya gerakan mahasiswa yang selama ini juga merasakan dijelekkan oleh para buzzer lalu distigma oleh sebagian masyarakat, dapat mengambil momentum tentu dalam hal yang positif dari tragedi ini. Dengan pengaruhnya yang besar, gerakan mahasiswa dapat memainkan perannya dalam dua ranah utama.
Yang pertama dalam ranah media, gerakan mahasiswa seharusnya bisa ikut memviralkan suara-suara mereka yang terpinggir yang boleh jadi membawa kebenaran akan tragedi ini agar publik sadar siapa yang paling berhak untuk dipersalahkan. Di ranah ini juga gerakan mahasiswa dapat menjadi counter-narative terhadap semua opini yang tidak sensitif terhadap para korban sekaligus ikut serta menggerakkan protes terhadap pihak-pihak yang enggan untuk bertanggung jawab sekaligus mengawal agar tragedi ini tidak terlupakan.
Yang kedua dalam ranah advokasi, gerakan mahasiswa dapat ikut terlibat dalam mensomasi maupun menolong para korban untuk memperoleh keadilan. Di negeri ini, selain rasa tanggung jawab ada juga keadilan yang menjadi barang langka bahkan tidak pernah ada sama sekali kewujudannya. Butuh pengawal dalam ranah advokasi agar kejadian ini tidak berhenti pada seremonial perenungan dan permintaan maaf tetapi juga pengungkapan siapa yang paling bertanggung jawab dalam kerusuhan ini.