Menjawab Tantangan Pendidikan Islam Pasca Revolusi Industri 4.0 dan Pandemi Covid-19: Review atas Buku Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer

Oleh: Hendra Jaya

Revolusi Industri 4.0 membawa perubahan yang sangat luar biasa di hampir seluruh lini kehidupan. Mulai dari agama, ekonomi, politik, kebudayaan, komunikasi tak terkecuali bidang pendidikan. Ditambah lagi dengan adanya pandemi Covid-19, gerakan revolusi industri 4.0 semakin cepat menuju arahnya, sebagaimana disampaikan Harari, membangun peradaban manusia dan teknologi. Akan tetapi, perubahan cepat akibat dua instrumen tersebut menuntut manusia untuk mengalami evolusi diri, dalam rangka menyesuaikan diri dengan perubahan. Begitu Pula dengan lembaga pendidikan, dituntut untuk mampu mengejar perubahan yang terjadi dengan begitu cepat.

Setidaknya ada dua persoalan dalam dunia pendidikan, yaitu internal dan eksternal. Internal biasanya tidak jauh dari manajerial, kinerja dan lingkungan kerja. Tantang eksternal datang mulai dari revolusi industri 4.0 sebagaimana dijelaskan di awal. Ditambah lagi dengan liberalisasi, sekularisasi dan yang marak hari ini ialah tantangan dari kaum LBT Q+. Beberapa persoalan ini kemudian menuntut lembaga pendidikan Islam untuk terus berbenah. Baik secara manajerial maupun membenahi kualitas SDM yang mampu menjawab perubahan tersebut.

Akan tetapi, pendidikan utamanya lembaga pendidikan Islam mengalami ambiguitas dalam mengejar ketertinggalan. Bahkan secara manajemen, pendidikan Islam mengalami stagnasi, padahal Islam sebagai agama yang ramah bagi seluruh alam, telah memiliki desain masa depan dan al-Qur’an sendiri tidak terputus dari koneksi masa depan. So, seharusnya, pendidikan Islam mampu melakukan dan menyesuaikan atau bahkan melampaui zamannya. Meramu kembali pendidikan dengan tetap berbasis pada nilai keislaman itu sendiri, merupakan kemustian yang harus dilakukan.

Dr. Hambali dan Dr. Mu’alimin dalam bukunya Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer mencoba memaparkan jawaban atas persoalan yang tengah dihadapi oleh pendidikan Islam saat ini, di tengah revolusi industri. Setidaknya ada 6 tema besar pembahasan yang coba dijelaskan oleh kedua penulis dalam bukunya. Tema-tema tersebut menjadi muatan filosofis dalam menyelesaikan tantangan pendidikan Islam dalam menghadapi revolusi industri 4.0.

Pertama, yang harus dimaknai secara mendalam ialah manajemen itu sendiri. Penulis dalam bukunya mencoba memberikan perspektif yang luas, baik dari barat maupun dari timur (Islam). Memang jika bicara manajemen, kita tidak bisa lepas dari pandangan barat, karena secara etimologi, manajemen berasal dari bahasa Italia, Yunani dan lain sebagainya. Selanjutnya dengan rinci penulis memaparkan apa saja fungsi dari manajemen itu sendiri. Tentu hal ini sangat memudahkan pembaca untuk memahami secara utuh manajemen itu sendiri.

Untuk menyempurnakan pandang pembaca, penulis juga memberikan menjelaskan makna pendidikan dari berbagai sudut pandang. Ia, jika melihat persoalan utama dari pendidikan kita ialah mereka kehilangan makna itu sendiri. Utamanya di tengah kapitalisasi pendidikan, pendidikan kehilangan makna sekaligus kehilangan arah. Misalnya, sebagaimana yang penulis sampaikan, pendidikan sebagai ta’bid[1]:

“Ta’dib, yaitu pendidikan yang memandang bahwa proses pendidikan merupakan sebuah usaha yang membentuk keteraturan susunan ilmu yang berguna bagi diri seorang muslim yang harus melaksanakan”.

Jika ditilit lebih jauh lagi, makna tersebut sebagai salah satu substansi dari pendidikan Islam, namun, dengan sangat berat hati kami melihat makna ini tengah ilang dari pendidikan kita. Bahkan, kritik pedas tentang realitas pendidikan kita datang Sahide[2], ia mengungkapkan bahwa pendidikan dewasa ini tidak lagi mampu mencetak manusia profetik, ia hanya memproduksi buruh yang dibutuhkan oleh pasar. Ungkapan tersebut menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan kita. Maka, kembali kepada makna pendidikan dan manajemen merupakan sebuah keharus bagi lembaga pendidikan kita saat ini. Bahkan untuk memotong arus sekularisasi pendidikan, lembaga pendidikan Islam harus meramu kurikulum berdasarkan makna dari pendidikan Islam itu sendiri.[3]

Kedua hingga keempat tema yang diangkat oleh penulis masih sekitar manajemen namun pada tema ini, penulis coba memaparkan lebih luas lagi implementasi dari manajemen pendidikan Islam itu sendiri. Lagi-lagi yang membuat buku ini menarik ialah penulis selalu mencoba memaparkan tulisannya dari berbagai paradigma. Implementasi manajemen misalnya, penulis memaparkan dari berbagai sudut pandang, mulai dari klasik, kontemporer, pesantren, madrasah hingga sekolah.

Keberagaman sudut pandang tersebut, memberikan pandangan yang holistik terhadap pembaca, kemudian pembaca dalam melihat fenomena dari sudut pandang manajemen pendidikan Islam, akan muda memberikan solusi, karena memang penulis benar-benar mencoba untuk membuat desain secara utuh tentang MPI dari berbagai sudut pandang. Walau dalam pembahasan ini, penulis tidak banyak menggunakan pendekatan realitas empiris. Padahal jika berbicara pendidikan, haruslah menggunakan pendekatan tersebut.

Pada bab selanjutnya, penulis coba memaparkan mengenai kepemimpinan. Jika kembali pada apa yang telah kami tuliskan diawal tadi, tantang manajerial suatu lembaga pendidikan merupakan momok yang terus berlangsung. Apalagi beberapa model pendidikan di pesantren yang kerap satu arah dan tidak ada ruang demokratis membuat pesantren mengalami stagnasi dalam perkembangan, di tengah perkembangan dunia. Dalam buku, penulis memberikan setidaknya ada empat modal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, Sidiq, amanah, tabligh, dan fatonah. Sebagaimana nabi Muhammad dalam memimpin, keempat modal inilah yang beliau gunakan dalam membumikan Islam. Namun, dewasa ini, banyak pemimpin kita yang kehilangan keempat hal tersebut. Sehingga tidak hanya lembaga pendidikan Islam, bahkan, Islam itu sendiri mengalami ketertinggalan yang sangat jauh.

Kehilangan keempat karakteristik kepemimpinan tersebut sama dengan kehilangan pemimpin itu sendiri. Jika suatu lembaga sudah tidak ada lagi pemimpinnya, kama bisa diterka, lembaga tersebut akan mengalami stagnasi atau bahkan bisa bubar. So, dalam menjawab tantangan dunia pendidikan saat ini, pimpinan di suatu lembaga pendidikan, harus kembali merefleksikan bagaimana Rasulullah memimpin. Jika Rasulullah dulu hijrah dari Mekah ke Madinah, maka pemimpin saat ini harus hijrah dari paradigma klasik menuju paradigma Islam itu sendiri.

Tema selanjutnya tidak kalah penting bagi dunia pendidikan kita, manajemen mutu. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa manusia nusantara dalam melihat suatu lembaga pendidikan, yang utama dilihat ialah mutu dari lembaga. Baik secara fisik maupun non fisik. Bangunan sekolah, sarana dan prasarana, pendukung belajar dan bermain, prestasi sekolah, model kurikulum, pelayanan dan lain-lain. Islam dewasa ini tengah terjebak pada arus modernisme, padahal jika bicara Islam itu sendiri, dia seharusnya menjadi basis bagi konstruksi peradaban, tidak terkecuali pendidikan.

Maksud kami ialah, dari kurikulum misalnya, harusnya sebagai landasan filosofis konstruksi dari sebuah kurikulum adalah nilai-nilai Islam itu sendiri. Bukan sebaliknya, mengamini liberalisasi dan sekularisasi sebagaimana pendidikan nasional kita. Mengembalikan mutu dari pendidikan saya rasa haruslah melalui kurikulum, sebagaimana disebut dalam pembukaan bab ke 5 oleh penulis, bahwa pendidikan adalah sarana untuk mengecat manusia unggul dan bermartabat. Maka semua harus dimulai dari pengembagan kurikulum yang integratif.

Kurikulum merupakan salah satu komponen yang wajib ada dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Bahkan Khozin[4] menyebutkan bahwa kurikulum adalah jantung pendidikan. Artinya jika kurikulum yang ditawarkan suatu lembaga sehat maka output dari pendidikan tersebut akan sehat pula. Tetapi sebaliknya, apabila kurikulum pendidikan sakit atau terdapat iklim yang tidak seimbang dalam implementasi dari kurikulum, maka semua hal baik yang menjadi tujuan pendidikan akan tersandera dan tergadaikan bersama kurikulum. Sebagaimana dewasa ini, institusi pendidikan tidak lebih dari sebuah pabrik yang bertugas mencetak dan memproduksi tenaga-tenaga kerja terdidik dengan keseragaman pola pikir yang patuh dan tidak kritis. Pabrik ini akan terus-menerus menyesuaikan cetakannya agar “produk-produknya” selalu sesuai dengan permintaan pasar.

Pendidikan Nasional telah gagal mencetak manusia berakhlak profetik (kenabian), hal ini bisa dilihat dari munculnya kasus siswa yang memukuli guru, misalnya  di Pontianak pada tahun 2017 siswa MTs hantam guru dengan kursi,[5] ditahun yang sama EY (inisial), murid SMA Negeri Kubu Raya, Kalimantan Barat memukuli guru dengan Kursi,[6] bahkan tahun 2018 lalu di Sampang murid tega menganiaya gurunya hingga tewas,[7] dan masih banyak lagi kasus lain yang tersebar di media.

Setelah meningkatkan mutu baik secara kurikulum maupun pelayanan selanjutnya meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia ialah keharusan. Sebagaimana dalam pembahasan buku tersebut. Meningkatkan muru SDM harus dilakukan untuk menyimbangi tantang zaman. Mau tidak mau, pendidikan yang tidak bisa lepas dari manusia, maka manusia yang ada dalam ruang-ruang pendidikan harus ditingkatkan kapasitasnya, mengingat perubahan yang terjadi.

Terakhir menjawab tentang revolusi 4.0 haruslah dari dunia pendidikan, kita tidak bisa berbicara tentang teknologi secara lebih jauh tanpa diimbangi oleh pendidikan karakter. Kita juga tidak bisa melawan perkembangan zaman hanya melalui ekonomi dan politik, namuan harus mampu menguasai diri dan meningkatkan kapasitas diri.

Catatan Akhir

Dalam mendalami manajemen pendidikan Islam hal yang harus dipastikan terlebih dahulu ialah dari sudut pandang mana kita memaknainya. Jika berangkatnya dari memaknai dari masing-masing kata atau Islamnya yang diakhirkan berarti ada yang salah dari memaknainya. Seharusnya dari kata awal saja, manajemen misalnya maka kita harus menilik bagaimana makna manajemen dalam perspektif Islam pun dengan pendidikan hingga islamnya itu sendiri. Sebab nanti maknanya akan partial tidak utuh. Pada sub bab awal yang membahas mengenai makna manajemen yang hanya dimaknai dari sudut bahasa italia itu menunjukkan sebuah paradoks, yang mana kita dapat juga menilik dari sudut pandang islam. Sebab dalam paradigma nusantara ketika masih berpikiran ontologi, epistemologi, aksiologi maka cara berpikir kita yang niat awalnya untuk menyucikan justru menjadi memberatkan. Semisal di Islam kita memiliki istilah idarah (segala usaha, tindakan dan kegiatan manusia yang berhubungan dengan perencanaan dan pengendalian segala sesuatu secara tepat guna yang memiliki asas beriman, bertaqwa, keseimbangan dan keadilan, serta musyawarah). Jadi bukan manajemen pendidikan yang diislamkan tapi ketiga pemaknaan kata itu dalam implementasinya memang harus islam dahulu jika ingin dalam.

Manajemen yang sudah ada sejak zaman purbakala namun baru menjadi sebuah ilmu tertulis di abad 19 atau 20 an telah diungkapkan. Bab demi bab diungkapkan secara mendalam dari sisi keilmuan sebagaimana adanya namun yang seharusnya ada disini ialah bagaimana manajemen pendidikan islam kontemporer berpadu pada nilai budaya Indonesia dan tantangan eksternal Indonesia yang diungkap disini. Sebab dengan yakin pasti tujuan dari dituliskannya buku ini ialah untuk Indonesia secara spesifik. Contohnya disini dikatakan bahwa dalam prinsip utama manajemen pendidikan islam itu ada (perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan). Nah kenapa tidak mencoba mencari temuan baru dari perpaduan tadi. Mencontohkan adanya manajemen pendidikan Islam dalam masing-masing daerah kita. Masing-masing daerah Indonesia memiliki nilai budaya atau konsep pendidikan yang dapat melepaskan kita dari cara pandang yang selama ini dipakai (itu masih belum sepenuhnya suci). Jadi pada akhirnya rujukan manajemen pendidikan yang katanya wajib dari Al Quran dan hadist ini bukan sebagian saja namun keseluruhan bagaimana sistem memanajemennya itu sesuai dengan islam. Contohnya dalam bab kepemimpinan Islam dicontohkan bahwa pemimpin yang ideal haruslah seimbang antara agama dan bisa mengatasi seluruh tantangan zaman demi tercapainya pendidikan yang optimal.

Hal yang masih jarang terdengar sedikit disini ialah istilah kontemporer ini harus menilik juga pada tantangan zaman yang mana yang dimaksud, kemudian apakah Indonesia ini dulunya sudah memiliki pemimpin atau konsep kepemimpinan yang bisa jadi sungguh ideal dan sarat akan Islam namun konsep kepemimpinannya tidak pernah dipakai. Semisal saja dalam teori umum barat yang baru muncul trilogy kepemimpinan (sense of belonging, sense of participate voluntarily defend, dan sense of introspection) maka dalam Jawa ada Tribrata, di Sumbawa ada nilai 7 Pasatotang Adat. Maka tiga persoalan klasik yang dibahas yakni kepemimpinan, stakeholder, dan pembelajaran dapat diatasi dengan Islam kontemporer sekaligus nilai budaya yang mengarah ke-Tuhan (Islam) yang sudah ada berabad-abad lamanya di masyarakat kita yang wajib dihidupkan kembali. Jadi kontemporer harus juga dipadukan dengan Islam dan nusantara itu sendiri.

Daftar Referensi

Sahide, Ahmad. (2010). Kebebsan dan Moralitas, Yogyakarta: The Phinis Press

Lutfillah, Novrida. Dkk. (2020). Gagasan Tentang Peradaban, Malang: Penerbit Peneleh

Khozin. (2016). Pengembangan Ilmu di Perguruan Tinggi Keagaaman Islam, Jakarta: Kencana


[1] Hambali, Manajemen Pendidikan Islam Kontenporer, hal 25-26

[2] Sahidie, Ahmad. Kebebsan dan Moralitas, (Yogyakarta: The Phinis Press, 2010), hal 53

[3] Lutfillah, Gagasan Tentang Peradaban…hal 168

[4] Khozin, Pengembangan Ilmu di Perguruan Tinggi Keagaaman Islam, (Jakarta: Kencana, 2016) hal 36

[5] https://m.liputan6.com/citizen6/read/3357217/begini-kronologi-siswa-mts-di-pontianak-hantam-guru-pakai-kursi, diakses pada 11 Nov 2020

[6]https://today.line.me/id/v2/article/5+Kasus+Murid+Menganiaya+Guru+Jangan+Sampai+Si+Kecil+Melakukan+Hal+Ini-0PKoR2

[7] https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3847907/siswa-sma-di-sampang-jadi-tersangka-penganiaya-guru-hingga-meninggal?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *