Rejuvenasi Islam ala Soekarno

Oleh: Ahmad Bagus Kazhimi

Soekarno merupakan salah seorang tokoh bangsa yang mencoba mencari inspirasi dari berbagai ajaran dan keyakinan, termasuk Islam. Bahkan ia mencetuskan gagasan rejuvenasi Islam yang bertujuan untuk memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Sebagai sebuah peradaban, Islam berawal dari risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw kepada masyarakat Arab yang pada saat itu masih lekat dengan praktik jahiliyah semacam berjudi, pesta minuman keras, hingga melegalkan seks bebas.

Kehadiran Islam sendiri sejatinya ingin menjadi pelita dari kegelapan yang menaungi alam pikiran maupun perasaan penduduk di wilayah Arab saat itu, khususnya di Kota Makkah.

Perjalanan sejarah kemudian membawa Islam melewati etape-etape yang penuh warna dan dinamika di dalamnya. Dari era Khulafaur Rasyidin, imperium Bani Umayyah, kejayaan Bani Abbasiyah, munculnya kerajaan-kerajaan seperti dinasti Fatimiyah dan Safawiyah, dan superioritas kesultanan Turki Utsmani.

Kemudian Islam mengalami pergulatan dengan modernitas, hingga sampailah pada era di mana kita dihadapkan dengan revolusi yang sangat masif di bidang teknologi dan digital. Ada yang menyebut masa ini sebagai post-modern, post-human, hingga digital era.

Dengan segala nilai dan ajaran luhurnya, Islam tentu harus bisa berdialog dengan semangat zaman (zeitgeist) yang sedang berkembang, terlebih jika ia tak ingin tergerus begitu saja ditelan sejarah.

Visi dan misi Islam yang dibawa oleh putra Abdullah dan Aminah itu harus bisa diaktualisasikan maupun dikontekstualisasikan dengan isu-isu besar yang menjadi perbincangan masyarakat global, namun tak serta merta kehilangan akulturasi dengan lokalitas tempat di mana Islam itu menjadi pedoman dan acuan warga di dalamnya.

Lalu, bagaimana dengan corak Islam yang tepat di bumi Indonesia ini? Apakah ia harus bermotif modern-sekular layaknya di Turki? Atau memilih modern-konservatif sebagaimana di Arab Saudi?

Soekarno sendiri pernah menullis dalam risalah yang berjudul Memudakan Pengertian Islam (Rejuvenasi Islam) bahwa motif keislaman di Indonesia haruslah otentik sesuai dengan spirit kebudayaan dan kebangsaan yang menjadi latar belakangnya, bukan meniru apa yang menjadi corak Islam di Turki, Iran, Mesir, Palestina, India, atau Arab Saudi.

Pemahaman Soekarno ini tidak datang begitu saja. Hal itu lahir dari pergumulan intelektual, emosional, maupun spiritual yang ia dapatkan ketika berdiskusi dengan figur-figur penting nan berpengaruh pada masa itu, seperti HOS. Tjokroaminoto, KH. Ahmad Dahlan, Ahmad Hassan, KH. Mas Mansyur, dan tak terkecuali ayahnya sendiri, Raden Soekemi Sosrodiharjo.

Dalam salah satu tulisannya, Soekarno secara tegas bahwa model keislaman yang berkembang di Indonesia perlu diremajakan kembali (rejuvenasi) sesuai dengan kultur dan perilaku masyarakat di dalamnya.

Setelah melalui proses perenungan dan pemikiran yang cukup mendalam, lahirnya gagasan Nasionalisme-Islamisme-Komunisme (NASAKOM) dari Soekarno, yang mana gagasan tersebut kemudian menuai pro dan kontra yang cukup ramai dari berbagai kalangan, mulai dari aktivis, akademisi, hingga kiai.

Sintesa yang coba dilakukan Soekarno melalui rejuvenasi Islam itu sebenarnya berangkat dari kegelisahannya ketika melihat ada beberapa kelompok Islam yang anti dengan nasionalisme serta mereka yang cenderung bersifat infividualistis dan mengesampingkan kesejahteraan bersama sebagai sebuah bangsa yang satu.

Apa yang coba dirumuskan Soekarno melalui konsep NASAKOM itu merupakan alternatif jawaban dari corak keislaman yang otentik dan khas dari Indonesia.

Pada karyanya yang berjudul Di Bawah Bendera Revolusi misalnya, Soekarno mengatakan dengan sangat tegas betapa pentingnya integrasi antara nasionalisme, islamisme, dan komunisme sebagai jalan untuk mendapatkan kebenaran sejati, sehingga cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa dicapai bersama-sama.

“Selama kaum Islamis memusuhi faham-faham nasionalisme yang luas budi dan marxisme yang benar selama itu kaum Islamis tidak berdiri di atas shirathal mustaqim; selama itu tidaklah ia bisa mengangkat Islam dari kenistaan dan kerusakan. Kita hanya mengatakan bahwa Islam sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-kewajibannya yang menjadi kewajiban nasionalnya pula.”

– Ir. Soekarno

Pemahaman Islam yang mendalam menurut Soekarno pada akhirnya perlu disertai dengan ikatan nasionalisme yang kuat serta solidaritas masyarakat yang erat demi mewujudkan tegaknya satu peradaban luhur nan agung yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

Baca juga:

Diseminasi Moderasi Beragama Melalui Pendidikan Tanggap Budaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *