Terpenjara dalam AKU

Oleh: Asep Irawan

(Koordinator Pangan dan Energi Aktivis Peneleh Nasional 2022-2024)

Penjara adalah momok menakutkan tatkala diri sudah mulai leluasa mengenal kebebasan. Bebas yang hanya dimaknai tanpa ada sekat pembatas antara nafsu dan kefitrahan. Memandang bebas bagi seonggok manusia hanyalah pelimpahan kenafsuan dalam samudra keduniawian, sedangkan bebas dalam rumus illahi dimaknai dengan Al-Qayyum (yang Maha Mandiri).

Kini kebebasan dijadikan alat dalam bergerak untuk melenggangkan kepentingan, padahal sifat Allah (Al-Qayyum) yang tercermin dalam setiap makhluk yang ada di alam semesta (termasuk manusia) adalah jalan menuju Al-Haqq.

Kini pun, demi nama kebebasan berpendapat, (kadang) kita merasa orang yang paling benar karena pengetahuan yang menuntut untuk mendikte kemudian memberikan kesimpulan yang bermuara kepada penghakiman. Padahal sifat Allah dalam menentukan sesuatu sudah terefleksikan dalam sifat Al-Hadi (Maha Memberi Petunjuk).

Dari Al-Hadi saya menemukan satu kata kunci dalam memaknai kata “AKU” yang terefleksi dalam makhluk di alam semesta pada salah satu tulisan Alm. K.H. Agus sunyoto yang pada saat itu terjadi diskusi antara Raden Ario Abdillah mantan adipati Ku Kang (Palembang) dengan San Ali.

Raden Ario di dalam cerita Suluk Abdul Jalil mengatakan: “Dengan pengalaman hidup yang kulewati ini, o Anak, aku makin sadar bahwa segala sesuatu tanpa kecuali adalah milik-Nya. Karena itu, hari-hariku sekarang ini kuhabiskan untuk menunggu Dia mengambil milik-Nya yang kini telah lapuk dan renta dimakan zaman. Dan lantaran itu, kutinggalkan segala sesuatu yang pernah kuanggap sebagai milikku di dunia ini. Kuhadapkan pikiran dan perasaanku hanya kepada-Nya, agar saat Dia mengambilku, seutuhnya diriku kembali kepada-Nya tanpa beban apa pun dari dunia yang pernah kutinggali ini.”

San Ali menimpali: “Jika Tuan ingin kembali hanya kepada-Nya, hamba yakin itu akan terjadi. Namun, mohon Tuan jelaskan kepada hamba bagaimana dengan nasib uwak dan ibunda Tuan yang tetap tinggal di dalam kegelapan ajaran najis itu?”

“O Anak,” sahut Ario Abdillah dengan suara berat. “Engkau tidak bisa menilai sesuatu ajaran sebagai sesuatu yang najis atau suci. Sebab, semua itu berasal dari-Nya. Semua milik-Nya. Perbedaan yang engkau lihat sebenarnya hanya pada tingkat penampakan indrawi belaka; hakikatnya adalah sama, yakni menuju hanya kepada-Nya. Yang gelap maupun yang terang, semua menuju kepada-Nya.”

“Hamba kurang paham dengan penjelasan itu, o Tuan,” San Ali penasaran.

“Ketahuilah, o Anak, bahwa Dia bukan hanya pemilik segala sesuatu yang tergelar di alam semesta. Dia menata dan mengatur semuanya. Jika engkau sekarang ini berada di dalam golongan muslim dianugerahi iman maka sesungguhnya engkau berada dalam golongan yang tercerahkan oleh cahaya salah satu nama indah-Nya, yakni Al-Hadi, Yang Memberi Petunjuk, yang dari-Nya mengalir para malaikat, nabi, rasul, wali, dan orang-orang saleh.”

“Sementara jika engkau berada di dalam golongan di luar penganut ajaran Islam yang engkau nilai najis karena berlumuran darah, maka sesungguhnya engkau berada di dalam golongan yang terbimbing oleh salah satu nama indah-Nya, yakni Al-Mudhill, Yang Menyesatkan, yang dari-Nya mengalir iblis, setan, penyembah berhala, pemuja kegelapan, dan pengorban darah.”

“Tetapi, semua itu bersumber dari-Nya dan bermuara kepada-Nya. Dialah Yang Tunggal, yang memiliki kekuasaan mutlak menggolongkan orang ke dalam pancaran masing masing nama-Nya. Dia pula yang berkuasa mutlak membimbing orang ke jalan terang atau menyesatkan orang ke jalan gelap, tanpa ada yang bisa mengganggu gugat.”

“Dengan memahami hakikat ketunggalan-Nya, o Anak, engkau tidak akan terperangkap lagi ke dalam batasan-batasan yang telah dibuat-Nya untuk menghijab ciptaan-Nya dari Dia. Untuk itu, o Anak, jika engkau ingin menuju hanya kepada-Nya maka engkau wajib menyingsingkan tiap-tiap hijab yang membungkus kesadaran sejatimu sehingga engkau memahami bahwa seluruh makhluk di alam semesta ini, mulai dari malaikat, bidadari, manusia, hewan, tumbuhan, jin, setan, bahkan iblis adalah penyembah dan pemuja Dia, meski dengan sebutan dan tata cara yang berbeda.

Sesungguhnya Dia itu Esa. Tidak ada sesuatu yang menyamai apalagi menyaingi Dia. Sebab, telah tertulis dalam dalil: Kana Allahu wa lam yakun ma’ahu syai’un. Dia ada. Tidak ada sesuatu bersama Dia.”

Seberapa AKU kah di dalam aku yang kecil? Apakah penguasaan aku akan menuntunku saat ini adalah jalan terbaik? Wallahu a’lam bi shawab

Referensi

Sunyoto, Agus. 2011. Suluk Abdul Jalil Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar. Yogyakarta: Pustaka Sastra LKiS Yogyakarta

Baca juga dari rubrik Karya Seni dan Sastra lainnya:

Mentari yang Merembulan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *