Oleh: Hendra Jaya
(Koordinator Nasional Aktivis Peneleh 2020-2022, President of World Youth Association)
Tema yang diusung masih erat sekali dengan pandemi. Walau katanya di negeri ini, 70-85 persen pandemi sudah teratasi. Apel detik-detik proklamasi untuk memperingati Dirgahayu Republik Indonesia kemarin tidak menggunakan masker, ditambah dengan acara dangdutan bersama.
So, barangkali bukan kita bangkit dan melawan pandemi. Tapi hal-hal substansi lainnya. Kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi dan bahkan kita harus bangkit dan melawan modernisme!
Tema kemiskinan di negeri ini tentu tidak akan tuntas dibahas, apalagi sampai sekarang, “paduan suara” kita di Senayan tidak punya desain dan peta untuk mengatasi kemiskinan. Maka tidak heran justru kemiskinan moral timbul. Saya meyakini bahwa 100 persen kemiskinan moral tidak lahir dari mereka yang miskin, justru meraka hanya korban.
Lihat saja siapa yang melakukan korupsi uang bantuan sosial? Siapa yang merekayasa banyak kasus? Siapa yang mengendalikan ekonomi menjadi ekonomi liberal? Siapa yang mendesain negara menjadi negara paling liberal dan materialis?
Belum lagi ketidakadilan. Lihat saja dalam hal paling substansi, seperti pendidikan. Tidak semua anak negeri ini memiliki nasib dan keuntungan yang sama soal pendidikan. Ada banyak dari mereka yang tidak memiliki akses pendidikan.
Jangan bicara soal hukum di negeri ini. Malah di negeri ini, penegak hukumnya yang banyak melanggar hukum. Dalam satu kasus, sudah 31 polisi (maaf 31 tentu bukan oknum lagi) diperiksa. Masih mau bicara keadilan? Ini sedikit banget dari contoh.
Belum lagi kalau berbicara soal diskriminasi di negeri ini. Si miskin selalu tidak punya akses politik, ekonomi, dan pendidikan. Mereka yang beruang memiliki kuasa atas apa pun di negeri ini. Diskriminasi di mana-mana, dari tingkat terkecil hingga besar sekali pun dalam sistem demokrasi liberal ia hadir. Lihat saja di hampir seluruh desa di Indonesia, yang mengendalikan semuanya adalah mereka yang beruang, mereka yang memiliki modal. Si miskin selalu jadi korban atas politik dan ekonomi!
Belum lagi keterjajahan kita nampak jelas akibat modernisme. Mulai dari keterjahahan paradigma, pola pikir, hingga cara hidup. Atas nama moderensme dan kemanusiaan -lihat saja-, semua hal di negeri ini dilanggengkan. LGBT, pergaulan bebas, bahkan sampai pesta sex pun tidak masalah.
Nilai ke-Nusantara-an yang religius dan berkebudayaan diletakkan di tempat yang paling bawah dan sudah dianggap tidak penting. Kalau sudah ikut Barat, sudah mirip dengan Barat maka kamu sudah menjadi manusia berkebudayaan. Masa bodolah itu religius dan kebangsaan, yang penting kamu kaya secara materi toh sudah bisa mengendalikan Indonesia. Modernisme dan demokrasi liberal sama jahatnya!
Lantas, sudahkah kita merdeka di tengah lara negeri ini? Sudahkah kita memiliki kemerdekaan 100 persen sebagaimana yang dimimpikan HOS. Tjokroaminoto, KH. Wahab Chasbullah, Ir. Soekarno, Tan Malaka, dan lain-lain?
Saya rasa kita akan serentak menjawab TIDAK!
Jika begitu, mungkinkah kita harus memproklamasikan kemerdekaan utuh untuk negeri ini?
DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA ATAU DIRGAHAYU REPUBLIK (END)ONESIA?
Baca juga tulisan berikut ini:
Indonesia Darurat Pornografi dan LGBT, MUI-Kominfo Kemana Aja ni?