Oleh Hendra Jaya
(Koornas Aktivis Peneleh 2020-2022, President of World Youth Association)
Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu! Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada meraka dan selalu mengerjakan yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim: 6)
Perkembangan teknologi dan informasi kian masif, internet dan gadged saat ini telah menjadi teman bagi kehidupan masyarakat, khususnya anak-anak dan pemuda. Tidak hanya membawa dampak positif, tetapi tidak kalah dampak negatif. Tidak sedikit anak-anak dewasa ini kecanduan game online, pornografi, hingga “prostitusi online”.
Data hasil sensusnas dari Kementerian Koordinaator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Femmy Eka menyampaikan bahwa 97% anak di Indonesia terpapar pornografi. Hal tersebut dilatarbelakangi akses pornografi yang mudah diakses oleh semua kalangan. Hanya bermodal gadged dan kuota, apapun bisa diakses dari tempat duduk, tempat tidur dan di mana saja. Persyaratan akses juga sangat mudah, cukup klik pernyataan bahwa anda berumur 18 tahun sudah bisa mengakses, tanpa ada saringan apapun.
Di satu sisi, kaum Nabi Luth muncul kembali di tengah gemerlapnya peradaban. Hal tersebut bisa dilihat di berbagai media dan televisi. Menampilkan figur menyimpang (mohon maaf ‘pelaku LGBT’) ini sudah semakin berani dan masif. Legitimasi yang digunakan tidak hanya berdalih kemanusiaan atau HAM, agama pun tidak jarang digunakan. Di media, mereka menuntuk hak sama, hal ini pun sudah banyak pembela dan tim advokasinya. Bahkan lembaga pendukungnya pun kian menjamur.
Mei lalu, kita dikejutkan oleh Podcast aktris ternama yang mengundang pelaku LGBT, podcast tersebut kemudian disebarluaskan dengan judul “Tutorial Jadi G4y di Indo!!. Tidak berselang lama, kedutaan Inggris kemudian mengibarkan bendera LGBT sebagai ungkapan dukungan di Jakarta. Tentu, pengibaran ini menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.
Kampanye-kampanye LGBT terus dilakukan, Anda bahkan bisa melihat dan menyaksikan prilaku LGBT kapan dan dimana saja melalui telephon genggam. Anda cukup mengunduh aplikasi seperti Netflix, Disney dan semacamnya. Di sana telah disediakan menu dan film LGBT berseri-seri. Ancaman ini kian marak, negeri ini darurat LGBT. Liberalisasi telah benar-benar berhasil.
Ancaman-ancaman, baik berupa pornografi maupun LGBT merupakan tantangan bagi kita bersama, utamanya bagi dunia pendidikan. Padahal membangun karakter manusia paripurna berdasarkan titah Tuhan merupakan kemustian. Akan tetapi, sebelum masuk dalam dunia pendidikan, ada dua hal yang patut kita pertanyakan. Pertama apa peran Kominfo dan lembaga sensor film di negeri ini? Apakah mereka digaji rakyat untuk Pornografi dan LGBT tumbuh subur? Majelis Ulama Indonesia dimana dan ngapain aja?
Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini menyatakan bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengadopsi, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat antara lain: persenggamaan (termasuk yang menyimpang), kekerasan seksual, masturbasi (onani), ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi anak.
Penyebaran dan sekaligus penenaman ideologi dewasa ini dilakukan dengan sangat mudah, hanya melalui gadged saja. Pun dengan pornografi dan LGBT, lihat saja dibeberapa media yang ada di Indonesia, film vulgar dan bahkan LGBT tidak lagi disaring atau disensor. Anda cukup sekali lagi buka aplikasi, menu mulai dari pornografi dan LGBT akan disajikan. Dalam hal ini, yang memiliki tanggung jawab penuh ialah Kominfo.
Kewenangan Kominfo dalam mengatur semua yang keuar dan masuk dalam internet rakyat Indonesia. Begitupula hal-hal yang berbau LGBT/Pornografi seharusnya disaring dengan ketat. Penyebaran film berupa pornografi dan LGBT tentu menimbukan tanya, kemana saja dan ngapain aja nih Kominfo? Apa sudah lupa dengan tugas utamanya?
Tidak salah jika Kominfo asyik kampanye dan lakukan digitalisasi di seluruh aspek kehidupan manusia. Tetapi harus lebih jauh lagi bicara soal nilai dan norma. Kita hidup di bumi dan tanah Nusantara, tanah yang terkena dengan budi dan dayanya! Ia, jika program digitalisasi sukses, tapi semua tontonan di layar hp tidak membangun baik karakter maupun moral manusia Indonesia, apa bisa dikatakan sukses dan berhasil? Barangkali Kominfo harus membaca lagi UU no 30 tahun 2002, atau biar lebih gampang baca dan hayati saja Pancasila.
Di satu sisi, lembaga non pemerintah, dalam hal ini MUI memiliki tanggung jawab besar dalam mengatasi penyebaran nilai di Indonesia. Saya rasa dan Insyaallah benar, dalam mazhab manapun tidak ada satupun ulama’ yang membolehkan paham apalagi perilaku LGBT. Persoalannya, paham LGBT hari ini, sekali lagi, tidak hanya dilegitimasi atas dasar kemanusiaan tapi agama juga. Barangkali MUI jangan teralu sibuk dengan urusan politik praktis. Di tengah degradasi moral manusia saat ini akibat adanya digitalisasi tanpa saringan ini. Kalau Prof. Budi Hardiman dalam buku “Aku Klik Maka Aku Ada”, meyebutnya sebagai era post-truth.
Barangkali saat ini, tidak hanya fatwa yang hadir dalam ruang-ruang fana, tetapi edukasi dan program konkret dalam penanggulanganan LGBT juga dibutuhkan masyarakat. Dalam statmen MUI, LGBT merupakan penyakit yang harus diobati. Lebih jauh lagi tentu tidak hanya statmen sedemikian rupa, namun perlu adanya aksi konkret di tengah masyarakat. Apalagi, mengingat bahwa LGBT hari ini bukan hanya persoalan individu, tetapi sudah menjadi kelompok yang terorganisir.
Data (ruanganinfo.com) di Indonesia menujukan bahwa, 3% dari jumlah penduduk Indonesia merupakan kaum LGBT, mereka tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Sumatra Barat sebasar 18 ribu orang, DKI Jakarta 43 ribu orang, Jawa Tengah 218 ribu orang, Jawa Timur 300 ribu orang, Jawa Barat 302 ribu orang dan beberapa di provinsi lainnya. Jumlah kaum LGBT terus meningkat, hal ini tentu harus segera diwaspadai, khususnya lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan. Jangan sampai lebih banyak lembaga yang membela dari pad yang mikir dan melakukan pencegahan serta pengobatan. Majelis Ulama’ Indonesia harus segera ambil tindakan nyata, jangan hanya diam dengan fatwa.
Sebagai penutup sekaligus sebagai pengingat bagi kita semua, bahwa peraturan Undang-undang Indonesia hanya menetapkan dua jender saja, yaitu pria dan wanita. Hal ini dapat ditafsirkan dari pencantuman tegas tentang pria dan wanita dalam Undang-undang Perkawinan (UU No. 1/1974) dan ketentuan serupa mengenai isi kartu penduduk yang ditetapkan dalam Undang-undang Administrasi Kependudukan (UU No. 23/2006). Maka, tidak ada ruang bagi kaum LGBT di negeri ini, jika ingin tetap menjadi warga Indonesia, harus taat dan patuh terhadap aturan di Indonesia! Jangan sampai azab yang menimpa kaum Nabi Luth diturunkan ke bumi Indonesia.