Oleh: Salman Al-Farisiy
Di zaman ini, sekularisasi telah dan masih akan terus berlangsung. Lalu, bagaimana sebenarnya akar sekularisasi? Apa saja dampak dari proses sekularisasi terhadap kehidupan sehari-hari kita sebagai manusia?
Modernisasi merupakan proses perubahan dunia menuju kemajuan masyarakat. Gerakan modernisme ini mengalami dialektikanya pada awal abad ke-17. Menurut Auguste Comte, modernisasi akan mengakibatkan masyarakat melampaui fase teologis dalam evolusi sosial. Artinya, modernisme membawa masyarakat kepada peradaban yang meminggirkan Tuhan dari urusan manusia.
Sementara itu, Friedrich Engels menyatakan bahwa revolusi sosialis akan menyebabkan agama menguap, tidak disebutkan kapan hari itu akan tiba, namun hal ini disebabkan karena terpinggirkannya urusan Tuhan dalam kehidupan manusia.
Modernisasi memunculkan banyak diskursus baru akibat desakralisasinya terhadap agama. Modernisasi membutuhkan alternatif dari penalaran melalui pendekatan agama, maka dimunculkanlah penalaran melalui pendekatan rasio. Dari pendekatan rasio inilah muncul sekularisasi.
Sekularisasi merupakan proses pembebasan manusia dari proteksi agama dan metafisika. Agama dan metafisika dianggap mengontrol masyarakat, sehingga perlu adanya pembebasan alam lain dari dunia ini.
Sekularisasi, tidak hanya merupakan proyek desakralisasi agama saja, namun sekularisasi merupakan proyek filosofis. Artinya, proses sekularisasi merupakan proses untuk mengubah seluruh paradigma yang sudah mapan dan memunculkan paradigma baru yang sesuai dengan agenda sekularisasi.
Eropa Barat telah mengalami sekularisasi setidaknya dalam 250 tahun terakhir. Faktor yang mendorong sekularisasi di Barat adalah Reformasi Gereja Protestan pada abad ke-16 yang mengatakan bahwa gereja telah menggunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi.
Hal ini dapat diketahui dari praktik jual beli surat penebusan dosa. Martin Luther sebagai pelopor gerakan Protestan melayangkan 95 poin kritik terhadap gereja pada 31 Oktober 1517. Ini merupakan bentuk perlawananannya terhadap Sri Paus yang menyalahgunakan wewenangnya sebagai pemimpin gereja.
Secara garis besar, akar sekluarisasi di Barat terjadi akibat dialektika antara agama dan filsafat yang merupakan kelanjutan dialektika pada masa Yunani. Terdapat dua pandangan alam yang dianggap saling berbenturan, yakni pandangan alam yang didasarkan pada indra khayali dan pandangan alam yang didasarkan pada akal jasmani. Dialektika ini berakhir pada masa Kristen, di mana alih-alih melawan salah satu pandangan, Kristen menyambut sekularisasi itu agar mampu memisahkan keduanya dari satu alam.
Sifat Kristen yang diakui sebagai sifat yang sekular ini terdapat pada Perjanjian Baru, Injil Matius Ayat 22 pasal 21 yang berbunyi: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.”
Kaisar dimaksudkan pada hukum yang mengatur urusan dunia dan negara, dan Tuhan dimaksudkan pada kekuasaan spiritual. Ayat ini menunjukkan bahwa sifat sekuler sebenarnya sudah ada pada bibel. Protes masyarakat terhadap aturan gereja hanyalah momentum untuk membenarkan tujuan tersebut.
Sekularisasi, seperti yang sudah dijelaskan di atas merupakan proyek besar yang akan menghadirkan paradigma-paradigma baru. Hal ini dikarenakan sekularisme merupakan pandangan hidup (worldview) yang memisahkan agama dengan negara. Sekularisme hanya melihat kehidupan yang saat ini saja, tanpa adanya campur tangan aspek-aspek yang bersifat spiritual.
Padahal, pada awalnya tatanan dunia yang sudah mapan ini merupakan campur tangan agama, sehingga dengan munculnya worldview sekularisme, tatanan yang sudah mapan ini dipaksa untuk dirombak dan dicari alternatifnya.
Sekularisme sebagai worldview tidak hanya kemudian berkonsekuensi melahirkan paradigma-paradigma baru, namun juga dari paradigma yang ada akan melahirkan teori-teori baru. Sebagai contoh, paradigma mengenai evolusionarisme akan melahirkan teori kapitalisme. Akibat dari evolusi merupakan kekuatan berubah untuk bertahan hidup, maka kebenaran terhadapnya dapat diaplikasikan dalam persaingan antar manusia untuk menemukan manusia-manusia terkuat yang mampu bertahan hidup.
Dari teori-teori ini, akan menghasilkan disiplin ilmu baru. Feminisme akan melahirkan teori orientasi seksual yang sudah terbangun secara genetik, maka dalam disiplin ilmu keluarga, perempuan sebagai istri tidak memerlukan laki-laki sebagai suami, jika orientasinya lesbian maka yang ia perlukan ialah perempuan sebagai suaminya.
Ditinjau dari historisitasnya, sekularisasi merupakan bagian dari proses dialektika peradaban Eropa dan Kristen Barat. Menurut Yusuf Qardhawi, sepatutnya dialektika itu berhenti hanya pada lingkup wilayah dialektika Barat saja, dan tidak perlu diimpor ke dalam peradaban Islam.
Hal ini dikarenakan dari segi historisitas dan dalil yang ada, umat Islam tidak pernah mengalaminya dan tidak ada dalil yang mendukungnya. Sekularisasi membawa worldview sekularisme, yakni paham pemisahan agama dan negara.
Hadirnya sekularisme sebagai worldview akan menghadirkan paradigma, teori, dan disiplin ilmu baru. Dalam Islam, sejauh apapun ijtihad kita, tetap Al-Qur’an yang menjadi pedoman dalam menentukan pandangan hidup, sehingga produknya merupakan derivasi dari konsep-konsep yang ada dalam Al-Qur’an.
Artinya, worldview Islam akan melahirkan paradigma, teori, dan disiplin ilmu yang sesuai dengan Islam pula. Hadirnya sekularisasi akan menimbulkan benturan pandangan dunia (clash of worldview) antara Islam dan sekularisme.
Referensi:
Ismail, M. Syukri. Kritik Terhadap Sekularisme. (Ponorogo: CIOS. 2015). 6-7.
Kasmuri. “Fenomena Sekularisme” Al-A’raf: Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat. Vol, 11. No, 2 (2014).
Pachoer, Rd. Datoek A. “Sekularisasi dan Sekularisme Agama” Religious: Jurnal Agama dan Lintas Budaya. Vol, 1 No,1 (2016).
Umam, Khoirul dalam perkuliahan dengan tema “Sekularisme”. Jum’at, 3 Juni 2022, pukul 08:00.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. Misykat. (Jakarta: INSISTS-MIUMI. 2021).
Baca juga: