Anik Meilinda
Awal bulan lalu, jagad Indonesia dihebohkan oleh aksi seorang remaja yang rela mati demi konten. Ia mengadang truk bersama temannya. Walhasil, hal itu mengantarnya ke sakaratul maut. Ia tertabrak dan meregang nyawa di tempat. Diketahui dari beberapa media, ia mengadang truk bersama temannya, beruntung temannya berhasil selamat.
Kejadian ini viral hingga diberitakan di berbagai media. Berita ini juga ditanggapi oleh komedian, Ernesh Prakasa di akun twitternya. “Ya Tuhan Kenapa sihhhhhh,” tulisnya diikuti emoticon menangis. Miris. Semoga Tuhan menerima amal-amalmu, Nak. Termasuk kebaikanmu karena telah memberikan pelajaran kepada kita melalui aksi nekad itu. Semoga gegara konten viralmu ini, seluruh rakyat Indonesia, bahkan dunia dapat memetik hikmah yang berharga.
Tidak penting untuk menghakimi atau membahas siapa yang salah. Yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana caranya mencegah hal serupa terjadi di remaja lain atau siapapun di belahan bumi manapun. Kalau di Jepang memiliki angka bunuh diri yang tinggi dan sudah dianggap lumrah, lain halnya di negeri ini. Tapi, apakah kasus ini tergolong bunuh diri? Entahlah.
Dalam buku terjemahan Fahri Salam berjudul “Kisah Pedagang Buku yang Tewas di Bagdad: Belajar dari Para Maestro Nonfiksi” di artikel karya David Samuels “Mati Mati Bareng” diceritakan perihal budaya mati bareng telah menjadi budaya populer di negara sakura, Jepang. Diceritakan pada 1 Maret 2006, sebuah mobil ditemukan di kawasan hutan Saitamam dalam keadaan tertutup rapat dan terkunci. Setelah dibuka, mobil itu berisi lima pria dan seorang wanita yang telah menjadi mayat.
Selama lawatan David di Tokyo selama 2 minggu, ditemukanlah lima kasus yang serupa. Hal ini menandakan betapa akrabnya masyarakat Jepang dengan hal demikian. Hingga kasus beritanya tak ayal dianggap seperti iklan sirup yang numpang lewat. Ya bagaimana, tidak seperti pembunuhan, bunuh diri bukanlah sebuah kejahatan. Nah, apakah kejadian remaja di atas bisa dikategorikan demikian, lalu dianggap fenomena biasa?
Hemat saya, kasus remaja yang dijelaskan di awal adalah salah satu dampak krisis identitas. Sebagian orang rela bertindak konyol, bodoh, bahkan tolol demi mendapatkan subscribers, followers, dan likes di media sosial. Ketenaran di media sosial seperti menjadi makanan bagi penciptaan identitas diri, apalagi bagi remaja. Menurut WHO, masa remaja berada pada rentang usia 10-19 tahun. Selain itu, remaja juga cenderung memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Masa transisi antara anak-anak dan dewasa ini memang menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua dan pemerintah.
Media sosial memang seperti pedang bermata dua. Yang mulanya ditujukan untuk menyampaikan informasi, menjadi ajang flexing (pamer) dan pembuktian identitas. Demi konten, manusia jadi lupa akibat. Demi eksistensi dan memenuhi candu, manusia rela melupakan jangkar kebudayaannya. Andai saja, hingar bingar media sosial yang menggiurkan ini diimbangi dengan pengetahuan literasi yang baik dan bijak. Pastilah konten-konten yang kita konsumsi adalah konten yang membangun semua. Tapi, kalau kontennya edukasi semua, jadi agak krik-krik juga kelihatannya. Ya, yang penting jangan menggadaikan nyawa aja deh, apalagi cuma untuk kepuasan sesaat.
Pegiat media sosial Enda Nasution mengungkapkan, fenomena ini bukanlah hal yang baru. Akun-akun yang memproduksi berbagai tindakan sensasional itu dilakukan karena yang bersangkutan ingin tampil menjadi pusat perhatian. “Jadi, kalau sekarang banyak orang yang pengen ngetop, ya banyak. Karena dari ngetop inilah mereka akan mendapatkan penghasilan dan kepuasan,” terang Enda dikutip dari sindonews.com.
Dalam buku karya F. Budi Hardman berjudul “Aku Klik Maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital” menyebutkan komunikaksi digital, terutama media sosial di satu sisi memang membuka ruang kebebasan komunikasi. Namun, di satu sisi hanya echo chamber (sebuah kondisi dimana seseorang hanya menemukan informasi yang memperkuat pendapat mereka sendiri) dan confirmation bias (kecenderungan manusia untuk mencari bukti untuk mendukung pendapatnya).
Jadi, akal sehat bisa tergeser oleh paparan konten yang kita konsumsi. Tentu, hal ini tidak akan terjadi jika setiap kita memiliki jangkar kebudayaan yang kuat. Sehingga, meskipun diombang-ambingkan ombak, kita tidak akan tenggelam. Namun, lagi-lagi krisis identitas tidak hanya dialami remaja. Lalu, apakah validasi dan eksistensi sepenting itu untuk keberlangsungan hidup? Apakah akal sehat telah tergeser eksistensi?
Menilik kasus di atas. Kita tidak bisa menilai serta merta. Kita tak tahu persis bagaimana kehidupan si remaja, bagaimana keluarganya, bagaimana lingkungannya, dan konten apa yang ia konsumsi setiap hari. Tetapi, ia mengajarkan kepada kita agar lebih hati-hati dalam bertindak. Termasuk mengonsumsi konten dan memproduksi konten. Coba kita pikirkan lagi, membahayakan nyawa diri sendiri dan orang lain demi eksistensi, apakah benar?
Dapat disimpulkan, menuhankan popularitas hingga membahayakan nyawa adalah another level dari ‘Jaman Edan’-nya Ronggowarsito. Pujangga terkenal asal Surakarta itu mendefinisikan ‘jaman edan’ sebagai zaman yang membingungkan, kalau tidak mengikuti, bisa-bisa tidak kebagian hak lalu kelaparan. Seperti dituturkan dalam Serat Kalatidha bait 7 baris 1-6 berikut:
Amenangi jaman edan (Mengalami zaman gilla)
Ewuh aya ing pambudi (Membingungkan dalam berikhtiar/berusaha)
Melu edan ora tahan (Turut gila tidak tahan/tidak sampai hati)
Yen tan melu anglakoni (Kalau tak turut menjalaninya)
Boya kaduman melik (Tidak kebagian milik (hak)
Kaliren wekasanipun (Akhirnya kelaparan)
Keadaan seperti inilah yang terjadi di kehidupan masyarakat. Kedaan yang juga dialami oleh Ronggowarsito saat itu. Maka, Ronggowarsito meninggalkan pesan melalui beberapa seratnya, salah satunya yakni Serat Kalatidha. Ia berpesan agar kita senantiasa “Eling lan waspada” seperti yang tampak pada bait 7 baris 7-9.
Dilalah karsa Allah (Kebetulan atas kehendak Allah)
Begja-begjane kang lali (Seuntung-untungnya yang lupa)
Luwih begja kang eling lawan waspada (Lebih beruntung yang ingat serta waspada/berhati-hati)
Dengan pesan arif ‘ingat dan waspada’ Ronggowarsito itu, apakah kita benar-benar perlu menuhankan popularitas? Apakah kemuliaan manusia ditinjau dari ketenaran di media sosial? Apakah konten yang kita konsumsi mengantarkan kita ke fanatisme? Apakah meregang nyawa demi konten adalah another level of Jaman Edan?
Baca tulisan Anik Meilinda yang lain:
Bukti Cinta Ilmu Fatimah Al Fihri, Dirikan Universitas Pertama di Dunia