Diin dan Hutang kepada Tuhan

Salman Al Farisiy

Dalam Islam, agama diartikan sebagai diin yang pada umumnya diartikan sebagai religion dalam bahasa inggris. Padahal, dalam maknanya, diin sebagai agama berbeda dengan religion sebagai agama. Religion secara harfiahnya berkaitan dengan makna doctrine (doktrin), myth (mitologi), orthodoxy (ortodoksi/ketaatan pada ajaran resmi), ritual, dan superstition (takhayul).

Sedangkan kata diin berkaitan dengan keberhutangan, kepatuhan/ketundukan, kekuasaan, dan kecenderungan alami (Fauzan:  2021). Untuk melihat lebih jauh bagaimana Islam memandang sebuah agama, maka akan dipaparkan mengenai pengertian diin sebagai asal kata dari dana (hutang).

Diin, berasal dari kata dana yakni hutang/keberhutangan. Keberhutangan merupakan kondisi dimana si penerima hutang mendapatkan sesuatu yang wajib dilunasi pada tempo tertentu. Dalam hutang terdapat hukum dan peraturan yang mengatur keberhutangan tersebut, dan si penerima hutang wajib menyerah dan patuh pada peraturan tersebut.

Sedangkan menurut Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas dalam “Islam dan Sekularisme” Diin dijelaskan, arti dalam kata dana (hutang) terdapat beberapa konsekuensi atas dayn (kewajiban) yang sudah ditentukan. Dayn (kewajiban) yang sudah ditentukan ialah wajib untuk membayar hutang. Pembayaran ini merupakan pengembalian atas sesuatu yang dihutangi kepada si piutang (da’in). Seorang da’in juga mempunyai aturan yang wajib (dayn) diikuti, seperti pengembalian yang sama nilainya, waktu tempo, dan dengan cara apa si penghutang harus memperlakukan barang yang dihutanginya tersebut.

Dayn (kewajiban) juga tidak serta-merta bergantung sendiri. Dayn bergantung pada daynunah (pertimbangan) dan idana (keputusan) yang harus disesuaikan menurut keadaan. Artinya, dalam keadaan tertentu, seorang yang menghutangi akan memberikan dayn (pertimbangan) terhadap perlakuan kepada barang yang dihutangkan, sehingga lahir idana (keputusan) yang berlaku terhadap si penghutang sesuai dengan perlakuan terhadap sesuatu yang dihutanginya. Dana, mempunyai konsekuensi  sebuah dayn yang berkonsekuensi pada daynunah yang akan menghasilkan idana (entah positif maupun negatif, tergantung pada perlakuan) bagi si peminjam.

Baca juga :

Memperluas Spektrum Pemaknaan Kita Terhadap Pernikahan

Lalu siapa saja yang mempunyai hutang ini? Dan kepada siapa kita membayar hutang? Sesungguhnya, seluruh makhluk ini berhutang kepada Allah. Allah telah memberi pada mereka eksistensi, dan menjaga eksistensi itu tetap terjaga pada makhluk. Seluruh makhluk Allah, melakukan pembayaran hutang kepada Allah, namun hanya sebagian manusia yang melakukan itu. Ialah mereka (manusia) yang sadar akan keberhutangannya kepada Allah-lah yang menggenggam diin.

Keberhutangan pada eksistensi inilah, yang membuat Manusia sadar akan kewajiban untuk segera melunasinya. Namun, sebagai konsekunsi atas kesadaran, keberhutangan eksistensi inilah yang membuat Manusia merasa dirinya ialah bukan milik dirinya. Apa yang ada di sekeliling dirinya juga tidak dapat menjadi dirinya, karena seluruh eksistensi kepunyaan Allah. Kesadaran atas kekosongan diri inilah yang disinggung oleh surat Al-Ashr, bahwa sejatinya Manusia berada dalam kerugian, karena ia mempunyai keberhutangan namun tidak punya apa-apa untuk dapat dibayar.

Lalu dengan apa pembayaran dapat dilakukan, padahal manusia tidak mempunyai apapun untuk dibayar. Maka, yang dapat diberikan pada Sang Piutang ialah dirinya sendiri. Ia sendiri adalah hutang yang harus dibayar pada pemilik. Pengembalian diri ini merupakan bentuk penyerahan diri secara utuh kepada sang pemilik. Bentuk penyerahan diri ini dapat dilakukan dengan cara pengabdian, yakni memenuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya. Bentuk pengabdian inilah yang dimaksud dengan ibadah.

Akhirnya, kita mencapai suatu kesimpulan bahwa, eksistensi kita ini adalah bentuk pemberian Tuhan yang wajib dikembalikan. Seorang yang memegang diin, ialah seseorang yang sadar bahwa ia mempunyai keberhutangan eksistensi kepada Allah sebagai Sang Piutang. Dengan kesadaran bahwa apa-apa yang ada di Dunia ini (termasuk dirinya) adalah milik Allah, maka seseorang yang memegang diin tidak dapat memberi apapun kepada Allah. Yang dapat dilakukan oleh seorang yang memegang diin hanyalah mengembalikan dirinya sendiri, melakukan penyerahan diri, dengan menghamba, dengan melakukan ibadah kepada Allah.

Akhirnya, kita mencapai kesimpulan bahwa, Agama dalam Islam, mempunyai keluasan dan kedalaman makna. Adanya penyejajaran makna diin terhadap konsep-konsep lain di luarnya merupakan pereduksian. Dari pereduksian inilah, Muhammad Qutb (menyesal terhadap kondisi Muslim kala ini. Kedangkalan dan kesempitan pemahaman, membuat Muslim kala ini tak merasakan kejanggalan barang sedikitpun dalam tubuhnya. Padahal dalam realitanya, ia telah terhempas jauh dari puncak keluhurannya dan merangsek ke dalam jurang kenistaan sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini.

Sumber :

Fauzan. (2021). Konsep Ad-Diin Menurut Naquib Al-Attas, Jurnal Al Madaris Vol. 2, No. 1. Hal 122

Al-Attas, Syed Muhammad Al-Naquib. (1981). Islam dan Sekularisme. Bandung: Penerbit Pustaka.

Qutb, Muhammad. (1992). Konsepsi Ibadah Dalam Membentuk Generasi Qur’ani. Depok: Gema Insani.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *