Oleh: Salman Alfarisiy (Aktivis Peneleh
Apa itu manusia? Apakah kita sudah menjadi manusia? Pertanyaan seperti itulah yang kiranya menjadi landasan adanya agama. Agama mengajarkan kita jalan untuk menjadi manusia seutuhnya. Dalam agama (dan sejatinya secara mutlak seperti itu umumnya), harus ada pembeda antara manusia dengan hewan. Sekecil-kecilnya kegiatan, sesmpit-sempitnya waktu, sesederhana-sederhananya perilaku, harus ada pembeda antara hewan dengan Manusia.
Banyak sekali hal terkait perilaku keberagamaan yang perlu disadari bahwa ia mengandung semangat memanusiakan manusia. Satu contoh, puasa mengajarkan kita untuk membatasi perilaku hewaniah kita dalam hal makan. Tidak hanya itu, spektrum pemaknaan tentang makanan pun menjadi luas karena puasa.
Jika kita merenungi puasa, maka akan muncul banyak pertanyaan seperti: Apakah kita makan hanya karena lapar? Kalau kita makan karena lapar, bukankah hewan pun begitu. Lalu, karena apa manusia makan? Bagaimana manusia makan? Dengan cara apa manusia memahami hakikat lapar dan kenyang yang membedakannya dengan hewan?
Menikah juga merupakan cara agama dalam memanusiakan manusia. Ia membuat batas antara manusia dan hewan. Apakah orang yang saling menyukai dapat menikah? Apakah menikah adalah konsekuensi dari kelanjutan hubungan asmara? Ternyata tidak selesai sampai situ. Alasan seseorang melakukan pernikahan tidak dapat disandarkan dalam variabel-variabel yang sederhana. Jika hanya karena suka, lalu bagaimana manusia membedakan dirinya dengan angsa dan buaya, atau (jika diibaratkan dengan membuat rumah tangga bersama) burung?
Maka dari itu, mengenal konsekuensi dan tujuan pernikahan merupakan salah satu hal yang paling mudah untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia memahami hakikat pernikahan. Pernikahan merupakan pintu untuk membentuk instansi terkecil dalam masyarakat, yakni rumah tangga. Kesadaran mengenai rumah tangga sebagai fondasi masyarakat akan mengantarkan pada kita bahwa seseorang akan memasuki dunia di mana ia diberikan beban terhadap orang di sekelilingnya.
Konsekuensi paling minimum adalah kita harus paham dan mampu untuk membangun hubungan positif dengan tetangga sekitar. Kita harus faham mengenai rapat rukun warga (RW), mampu mengolah waktu untuk srawung, harus paham bahwa jika bepergian ke luar kota (paling tidak sekali-sekali) harus membawa “Bakpia Pathuk” untuk tetangga. Dalam hal yang lebih besar (dan jika memungkinkan), rumah tangga itu sendiri yang kita hibahkan untuk masyarakat, sama seperti trah Abdul Muthalib yang yang menghibahkan dirinya untuk para tamu Allah di Makkah.
Konsekuensi lain dari pernikahan adalah membangun basis dakwah internal yang baik dalam trah. Trah yang saya maksud adalah keluarga besar yang sudah dipunyai sebelumnya, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Menikah merupakan pintu pertama dalam membentuk keluarga baru.
Seperti yang sudah dijelaskan, keluarga merupakan institusi terkecil dalam sebuah masyarakat. Ketika kita membentuk institusi baru, maka ada tahapan (mihwar) baru yang harus kita laksanakan. Dalam hal ini, mihwar pertama ialah mihwar tandhimi, sebuah fase yang menuntut untuk melakukan internalisasi dalam sebuah kelompok, meningkatkan kuantitas dan kualitas dalam lingkup kecil. Fase ini mencontoh fase dakwah Rasulullah pada masa sirriyah selama tiga tahun dengan menanamkan fondasi Islam yang kokoh dalam lingkup keluarga dan kerabat.
Pada kasus ini, kebanyakan orang hanya sampai pada menjaga hubungan baik dengan keluarga besar, padahal keluarga besar adalah basis internal kita. Apabila membangun keluarga merupakan permulaan mihwar kita, maka keluarga besar masuk dalam mihwar tandhimi kita. Kita tidak dapat menganggap basis internal kita mapan hanya karena istri dan anak kita saleh. Keluarga besar merupakan objek dakwah internal yang perlu masuk dalam jangkauan dakwah kita.
Secara biologis, menikah merupakan usaha untuk melanjutkan keturunan. Melanjutkan keturunan bukan hanya soal bagaimana kita mempertahankan spesies manusia agar tidak punah. Hal yang paling penting adalah kualitas spesies seperti apa yang akan lahir esok. Kebanyakan rumah tangga membicarakan anak hanya sebatas pada soal bagaimana ia dapat hidup layak kemudian dapat hidup mandiri.
Sebagai manusia yang utuh, berbicara tentang anak adalah berbicara tentang generasi. Tapi kalau soal generasi, bahkan hewanpun sudah mempersoalkannya, mereka berpikir tentang kualitas fisik pasangan seperti apa yang sesuai dengan tantangan hidup, sehingga muncullah yang namanya mutasi dan evolusi.
Bagi anusia, membicarakan anak adalah menyiapkan generasi. Kita perlu berpikir, seperti apa wujud manusia esok setelah manusia yang sekarang mati? Bagaimana wujud tata aturan sosial yang ada, teknologinya, peradabannya, seperti apa wujudnya setelah manusia yang sekarang mati? Setelah imajinasi kita tentang masa depan manusia sudah ada, lalu kemudian kembali kita bertanya, idealkah itu?, Sesuaikah itu dengan asas kita? Jika tidak, bagaimana kita melakukan perubahan dengan kondisi kita sudah mati pada saat itu? Dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan itu kita kemudian sadar bahwa, usaha melanjutkan keturunan ini sangat menentukan masa depan peradaban manusia. (Red).