Adat Baarenti Ko Syara’, Syara’ Baarenti Ko Kitabullah

Indonesia sebagai salah satu negara dengan mayoritas muslim terbanyak di dunia, menandakan betapa masifnya penyebaran Islam. Penyebaran Islam sendiri masif karena kecerdasan para pendakwah dalam melakukan pendekatan dakwah kepada masyarakat Indonesia yang saat itu mayoritas beragama Hindu-Buddha. Sebut saja Walisongo yang memiliki kearifan dalam menyampaikan Islam di tengah masyarakat.

Salah satu kearifan yang dilakukan ialah Islamisasi adat istiadat. Lazimnya, perubahan apalagi dalam perspektif barat, selalu hadir karena adanya hal baru dan menyingkirkan hal lama. Namun, paradigma tersebut barangkali tidaklah digunakan secara utuh oleh para pendakwah Islam di Nusantara. Malah sebaliknya, mereka melakukan perubahan besar-besaran dengan adat dan kebiasaan masyarakat yang ada.

Jika hari ini, kita banyak menyaksikan atau membaca dan mendengarkan secara langsung atau pun tak langsung, para pendakwah yang membid’ahkan atau mengafirkan ritual adat dalam suatu masyarakat, maka mungkin mereka harus belajar dari cara dakwah Walisongo.

Dalam berdakwah, Walisongo tidak jarang melakukan perubahan melalui adat istiadat yang ada. Sebut saja tahlil, wayang, bedug dan lain-lain yang merupakan budaya Hindu-Buddha. Namun di-Islamisasi oleh mubalig Islam saat itu. Dan melalui jalan tersebut, banyak orang Indonesia yang kemudian tertarik dengan toleransi dan kearifan Islam.

Satu sisi, dengan cara tersebut semakin menguatkan nilai-nilai kebangsaan dan keislaman di tengah masyarakat. Ini menjadi hal yang menarik, utamanya di tengah situasi masyarakat yang kebingungan dalam melakukan konstruksi peradaban agar memiliki nilai yang kuat di masa yang akan datang.

Jalan pendidikan dan kebudayaan adalah keharusan yang mesti dilalui bersama. Tidak cukup dengan jalan politik ekonomi, bahkan jalan kedua ini telah gagal dan telah mencetak manusia serakah dan perusak (QS. Ar-Rum: 41).

Kekuatan dari nilai yang tertanam di tengah masyarakat, bisa dilihat dari berbagai adagium di beberapa daerah. Salah satu yang coba saya kutip “Adat Baarenti Ko Syara’, Syara’Baarenti Ko Kitabullah”. Kalimat yang indah tersebut berasal dari Sumbawa NTB.

Pertama, ini menandakan betapa pedulinya tau (sebutan orang dalam bahasa Sumbawa) terhadap adat istiadat. Memang, bagi orang Indonesia adat istiadat adalah kekayaan dan khazanah tersendiri bagi tiap daerah. Begitu pula bagi orang Sumbawa, menjaga ada Istiadat adalah kemustian. Kedua bagi orang Sumbawa, ada Istiadat juga tidak boleh lepas dari Syara’ (ketentuan Allah).

Semua harus berkesinambungan, tidak boleh berlawanan satu dengan yang lain. Jika ada pertentangan, maka harus mengambil nilai-nilai Syara’ (syariat agama). Ketiga, sebagai Sumber utama dari keduanya adalah Kitabullah (Al-Qur’an). Sekali lagi, kalimat yang indah tersebut, menjadi bukti bahwa masyarakat utamanya Ulama di tana Samawa sangat cinta dan peduli kepada Adat Istiadat, Syariat dan Kitab Allah.

Tidak sampai ketiga hal tersebut, hal menarik lainnya, dari adagium tersebut -bagi saya- ulama’ Sumbawa sedang memberikan kode, bahwa Kitab Allah itu adalah sesuatu yang hidup, baik dalam Syariat, ada istiadat atau kehidupan sosial dan semua lini kehidupan.

Lebih jauh lagi, Kitab itu sebagai tuntunan hidup bagi tau dan tana Samawa. Artinya, tidak cukup hanya ngaji alias baca Al-Qur’an saja, tapi lebih penting lagi, amal sholehnya. Dalam Al-Qur’an sendiri Allah swt memerintahkan manusia untuk beramal saleh. Setelah beriman, harus amal saleh, setelah shalat, harus amal saleh dan seterusnya.

Tidak cukup seseorang hanya menyakini Allah ada, namun harus dibuktikan dengan amal saleh yang jelas dan konkret. Baik berupa kesalehan individu lebih penting lagi kesalehan sosial sebagai manifestasi khalifah di muka bumi.

Maka, tau Samawa yang meyakini kalimat “Adat Baarenti Ko Syara’, Syara’Baarenti Ko Kitabullah” tidak cukup paham tanpa pengalaman baik berupa penjagaan adat istiadat, penjagaan bumi hingga penjagaan terhadap peradaban manusia.

Semoga kita menjadi bagian dari Adat Baarenti Ko Syara’, Syara’Baarenti Ko Kitabullah yang hidup!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *