
Human chain paper with light and shadow on wood table
Pemaknaan kata toleransi dalam tatanan masyarakat modern sekarang terkesan ambigu. Banyak orang berani berkoar-koar mengenai toleransi, meskipun ucapan dan tindakan mereka sendiri sebenarnya intoleran. Banyak orang mengikuti tradisi orang lain dengan dalih menghormati kebiasaan orang lain. Pemaknaan toleransi saat ini mengandung standar ganda, sebab kata toleransi tidak terlepas dari kepentingan tindakan represif dan permisif.
Memang tidak ada yang salah dalam penggunaan diksi toleransi. Namun, yang menjadi persoalan ialah ketika toleransi hanya berlaku untuk kelompok tertentu. Adapun barisan oposisi malah dipersekusi habis-habisan. Sungguh tindakan ini merupakan kezaliman yang nyata.
Jika ditarik dalam konteks bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masalah toleransi merupakan topik evergreen yang selalu hangat dikaji dan diberitakan. Karakteristik masyarakat plural menjadi identitas bangsa Indonesia. Apalagi isu suku, agama, ras, dan golongan merupakan isu sensitif. Sentimen primodial bisa tumbuh sewaktu-waktu bila dialog terkesan menciptakan dikotomi kelompok ‘kami’ dan ‘mereka’.
Keberagaman dan perbedaan budaya dan kelas sosial merupakan karakteristik masyarakat Indonesia. Abdul Hadi, dalam Tirto.id, menerangkan keragaman dan perbedaan merupakan nikmat Tuhan yang patut disyukuri. Sepatutnya, kita tidak meremehkan salah satu budaya daerah, lalu meninggikan budaya daerah lainnya. Yang tidak kalah penting ialah kita harus paham batasan toleransi itu sendiri. Membiarkan penyimpangan yang bersifat fundamental harus dicegah agar tidak menimbulkan bahaya yang lebih dahsyat.
Baca juga:
Diseminasi Moderasi Beragama Melalui Pendidikan Tanggap Budaya
Berikut ini contoh remeh perilaku yang mencerminkan sikap toleransi dalam masyarakat. Masih banyak contoh remah yang mencerminkan perilaku toleransi tanpa harus menyinggung sentimen identitas budaya mereka. Kendati demikian, contoh ini menjadi pelajaran berharga bagi kita, terlebih lagi saat melihat realitas dunia yang sesungguhnya.
- Memilih Makanan

Setiap manusia memiliki kegemaran makanan tertentu. Mau makanan yang berbasis gulai, tumis, gorengan, rebusan, dan sebagainya. Selera makanan orang tentu berbeda-beda. Terkadang, beberapa orang tidak menyukai makanan tertentu karena masalah kesehatan, finansial, dan ideologis. Sungguh tidak bijak rasanya ketika kita memberikan makanan yang melabrak prinsip mereka.
Misalnya, kita menganalogikan toleransi selera makanan si X dan si Y. Si X menyukai makanan pedas dan tumis, namun tidak suka makanan rebusan. Adapun si Y menyukai makanan rebusan, tetapi tidak suka makan pedas karena punya masalah pencernaan.
Kebetulan mereka berteman – hidup seperti saudara – dan makan bersama di suatu warung makan. Maka sikap toleran mereka ialah tidak memberikan makanan yang menyusahkan mereka. Begitulah sikap toleransi yang harus dicontoh.
- Selera Musik dan Film

Manusia butuh hiburan untuk memulihkan energi yang terkuras. Salah satu jenis hiburan yang sering digandrungi adalah musik. Jangan salah, musik itu memiliki daya magis yang mempengaruhi mood manusia. Bahkan di era media sosial sekarang, seperti Instagram, menyediakan jenis musik yang memenuhi kebutuhan batin warganet setiap postingan konten.
Demikian juga film, selera orang menonton film berbeda dan tidak bisa dipaksakan. Ada yang suka film Amerika, Korea, Jepang, Tiongkok, India, Urdu, dan sebagainya. Terlalu berharga waktu kita memaksa mereka menonton film yang tidak mereka sukai.
Ada baiknya, kita fokus dengan menjajal pengetahuan film yang tidak banyak diketahui publik. Ibarat menggali firdaus yang tersembunyi. Toh, tidak semua orang tahu segalanya tentang dunia. Akan tetapi, tetap yakinlah beberapa dari mereka pasti membutuhkan keunikan pengetahuan kita.
- Soal Jurusan dan Profesi

Setiap profesi memiliki tantangan dan fadilat tersendiri. Di zaman sekarang, mayoritas orang Indonesia yang berpendidikan tinggi cenderung memilih jurusan dengan prospek pekerjaan yang mapan, gaji tinggi, dan sejumlah gengsi menarik lainnya. Memang fakta ini benar adanya, tetapi tidak semua orang merasakan dan menikmati impian tersebut.
Adapun orang yang diterima dalam pekerjaan tidak semua merasa nyaman dengan profesi baru mereka. Ada juga sebagian orang yang (terpaksa) memilih bekerja serabutan sembari belajar mencari jati diri dan makna kehidupan.
Ketika berinteraksi dengan orang banyak, hendaknya kita coba berempati sesuai kondisi profesi dan jurusan mereka. Jangan sekali-kali kita merendahkan profesi dan jurusan tertentu pilihan orang dengan standar kebahagiaan yang tidak berimbang. Jika mau hidup bersaudara dan berkolaborasi, itu lebih utama daripada membuat perbedaan yang tajam. Di sinilah ujian toleransi kita dilatih apakah kita mengapresiasi proses mereka atau sebaliknya.
Bicara tentang toleransi, kita tidak perlu berbicara jauh soal masalah toleransi yang sudah terjadi di Indonesia. Masalah toleransi di Indonesia terbilang sensitif dan pelik dibicarakan karena perbedaan persepsi dan nilai-nilai yang dijunjung. Dari penjelasan tiga perkara remeh di atas, saya harap pemirsa dapat belajar, sehingga kelak dapat menunjukkan sikap toleran dalam menyikapi perbedaan saat menghadapi masalah yang bersifat lebih besar. (Genta Ramadhan/Red.)