Bincang Buku Luring, Arkeolog Terkesima dengan Buku “Gayatri Akuntan Majapahit”

KoranPeneleh.id- Menurut seorang arkeolog dan ahli Sejarah, Dr. Siti Maziyah, M.Hum., Gayatri selalu identik dengan Buddha. Lalu, ketika diundang dalam bincang buku secara luring dengan tema “Gayatri Akuntan Majapahit: Peran Perempuan dalam Peradaban” ia sangat terkejut.

Gayatri dikatakan sebagai seorang akuntan bahkan arsitek visi dan misi terciptanya Kerajaan Majapahit sehingga memiliki peradaban yang tinggi. “Gayatri kok akuntansi? Sejauh ini selalu identik dengan Buddha. Saya kaget, judulnya sangat seksi,” terang Siti Maziyah, Minggu (26/3/2022), malam.

Maziyah juga mengaris bawahi bahwa kehebatan peradaban nusantara, utamanya peran perempuan telah terlihat sejak zaman dahulu. Salah satunya yaitu Gayatri ini. Selain itu, ada juga Ratu Sima pada abad ke-7 yang menjadi penguasa Kerajaan Kalingga saat itu.

Selain ditinjau dari perspektif arkeologi dan sejarah, acara yang dilaksanakan pada malam Minggu ini juga mengadirkan panelis dari perspektif akuntansi, yakni seorang dosen akuntansi Universitas Sultan Agung (Unissula) bernama Dista Amaliya Arifah, S.E., M.Si., Akt.

Gayatri Akuntan Majapahit

“Buku ini sangat cetar, membahana, badai. Ternyata memang ada cikal bakal akuntansi pada zaman Majapahit. Misalnya Sima, penetapan daerah-daerah otonom. Lalu, adanya pajak progresif yang sistemnya diciptakan oleh seorang perempuan hebat bernama Gayatri Rajapatni,” tutur Dista.

Baca juga:

Pegiat Sejarah Tulungagung Akui Keunikan Buku Gayatri Akuntan Majapahit

Dr. Novrida Qudsi Luthfillah sebagai penulisnya mengaku senang sekali bisa dibertemukan dengan ahli-ahli ini. “Wah, saya sering baca tulisannya Bu Maziyah ini,” terangnya. Novrida pun mengatakan akuntansi tidak hanya sekedar mencatat, namun apa yang dilakukan Gayatri selalu tidak lepas dari nilai-nilai ketuhanan. Hal itu tergambar dari pembacaan arca-arca Gayatri. Bahwa setiap bagiannya memiliki folosofi yang mendalam.

Ia pun menjelaskan beberapa nilai yang bisa diambil dari Gayatri. Di antaranya ialah perempuan tak perlu merendahkan untuk bisa menang. Kalau bahasa jawanya menang tanpa ngasorake (menjadi pemenang tanpa perlu merendahkan orang lain). Selain itu, wanita hendaknya sepi ing pamrih (bekerja dalam kesunyian dan tidak memedulikan riuh pujian atau celaan).

“Wanita adalah akronim ‘wani ing tata’. Dari kisah Gayatri, kita tahu bahwa perempuan-perempuan nusantara dalam peradaban bukanlah sebuah bualan. Kita seharusnya bangga dengan budaya nusantara, dan tidak perlu mengagungkan nilai-nilai yang lahir dari budaya kebarat-baratan,” terangnya. (Anik Melinda/Red).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *