Ulasan Kritis Buku “Jang Oetama” dalam Tinjauan Sejarah

Sejarah adalah ilmu tentang perubahan waktu. Kata ‘sejarah’ enteng diucapkan oleh banyak kalangan, seperti aktivis, ustaz, motivator, politikus, dan sebagainya, dengan maksud memberikan pesan ideologis dan moral kepada audiens. Bahkan pada era kontemporer, topik yang bermuatan sejarah masih relevan dibahas, meskipun kalah saing dengan isu politik istana, perkembangan teknologi, dan pertumbuhan ekonomi.

Lantas muncul pertanyaan mendasar, mengapa perusahaan dan instansi mapan terkesan pelit membuka jurusan sejarah dan ilmu humaniora lainnya untuk memberikan sumbangsih ilmu dan kemajuan? Padahal jurusan ini menawarkan sumbangsih berharga dalam kemajuan perusahaan, bangsa dan peradaban. Melihat realitas ketidakadilan seperti ini, mungkinkah sejarawan tidak didesain menjadi ‘babu perusahaan’ sesuai standar baku versi mereka? Pastinya, jawaban ini tidak sesimpel hitam putih.

Tak ayal, sejarawan harus banting setir ke profesi yang tidak sesuai jurusannya. Kenyataan ini sering terjadi di mana-mana. Memulai belajar hal yang baru tidak mudah, namun itulah realitas yang harus dijalani agar tetap bertahan. Di sisi lain, muncul anggapan sejarah tidak menjawab isu terkini karena hanya berkutat dengan masa lalu. Padahal realitas masa sekarang tidak terlepas dari akumulasi tindakan  manusia di masa lalu.

Kembali ke bahasan pokok, penulis bermaksud memberikan ulasan buku yang bertajuk Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan H.O.S Tjokroaminoto dalam tinjauan sejarah. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kajian sejarah selalu ramai dikaji karena relevan dengan masalah terkini. Buku ini ditulis oleh Aji Dedi Mulawarman, seorang dosen akuntansi di Universitas Brawijaya. Secara umum, buku ini membahas biografi HOS. Tjokroaminoto dengan predikat Jang Oetama dalam perspektif sejarah.

Sebelum memimpin gerakan keumatan, Tjokro dibesarkan dalam keluarga bangsawan Jawa. Sudah bisa dipastikan dia hidup sebagai anak priayi Jawa. Umumnya, kaum priayi Jawa selalu nyaman di bawah hegemoni kolonialisme dan imperialisme Belanda.

Tjokro dikenal sebagai pribadi yang aktif dan kritis terhadap sesuatu. Bahkan ia sering merasa geram melihat praktik diskriminasi sistem kolonial terhadap kaum bumiputera. Saking kritisnya, ia rela melepaskan gelar bangsawan dan menjalani laku hidup sebagai wong cilik.

Bahkan, ia rela bekerja serabutan dan berinteraksi dengan rakyat jelata. Bahkan ia tidak malu menjadi kuli pelabuhan meskipun lulusan OSVIA (Sekolah Calon Pegawai Bumiputera). Pada tahun 1907, ia melanjutkan sekolah di Burgelijke Avond School (BAS) sembari bekerja di perusahaan dagang di Surabaya.

Tidak sampai di situ, ia memiliki keahlian menulis yang sering dimuat dalam beberapa koran. Tulisan Tjokro cenderung membahas praktik eksploitasi dan diskriminasi perusahaan asing dan pemerintah kolonial Belanda.

Hingga akhirnya, Tjokro membeli rumah pribadi di sebuah Gang Peneleh. Pembelian rumah tentu memiliki maksud, yaitu memimpin gerakan dan mengader anak-anak muda sebagai calon pemimpin bangsa dengan balutan nasionalisme. Soekarno, Alimin, Kartosoewirjo, dan Semaun merupakan contoh murid yang dikader langsung oleh Jang Oetama.

Selain itu, Pak Tjokro juga merupakan tokoh penting dari Sarekat Islam. Bahkan jumlah massa pengikut Sarekat Islam lebih banyak dari organisasi sezaman lainnya karena semangat keberpihakan terhadap nasib bumiputera yang berdasarkan prinsip dan semangat keislaman.

Meskipun gerakan Sarekat Islam selalu dipersulit oleh birokrasi kolonial, ia berinisiatif memerintahkan pengurus cabang SI untuk mendirikan pengurus cabang SI sebanyak mungkin. Akhirnya, pemerintah Belanda mengakui Centraal Sarekat Islam sebagai organisasi yang sah pada 18 Maret 1916.

Yang tak kalah menariknya, Pak Tjokro sering mengadakan vergadering atau pertemuan akbar seluruh kader SI di lapangan terbuka. Rangkaian vergadering ini bermaksud untuk melakukan konsolidasi gerakan. Setelah itu, SI merintis program ekonomi kerakyatan yang berbasis koperasi. Beliau bersama pengurus SI Surabaya merintis koperasi Setia Oesaha. Gerakan ini terus merambat ke seluruh tanah Jawa.

Sayangnya, ada beberapa narasi yang dimuat dalam buku ini  mengandung anakronisme sejarah. Padahal sejarah ditulis sesuai dengan kebenaran dan konteks peristiwa itu sendiri. Umumnya sindrom anakronisme sering terjadi dalam karya sastra. Berikut ini beberapa contoh narasi anakronisme sejarah dalam buku Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan H.O.S Tjokroaminoto yang perlu dicermati dengan benar.

“Raden Mas Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, lahir di Bakur, Sawahan, Madiun, Jawa Timur, pada 1 Agustus 1882 bertepatan dengan meletusnya Gunung Krakatau. Kelahiran bersama…. Dianggap sebagai pertanda kejadian luar biasa yang akan menghinggapi perjalanan hidup seorang anak.” (hlm. 14)

“Perlawanan di penjuru nusantara, seperti Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Din, Pangeran Diponegoro, Panglima Polim, …. Dan masih banyak lagi telah menghabiskan energi VOC yang berujung dengan kebangkrutan VOC.” (hlm. 40).

Kesalahan umum dari narasi sejarah yang dibangun dari kalimat pertama dan kedua ialah salah menempatkan logika peristiwa sejarah. Kalimat pertama menerangkan bahwa kelahiran Pak Tjokro bersamaan dengan erupsi Krakatau yang akan memberikan perubahan besar dalam hidupnya.

Padahal, erupsi Krakatau terjadi pada 26 Agustus 1883, setahun setelah kelahirannya, dan pasti memberikan perubahan yang signifikan dalam konteks iklim, demografi, dan ekonomi Hindia Belanda. Jadi tidak tepat rasanya jika kelahiran Pak Tjokro bertepatan dengan erupsi Gunung Krakatau.

Adapun kesalahan narasi pada kalimat kedua ialah menyebutkan semua tokoh pahlawan yang berjuang melawan VOC. Penulis mafhum esensi poin penting narasi ini ialah perlawanan. Akan tetapi, beberapa tokoh pahlawan hidup setelah era kebangkrutan VOC, yang berganti menjadi pemerintah Hindia Belanda. Bahkan, Aji Dedi Mulawarman tidak menjelaskan proses transisi kekuasaan dari VOC ke pemerintah kolonial untuk menarasikan perlawanan sesudah VOC.

Lebih lanjut, buku ini tidak menjelaskan bagaimana SI menanggulangi dampak pandemi flu spanyol yang melanda negeri Hindia Belanda. Padahal, akan sangat menarik dibahas bagaimana relasi pandemi flu Spanyol terhadap manajemen organisasi SI. Program pemberdayaan ekonomi di masyarakat Hindia Belanda kala pandemi flu Spanyol juga penting dibahas sebagai bukti legitimasi kedekatan SI terhadap kondisi wong cilik.

Terlepas dari kekurangan buku di atas, sebaiknya penulis melakukan revisi ulang atas substansi pembahasan sejarah tanpa harus mengurangi kualitas narasi yang dibangun. Ada baiknya, penulis buku perlu berkonsultasi dengan ahli sejarah sebelum naskah buku memasuki proses penerbitan. (Genta Ramadhan/Red).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *