KoranPeneleh.id- Ajak masyarakat luas untuk berpikir secara merdeka, Peneleh Research Institute (PRI) bersama Penerbit Peneleh meluncurkan serial buku Paradigma Nusantara pada Sabtu, 19 Maret 2022.
Launching buku ini menghadirkan dua penulis serta dua penanggap yang merespons kehadiran buku tersebut. Dua buku yang masing-masing berjudul “Paradigma Nusantara” dan “Metodologi Paradigma Nusantara” itu merupakan sebuah upaya untuk keluar dari jebakan cara berpikir yang selama ini terlalu erosentris (bertumpu pada postivisme Auguste Comte, empirisme David Hume, dan rasionalisme Rene Desacrtes).
Mengawali pembahasan, Aji Dedi Mulawarman selaku penulis tunggal dari buku “Paradigma Nusantara” mengurai betapa kolonialisme Barat berdampak pada berbagai dimensi kehidupan, sehingga memicu terjadinya kolonialisme sains, kolonialisme sosial-budaya, dan lain sebagainya.
Hal ini berbeda jauh dengan warisan intelektual Nusantara yang memadu-padankan sains, kesucian, dan kearifan Nusantara dalam kehidupan sehari-hari. Satu hal yang menjadi kritik tajam dari Aji Dedi Mulawarman ialah mengenai trilogi filsafat ilmu Barat berupa ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang berangkat dari asumsi filosofis sains berbasis pemikiran Descartes.
“Cara berpikir yang menggunakan basis asumsi filosofis sains ala Descartes inilah yang menjadi akar dari terbentuknya etika utilitarian pada banyak orang Indonesia sekarang, sehingga mereka hanya memikirkan keuntungan pribadi. Tak heran jika kemudian banyak pejabat daerah serta pejabat negara yang tersandung kasus korupsi, muncul kasus Indra Kenz, dan lain-lain,” imbuh Aji.
Sebagai gantinya, Aji Dedi Mulawarman memberikan tawaran berupa kaidah Paradigma Nusantara yang terdiri dari jati diri kenusantaraan, pandangan integral atas realitas, kaidah religiositas dan kebudayaan, serta tujuan sains yang berpusat pada keyakinan dan kebenaran sejati. Lebih jauh, ia juga menekankan pentingnya menggunakan paradigma tersebut karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kenusantaraan.
“Berbeda dengan trilogi filsafat ilmu Barat yang hanya percaya pada hal yang bersifat material dan indrawi, kaidah Paradigma Nusantara mendasarkan dirinya pula pada sesuatu yang abstrak, imaterial, profetik, hingga ilahiah,” tutur pria yang juga menjadi dosen di Universitas Brawijaya tersebut.
Sosok yang menginspirasi Aji Dedi Mulawarman dalam merumuskan konstruksi dasar paradigma Nusantara tersebut ialah Sunan Kalijaga. Proses tirakat berupa Suluk Linglung, sebagaimana yang ditempuh Sunan Kalijaga dalam perjalanan spiritualnya, pada akhirnya akan mengarahkan manusia menuju ilmu kasampurnan yang mendorong seseorang untuk menjadi manusia sejati (insan kamil), mengembangkan masyarakat religius nan berkeadilan, serta menghancurkan keserakahan dunia dan mengendalikan ego diri.
Tapak jejak Sunan Kalijaga itu mendapatkan aktualisasinya dalam diri Aji Dedi Mulawarman, sehingga menghasilkan apa yang disebut Paradigma Nusantara. Basis filsafat Nusantara yang menjadi titik pijak dalam berpikir itulah yang akan menjadikan sains sebagai sesuatu yang hidup (the living science).
Tak cukup di situ, Ari Kamayanti mewakili para penulis buku berjudul “Metodologi Paradigma Nusantara” mengajak para peserta launching buku untuk tidak terjebak pada cara berpikir fatalistik yang melahirkan aksi-aksi pragmatis dan berorientasi jangka pendek. “Hari ini pikiran kita masih terjajah oleh cara pandang yang menggunakan metode dan pendekatan ala Barat di berbagai aspek keilmuan,” ujar dosen di Politeknik Negeri Malang tersebut.
Kemerdekaan berpikir menurutnya harus dimulai dengan menggunakan metodologi khas Nusantara yang dirumuskan oleh tokoh-tokoh bangsa semacam HOS. Tjokroaminoto, Gayatri, Ki Hajar Dewantara, Sunan Pakubuwana IV, hingga nama kontemporer seperti Yudi Latif.
Sebagai contoh, Ari Kamayanti menjelaskan bagaimana Gurindam Dua Belas hasil gubahan Raja Ali Haji bisa digunakan sebagai landasan untuk menciptakan etika profetik dalam pengelolaan keuangan negara. Hal ini merupakan antitesis dari etika sektor publik, atau dalam istilah Bobby Briando disebut dengan etika hedonisme, yang menjadi pakem utama dalam dunia akuntansi modern ini.
Sholeh UG, seorang trainer Quantum of Mind, sebagai salah satu penanggap memberikan respons positif atas terbitnya buku serial Paradigma Nusantara. “Sebagai sebuah peradaban, semestinya Nusantara dapat menjadi sumber pemikiran dan gagasan karena memiliki konsep berpikir yang lengkap.
Lebih lanjut, gagasan peradaban Nusantara menurut Sholeh secara garis besar berangkat dari dua hal utama, yakni spiritualisme dan kolektivisme. Spiritualisme dalam hal ini ialah kesadaran mikrokosmos dan makrokosmos untuk menciptakan harmoni antara manusia, Tuhan, dan alam. Sedangkan kolektivisme merupakan sebuah spirit untuk mengutamakan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama dibanding pemenuhan kebutuhan pribadi semata.
Adapun Shri Lalu Gede Pharma selaku penanggap kedua mengapresiasi setinggi-tingginya ikhtiar yang dilakukan Aji Dedi Mulawarman, Ari Kamayanti, dan sederet nama yang berkontribusi dalam lahirnya serial buku Paradigma Nusantara.
“Saya merupakan seorang pelaku dan praktisi ilmu-ilmu nusantara. Artinya, belajar ilmu Bali dengan cara Bali. Mempelajari ilmu Jawa dengan cara Jawa, dan seterusnya,” ungkap anggota eksekutif nasional Asosiasi Kerajaan dan Keraton se-Indonesia tersebut.
Poin penting yang hendak disampaikan oleh Shri Lalu Gede Pharma dalam paparannya ialah bagaimana konstruksi berpikir dan metodologi Paradigma Nusantara seharusnya diikuti pula dengan aspek praksis berupa tirakat dan lelaku dalam mengamalkan ilmu kenusantaraan. (Ahmad Bagus Kazhimi/Red).
Baca juga:
Dr Aji Dedi Mulawarman: Dahsyat Berikan Solusi Permasalahan Bangsa dengan Logika Cultural Drift