
Oleh : Salman
Islam merupakan diin yang yang menyatakan bahwa setiap pemeluknya merupakan orang terpilih “Kuntum khoiru ummatin ukhrijat linnas”. Keterpilihan seorang sebagai sebaik-baiknya umat di antara manusia tidak kemudian menunjukkan bahwa Islam mempunyai kasta-kasta dalam memandang makhluk di muka bumi. Islam justru mempunyai konsekuensi, Firman Allah ; bahwa konsekuensi sebagai ummat Islam ialah “ta’muruuna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil munkar” menyeru pada kebaikan dan menolak kemunkaran dalam jalur keteguhannya pada diinullah “wa tu’minuuna billah” (Qs Ali Imran : 110).
Dari firman Allah SWT itulah dapat disimpulkan bahwa Umat Islam diseru untuk melakukan perubahan sosial, menghijrahkan setiap insan dari zona munkar ke zona makruf sesuai dengan arahan Sang Khalik. Istilah umum dari gerakan perubahan sosial ini lebih akrab disebut sebagai dakwah. Dakwah merupakan kewajiban setiap Umat Islam. Tanpa memandang status dan tingkat kecakapan, Rasulullah SAW menyeru “Baliighu annii walaw ayat”, sampaikan dariku walau satu ayat. Dari hadits tersebut dapat disimpulkan betapa pentingnya gerakan perubahan sosial, hingga seluruh sumber daya manusia dikerahkan untuk melakukan perubahan.
Peradaban Islam yang gilang-gemilang setelah Rasulullah SAW melakuakn perubahan social tersebut harus berakhir ketika ijtihad ditutup, kejahiliyahan merajalela, dan umat Islam bersandar pada kejayaan masa lalu tanpa melanjutkan pengembangan ilmu pengetahuan. Dari situlah musuh-musuh Islam yang –padahal mempunyai banyak kelemahan- mampu mengambil alih peradaban. Pada masa kemunduran ini banyak Ulama yang mengupayakan perubahan sosial secara massif dengan berbagai identifikasi penyakit yang beragam, mulai dari moralitas, ekonomi, teknologi, dan politik.
Segala daya upaya yang sudah dilakukan oleh intelektual pada masa lalu untuk mengembalikan kejayaan Islam nampaknya belum mampu membawa Islam sebagai Ustadziatul Alam. Bukan karena ketidakcakapan para Ulama pada masa lalu, namun akibat umat yang masa kini terlanjur terjangkit penyakit kronis, Abul A’la Maududi menyebutnya sebagai inferioritas. Inferioritas inilah yang membuat umat Islam meniru-niru mulai dari non esensial hingga yang pokok.
Inferioritas non esensial dapat dibenahi dengan tetap bersandar, atau digeser menuju yang tsawabit, seperti tren busana yang tidak rusak apabila bersandar pada pokok batasan aurat. Inferioritas secara esensi akan membawa Umat Islam pada kesesatan, dan merupakan sebuah aib bagi generasi kita yang mengobati penyakit masyarakat dengan penyakit, yang melakukan perubahan sosial dengan teori jahiliyah! Salah Satu teori yang ada ialah “Materialisme Dialektika Historis” yang menyatakan bahwa masyarakat seperti materi, yang punya materi-materi kecil di dalamnya, yang membutuhkan kontradiksi antar materi agar dapat berubah.
Saat inilah perubahan sosial dilakukan dengan benturan-benturan antar materi, benturan antar kelompok sebagai satu-satunya cara perubahan. Pada tulisan ini akan dijelaskan mengenai salah satu teori perubahan sosial dari salah seorang intelektual masa kolonial Jawa, Raden Ngabehi Ronggowarsito dengan “Suro Diro Joyoningrat Lebur Dening Pangastuti”nya. Teori dari Ronggowarsito ini akan mengantarkan pada gerakan perubahan sosial yang sesuai dengan paradigma Islam.
Biografi R.Ng Ronggowarsito
Bagus Burhan atau yang biasa dikenal sebagai Raden Ngabehi Ronggowarsito (Ronggo Warsito III) merupakan Pujangga kenamaan Jawad an Pujangga besar terakhir Jawa. Setelah penobatannya sebagai Pujangga pada pasa Pakubuwono VII tidak ada Pujangga besar lagi yang diangkat oleh keraton. Dalam hal ini Ronggowarsito resmi menjadi Pujangga besar penutup tanah Jawa.
Ronggowarsito lahir pada tahun 1802 di Yasadipuran. Buyutnya adalah Yasadipura I dan kakeknya Yasadipura II, ayahnya merupakan Ranggawarsito II, ketiganya ialah Pujangga Kerajaan Pajang dan Mataram. Karena dibesarkan oleh Ayah dan Kakeknya, Ronggowarsito diakrabkan dengan dunia sastra dan intelektual sejak kecil. Karena lingkungan yang mendukung maka pada umur ke-12 Ronggowarsito dimasukkan di Pesantren Gebang Tinatar (Pesantren Tegalsari). Pesantren Gebang Tinatar merupakan Pesantren pimpinan Kyai Kasan Besari. Pesantren Gebang Tinatar merupakan pesantren yang terkenal melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Cokroamioto, Mas Mansyur, dan Sastronagoro serta menjadi cikalbakal Pondok di Jawa Timur termasuk Pondok Darussalam Gontor.
Setelah dua tahun menempuh pelajaran di Gebang Tinatar, Ronggowarsito akhirnya kembali ke Keraton dan melanjutkan pelajaran seni, budaya, dan sastra dengan Kakeknya. Ronggowarsito juga belajar ilmu kanuragan dengan Pangeran Boeminata yang sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri. Pada tahun 1819 ia menjadi juru tulis kerajaan, setelah menikah pada tahun 1821 Ronggowarsito kembali menuntut ilmu. Rasa haus akan ilmu pada masa pondoknya kembali bangkit pada masa itu. Ronggowarsito kemudian menuntut ilmu dengan mengembara ke desa-desa untuk bertemu dengan guru-guru yang terkeal kepandaiannya. Pada pengembaraannya Ronggowarsito berguru dengan Tunggul Wulung di Kediri, Ajar Wirabrata di Banyuwangi, hingga Ki Ajar Sidolaku di Tabanan, Bali.
Sekembalinya dari pengembaraan Ronggowarsito dihampiri oleh Abdi Dalem Keraton Surakarta untuk bertugas menjadi Carik Kepatihan. Sejak saat itulah Ronggowarsito mulai aktif dalam menuliskan karya-karyanya. Pada masa pemerintahan Pakubuwono VII kesusastraan Jawa lebih banyak diperhatikan daripada masa kekuasaaan sebelumnya. Pada masa inilah Ronggowarsito diangkat sebagai Panewu pada tahun 1844 dan pada 14 September 1845 Ronggowarsito diangkat sebagai Pujangga Istana. Karena kepandaiannya Ronggowarsito memiliki beberapa murid asing seperti C. F. Winter yang juga berperan sebagai translator, J. F. C. Gricke, dan Dr. Falmer Van Den Broug, mereka saling belajar kesusastraan Jawa dan Barat. Beberap karya yang dihasilkan pada masa ini ialah Pustaka Raja Purwa dan Pramayoga, dan Kawi Javaanchse Woordenboek.
Bersambung…..
Ditulis saat Dauroh Marhalah 2 KAMMI Daerah Kota Yogyakarta