Urgensi Paradigma Nusantara Terhadap Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia

Kelas Speaking 1 Rombongan UIN RMS di Global English Pare Kampung Inggris: Relevance of Steady before Marriage Culture in Indonesia

Oleh : Dennik Febriana (Aktivis Peneleh Kediri)

Bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang dilatarbelakangi karena banyaknya orang yang menggunakannya sebagai bahasa sehari-hari. Dibuktikan,1500 dari 2000 juta orang menggunakan Bahasa Inggris sedangkan yang lainnya menggunakan Bahasa Ibu negaranya masing-masing (Crystal, D. 2003). Indonesia pun berpotensi menggunakan bahasa ini untuk berkomunikasi di kancah Internasional.

Allan F Lauder, dosen Universitas Indonesia sekaligus ahli linguistik, menjelaskan bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa yang aman karena tidak memiliki keterikatan dengan bangsa penjajah (Belanda). Bahasa Inggris pun telah ditetapkan sebagai bahasa internasional sejak abad 17 karena pengaruh kuat dari politik ekonomi. Dua alasan ini menjadi alasan kuat mengapa Bahasa Inggris ditetapkan menjadi bahasa asing utama di Indonesia.

Pendidikan bahasa Inggris di Indonesia pada umumnya menggunakan kurikulum dengan metode umum yang hanya berfokus terhadap tata bahasa, penerjemahan, pelafalan, pengejaan kata, serta penggunaan dalam percakapan. Metode ini tentu saja lebih condong merepresentasikan penutur asli (US, UK, dan Australia) beserta budayanya sebagai kiblat pembelajaran.

Seperti contoh dalam kelas listening masih menggunakan audio yang sangat memperkenalkan budaya barat seperti “Thanksgiving Day” yang merupakan adat dari bangsa Inggris. Contoh lain, percakapan sehari-sehari yang berlatar belakang budaya barat harus dipelajari oleh para siswa.

Pandangan tersebut tentu saja memaksa para siswa seolah-olah harus menghapuskan identitas mereka sebagai warga negara Indonesia jika ingin berkomunikasi dengan alih menjadi orang US atau yang lainnya agar bisa menyimbangi latar belakang mereka. Padahal jika kita melihat realitas lebih jelas lagi, di ruang kelas terdapat keragaman budaya lokal yang kompleks sehingga ia memiliki karakter yang berbeda juga. Sehingga penutur asli tidak perlu dijadikan kiblat sebagai praktik pembelajaran karena dapat menghilangkan identitas nasional yang seharusnya memiliki nilai religiositas dan kebudayaan.

“Kita membutuhkan kaidah utama Paradigma Nusantara yaitu jati diri kenusantaraan, pandangan integral atas realitas, religiositas dan kebudayaan, yang terakhir tujuan sains atau ilmu yang berpusat pada keyakinan dan kebenaran sejati,” tutur Dr. Aji Dedi Mulawarman pada Sekolah Metodologi Paradigma Nusantara Sesi 1.

Hal ini bisa menjadi jawaban atas tantangan kita dalam menghadapi pergeseran kurikulum pendidikan yang terlalu mengagungkan budaya barat termasuk dalam mempelajari bahasa Inggris sehingga merelakan nilai-nilai kenusantaraan harus hilang oleh peradaban masa kini.

Paradigma Nusantara mampu memperkenalkan nilai yang kaya akan muatan budaya lokal yang akan lebih membentuk identitas para siswa di tengah persaingan global yang disruptif ini sehingga mereka tidak pernah melupakan jangkar budayanya sehingga akan selalu hidup dalam lintasan ruang dan waktu, masa tanpa masa, dilalui dengan kepasrahan tanpa batas, ikhlas, itulah kosong sejati menuju kesatuan kesucian (Dr. Aji Dedi Mulawarman).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *