Oleh : Azhar Azhari Amin
(Pengamat Sosial, FIK Universitas Negeri Makassar, Email: edukasiazhar@gmail.com)
Politik adalah lembaga lain dalam masyarakat kita yang dihubungkan dengan olahraga. Bagi saya olahraga berpotensi menjadi alat perebut kekuasaan. Pun dijadikan suatu alat yang dapat mengubah pandangan politik secara global. Karena menurut saya, politik dan olahraga adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Telah banyak kita saksikan, politisi menjadikan olahraga atau salah satu induk organisasi cabang olahraga tertentu sebagai batu loncatan untuk merebut kekuasaaan dengan dalil “memajukan olahraga tersebut”. Tidak jarang, kita juga melihat atau menyaksikan ketika para atlet yang meraih medali disambut oleh pejabat atau politisi demi menaikkan citra mereka. Itu saja sudah menunjukkan tentang bagaimana olahraga sudah terkontaminasi dengan politik.
Sejarah telah beberapa kali memperlihatkan intervensi politik terhadap olahraga. Olimpiade 1980 di Moskow, dimana Amerika Serikat dan negara-negara barat memutuskan tidak hadir sebagai protes atas penyerbuan Uni Soviet terhadap Afganistan. Empat tahun kemudian, Uni Soviet dan sekutunya membalas boikot itu dengan tidak hadir pada Olimpiade 1984 di Los Angeles. Aksi Uni Soviet diikuti oleh negara-negara dari kawasan Eropa Timur, akibatnya, Olimpide 1984 berjalan hambar, negara-negara sosialis di masa itu merupakan gudang atlet kelas dunia.
Perkembangan olahraga tidak dapat dipisahkan dari kecenderungan perkembangan olahraga pada tingkat global, terutama pengaruh dari gerakan Olimpiade sebagai sebuah idealisme, yang sedemikian kuat dalam memberikan arah, isi dan pengorganisasian kegiatan olahraga pada umumnya. Di pihak lain perkembangan olahraga itu sendiri, seperti halnya perkembangan Olimpiade dipengaruhi oleh perubahan yang berlansung dalam lingkaran makro politik.
Masih segar di ingatan, Olimpiade Tokyo yang baru saja usai, ada salah seorang atlet judo asal Aljazair bernama Nourine Fethi yang menolak tanding melawan atlet yang berasal dari Israel. Dikutip dari Tempo.co pada Minggu (25/7/2021), Nourine Fethi yang mundur dari Olympiade Tokyo mengaku, lebih baik dirinya mengundurkan diri dari ajang tersebut ketimbang mengotori tangannya berhadapan dengan Butbul atlet yang berasal dari Israel.
Fethi mengatakan Kepada TV Aljazair bahwa dukungan politiknya untuk perjuangan Palestina membuatnya tidak mungkin untuk bersaing dengan Tohar Butbul. Dia pun pernah menarik diri dari kejuaraan dunia 2019 di Tokyo karena alasan yang sama. Atas kejadian tersebut atlet Judo asal Aljazair Nourine Fethi harus menerima sanksi dari komisi disiplin Federasi Judo Internasional, dalam hal ini IJF (International Judo Federation) dan Komite Olympiade Nasional Aljazair.
Hal serupa pernah dialami oleh Tim Nasional Indonesia di cabang olahraga sepakbola. Dimana pada saat itu Timnas Indonesia menolak bertanding melawan Timnas Israel pada babak kualifikasi Piala Dunia 1958. “Indonesia yang secara politik sedang getol-getolnya mengumandangkan perlawanan terhadap neokolonialisme, menganggap Israel sebagai penjajah rakyat Pelastina dan karena itu, menolak bertanding di Israel,” tulis McBall, dalam CNN Indonesia pada Selasa18 Mei 2021.
Di mata soekarno, olahraga sama membanggakannya dengan politik. Olahraga adalah cara wicara lewat kekuatan raga untuk menarasikan kekuatan negara. Di negara yang olahraganya kuat, biasanya kekuatan negara dan solidaritas bangsanya juga kuat (Muhidin Dahlan, 2016:40).
Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Maladi, Menteri Olahraga pada masa pemerintahan Soekarno, menurutnya sport tidak dapat dipisahkan dengan politik, yang secara terus terang dan terbuka dinyatakan oleh Indonesia Kepada dunia.
Sehingga olahraga dalam perkembangannya bukan hanya sebagai alat politik atau legitimasi politik kekuasaan. Tetapi, juga sebagai media pembelajaran politik demokratik, terutama yang bertalian dengan politisi dan konstituennya. Artinya, selama olahraga masih digelar atau dimainkan maka selama itu pula politik akan bermain, karena keduanya memiliki pengaruh dan hubungan yang erat satu sama lain, baik itu politik maupun olahraga.
Kesimpulannya bahwa olahraga yang sejatinya sebagai media pemersatu bangsa dan sebagai salah satu simbol karakter dan jati diri bangsa tidak pernah lepas dari kekuatan politik di dalamnya. Namun, olahraga di masa mendatang harus menjadi alat pemersatu bangsa. Karena, olahraga mengandung banyak unsur, antara lain pendidikan, budaya, wisata, ekonomi, dan tentu saja kesehatan. Dengan demikian, untuk memajukan olahraga harus ditanamkan jiwa sportifitas sejak dini, dan juga menjauhkan politik praktis mencederai hakikat dari olahraga tersebut.
Sumber gambar : https://football-tribe.com