Corona Lari Terbirit : Ngidung Rumekso ing Wengi sebagai Sarana Tolak Bala

Oleh : Nensy (Aktivis Peneleh Regional Semarang)

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, mengarah kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan menyembah kepada Allah”

Jang  Oetama Aji Dedi Mulawarman

Telah tertulis jauh sebelum Adam dan Hawa diturunkan ke bumi bahwa Bhinneka Tunggal Ika dilahirkan dengan kearifan lokal yang memiliki kekuatan luar biasa. Namun, dewasa ini arus globalisasi telah mencoba merongrong kemerdekaan nusantara kita sehingga proyek-proyek yang membunuh Tuhan semakin masif sedangkan Jangkar Kebudayaan perlahan semakin semu dan memudar.

Dalam merefleksikan hidup, nenek moyang nusantara kita ini telah memiliki khasnya masing-masing. Tidak terkecuali bagi orang  Jawa. Di  kalangan masyarakat Jawa, nembang atau ngidung “Rumeksa Ing Wengi” telah diyakini seperti “mantra” di bumi nusantara. Kidung  ini diciptakan oleh Raden Mas Said atau kerap dikenal dengan nama Sunan Kalijaga (salah satu Walisanga yang makamnya saat ini berada di Demak, Jawa Tengah).

Telah terasa luluhlantak berbagai sektor kehidupan oleh sebab datangnya pagebuk atau pandemi. Berbagai langkah ikhtiar jasmani dan ruhani dilakukan untuk menundukkan pandemi. Namun acapkali langkah yang berasal dari nilai kenusantaraan para leluhur terlupakan. Katanya menolak westernisasi tapi kok melupakan rempah bumi pertiwi dan nilai leluhur.

Kidung Rumeksa ing Wengi atau Mantra Wedha ini mengingatkan manusia, memberikan pedoman bagi masyarakat Jawa, dan pada umumnya bagi para khalifah sekaligus abdillah dalam menghadapi  Zaman Edan atau Zaman Kala Bendhu ( Kala : Zaman, Bendhu : Marah) panjangnya adalah bebenduning Pangeran (mendapatkan amarah atau hukuman dari Gusti Pangeran). Saat pandemi tiba, adakah yang berpikir bahwa bisa jadi Tuhan Marah, Kenapa Marah? Tentunya karena perbuatan abdi-Nya selama di dunia telah melampaui batas (banyak melanggar atau meremehkan hukum Gusti).

Allah berfirman: فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍۙ

“Maka sampaikanlah kepada mereka (ancaman) azab yang pedih.” (Al-Inshiqaq : 24).

Kidung “Rumeksa ing Wengi” hadir memberi makna mendalam sebagai pengingat abdi-Nya untuk segera kembali mendekatkan diri kepada Sang Pencipta agar terhindar dari segala malapetaka yang dahsyat baik yang nampak maupun yang tak kasat mata.

Dalam gema pembaharuan menurut Ki Taryanto (Paguyuban Tunggul Sabdo Jati 1610),  Jika menelusuri sejarah Ruwatan di Kraton Mataram Jawa setelah berdirinya Kerajaan Islam yang pertama di Demak, setiap kali datang wabah yang meluas maka pihak kerajaan biasanya menggelar kirab Bendera Tunggul Wulung  (bendera hitam yang terbuat dari Kain Kiswah Ka’bah) yang dibawa ke seluruh pelosok, bertujuan untuk meminta doa agar wabah segera berlalu.

Kidung ini biasanya dinyanyikan pada malam hari baik untuk menidurkan anak atau dilantunkan setelah sholat malam. Beberapa sumber menyatakan bahwa baiknya sebelum melantunkan kidung ini, harus “berpuasa mutih” selama 40 hari terlebih dahulu dan “ngebleng” (tidak tidur semalaman) maupun “Puasa Gantung” dan “Puasa Pendemi”.

Ana kidung rumekso ing wengi

Teguh hayu luputa ing lara

luputa bilahi kabeh

jim setan datan purun

paneluhan tan ana wani

niwah panggawe ala

gunaning wong luput

geni atemahan tirta

maling adoh tan ana ngarah ing mami

guna duduk pan sirno

“Ada sebuah kidung doa permohonan di tengah malam. Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setan pun tidak mau mendekat. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat, guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuri pun menjauh dariku. Segala bahaya akan lenyap.”

Sakehing lara pan samya bali

Sakeh ngama pan sami mirunda

Welas asih pandulune

Sakehing braja luput

Kadi kapuk tibaning wesi

Sakehing wisa tawa

Sato galak tutut

Kayu aeng lemah sangar

Songing landhak guwaning

Wong lemah miring

Myang pakiponing merak

“Semua penyakit pulang ke tempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan pandangan kasih. Semua senjata tidak mengena. Bagaikan kapuk jatuh di besi. Segenap racun menjadi tawar. Binatang buas menjadi jinak. Pohon ajaib, tanah angker, lubang landak, gua orang, tanah miring dan sarang merak.”

Pagupakaning warak sakalir

Nadyan arca myang segara asat

Temahan rahayu kabeh

Apan sarira ayu

Ingideran kang widadari

Rineksa malaekat

Lan sagung pra rasul

Pinayungan ing Hyang Suksma

Ati Adam utekku baginda Esis

Pangucapku ya Musa

“Kandangnya semua badak. Meski batu dan laut mengering. Pada akhirnya semua selamat. Sebab badannya selamat dikelilingi oleh bidadari, yang dijaga oleh malaikat, dan semua rasul dalam lindungan Tuhan. Hatiku Adam dan otakku Nabi Sis. Ucapanku adalah Nabi Musa.”

Napasku nabi Ngisa linuwih

Nabi Yakup pamiryarsaningwang

Dawud suwaraku mangke

Nabi brahim nyawaku

Nabi Sleman kasekten mami

Nabi Yusuf rupeng wang

Edris ing rambutku

Baginda Ngali kuliting wang

Abubakar getih daging Ngumar singgih

Balung baginda ngusman

“Nafasku Nabi Isa yang teramat mulia. Nabi Yakub pendengaranku. Nabi Daud menjadi suaraku. Nabi Ibrahim sebagai nyawaku. Nabi Sulaiman menjadi kesaktianku. Nabi Yusuf menjadi rupaku. Nabi Idris menjadi  rupaku. Ali sebagai kulitku. Abu Bakar darahku dan Umar dagingku.  Sedangkan Usman sebagai tulangku.”

Sumsumingsun Patimah linuwih

Siti aminah bayuning angga

Ayup ing ususku mangke

Nabi Nuh ing jejantung

Nabi Yunus ing otot mami

Netraku ya Muhammad

Pamuluku Rasul

Pinayungan Adam Kawa

Sampun pepak sakathahe para nabi

Dadya sarira tunggal

“Sumsumku adalah Fatimah yang amat mulia. Siti Aminah sebagai kekuatan badanku. Nanti Nabi Ayub ada di dalam ususku. Nabi Nuh di dalam jantungku. Nabi Yunus di dalam otakku. Mataku ialah Nabi Muhammad. Air mukaku rasul dalam lindungan Adam dan Hawa. Maka lengkaplah semua rasul, yang menjadi satu badan.”

Maka

 قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ ۙ

“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman” (Q.S Al Mukminun : 1).

وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ فِيْكُمْ رَسُوْلَ اللّٰهِ ۗ لَوْ يُطِيْعُكُمْ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنَ الْاَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ حَبَّبَ اِلَيْكُمُ الْاِيْمَانَ وَزَيَّنَهٗ فِيْ قُلُوْبِكُمْ وَكَرَّهَ اِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الرَّاشِدُوْنَۙ

Dan ketahuilah olehmu bahwa di tengah-tengah kamu ada Rasulullah. Kalau dia menuruti (kemauan) kamu dalam banyak hal pasti kamu akan mendapatkan kesusahan. Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, (Q.S AL Hujurat : 7)

Sudah seharusnya kita menjadi muslim sejati yang kuat akar kebudayaan dan nasionalismenya. Jangan sampai kidung-kidung kita juga ikut diklaim oleh bangsa lain. Jangan sampai nilai barat semakin mewangi pada realitas kehidupan kita. Hanya Gusti Pangeranlah yang mampu membelah malam dengan terangnya pagi, hanya Gusti Pangeranlah yang mampu mendatangkan kebaikan dan menyingkirkan kegelapan. Sudah saatnya kita kembalikan nusantara menjadi pusat peradaban dunia kembali!

“Jangan Mengumbar Nafsu Angkara agar terhindar dari segala marabahaya dan musibah, Manusia hidup jangan merasa bisa, jangan merasa memiliki segalanya, di atas langit masih ada langit.di atas segalanya ada Gusti Pangeran yang Maha Segalanya”

Ki Tartanto, Paguyuban Tunggul Sabdo Jati 1610

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *