Oleh : Daud Al Furqon (daudalfurqon@gmail.com)
Pada suatu pagi, Fir’aun mengumumkan berita besar. Ia mengundang rakyatnya untuk berkumpul menantikan kontes sihir. Jauh hari sebelumnya, ia telah mengader tukang sihir dan mengirim 40 orang untuk belajar sihir ke Al Irfaan. Pagi itu, lengkap sudah ia mengumpulkan para tukang sihir dari segala pelosok negeri. Ka’bal Ahbar mengatakan jumlahnya mencapai 12 ribu, sedangkan Muhammad bin Ka’b menyebut angka yang jauh lebih fantastis, 80 ribu.
Sebanyak itu orang yang termakan propaganda Fir’aun yang menyebut Musa alayhis salaam (as.) sebagai penyihir. “Sihir Musa jahat,” kata Fir’aun. Ia akan merusak keajegan dan konstelasi persihiran negeri ini. “Dua orang ini (Musa dan Harun as.) adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusirmu dari negerimu sendiri dengan sihirnya,” kata mereka. Isu itu mudah saja diamini, menghujam titik jantung kehormatan kultur dan warisan leluhur para penyihir. Maka, mereka berbondong-bondong memenuhi seruan Fir’aun.
Propaganda itu masih terawat sampai sekarang. Isu sektarian, kebanggaan terhadap kultur dan warisan nenek moyang, dan ancaman terhadap stabilitas pemahaman tradisional dijadikan pintu masuk untuk membakar api kebencian. Kita merasa memiliki harga diri dalam setiap pendekatan –tradisional, keilmuan, kultur, atau manhaj kelompok – yang dengan itu kita kerap mudah tersensitisasi untuk menolak hal-hal baru, meskipun kita belum pernah dengan jernih mendengarnya. Kita memblokade pengetahuan baru sambil memelihara kekhawatiran dan menerbitkan semangat: yang baru itu, harus kita lawan. Yang berbeda pemahaman, harus kita singkirkan. Yang membuka peluang kelompok kita berpindah haluan, harus kita marjinalkan.
Ketika Musa as datang di hadapan mereka dan membawa peringatan terhadap kebatilan, para penyihir itupun berselisih paham. Sebagian undur diri dan menyadari bahwa pernyataan Musa adalah pernyataan seorang nabi. Sebagian lagi masih berdiri menentang: Musa adalah penyihir yang harus kita basmi.
Maka, pertarungan itu dimulai. Para penyihir melemparkan jimatnya yang segera menjelma ular-ular yang gesit merayap. Ketika Allah mewahyukan, “Lemparkanlah tongkatmu!”, Musa as. melemparkan tongkatnya. Tongkat itu seketika menjelma ular yang teramat besar dan dengan sekejap mata melumat ular-ular para penyihir.
Kemenangan Musa atas para penyihir sudah mutlak, in kracht, final, tak dapat diganggu gugat dalam konteks sejarahnya. Namun, posisi kita dalam kehidupan menuju kematian ini masih nisbi, labil, insecure.
Kita laik bertanya-bertanya: ke mana tongkat Musa itu hari ini? Kita semestinya mampu meraba rasa di mana posisi kita dalam konstelasi pertarungan Fir’aun, Musa, dan para penyihir masa kini. Kita mengira-ngira tongkat semacam apa yang tengah kita sandang dalam segala perdebatan, pertarungan pemikiran, dan perselisihan-perselisihan kita. Tongkat kita itu hari ini menjelma dalam Undang-undang, dalam Perppu, dalam Peraturan Menteri, dalam kebijakan direktur, dalam keputusan partai, dalam AD/ART organisasi, atau dalam pitutur kiai, ustadz, habaib, ajengan, dan guru-guru.
Barangkali kita masih berada dalam posisi kelompok terhasut. Ego diri dan kelompok kita melonjak-lonjak, dan ketika muncul hasutan tentang bahaya laten, ancaman keterasingan, potensi penyingkiran terhadap elemen diri dan kelompok kita, kita sibuk mebentengi diri dengan alasan-alasan primordial tanpa perenungan mendalam tentang potensi-potensi kebenaran di luar diri kita. Kita mengamankan diri kita dengan apa yang menggeliat di kepala kita saja dan menutup segala kemungkinan terhadap ruang diskusi. Kita memblokir yang tak kita sukai, men-delete persaudaraan yang tak sejalan, dan mengalienasi mereka yang kita takuti menggerogoti kekuatan dan stabilitas kenyamanan dunia kita. Tongkat kita adalah tongkat para penyihir. Merasa besar, padahal kecil. Merasa hebat, padahal tak berdaya.
Atau, bahkan, lebih dari itu, mungkin saja kita tengah berdiri memegang suar-suar fir’aun kecil. Kita menjadi corong baru yang mengkader keburukan, merawat ketidakadilan, dan menumbuhkembangkan kepongahan. Kita menjadi bagian dari hasutan yang memecah belah, tanpa kita sadari. Kita memegang tongkat lain –kekuasaan– yang menghimpit nilai-nilai ketuhanan ke sudut paling gelap agar tak terlihat ummat, sambil memperlihatkan citra, imej, dan kesan kemajuan, kekokohan, dan modernisasi pembangunan yang kosong belaka.
Ataukah kita masih terus berharap warisan tongkat Musa menggeliat sungguh-sungguh di tangan-tangan mungil kita? Tongkat itu, bahkan, tak pernah diklaim oleh Musa. Tongkat itu, bahkan, tak pernah didengung-dengungkannya, dipajangnya, atau dikibar-kibarkannya. Tongkat itu dipegang Musa erat-erat dengan keimanan yang teguh, dengan keyakinan penuh kepada Allah, dengan kepercayaan tingkat tinggi dan kedekatan percakapannya bersama Allah. Lantas siapakah kita –yang obrol-mengobrolnya dengan Allah sejenak saja, yang kerinduan untuk berjumpa denganNya masih sebatas hiasan lisan saja –lalu mendaku diri tengah memegang ‘tongkat Musa’?
Kita selayaknya mengambil jalan kembali menuju gagasan hidup kita, mengamati sudah seberapa dekat jarak antara langkah kita dan pathway yang Allah berikan, kemudian melakukan pembenahan-pembenahan ego, struktur dan cara berpikir, juga roadmap dan strategi hidup kita. Kita perlu membenahi cara pandang kita terhadap kehidupan personal, kultur, masyarakat, berpolitik, dan bernegara.
Bukankah kita berharap setiap lafaz yang keluar dari mulut kita, strategi kebijakan kita, langkah percaturan di alam demokrasi kita, membuat medan dan lapangan perdebatan itu hening seketika? Senyap. Sehening dan sebeku lapangan tempat para tukang sihir itu hanya dapat memandang ternganga dengan keterguncangan yang hebat. Bukankah tujuan da’wah, usaha kita memanggil dan bersahut-sahutan dalam kebaikan layaknya keinginan Musa agar para penyihir itu bersujud dan mengakui, “Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa.”
Jika bukan itu yang kita inginkan, tongkat kita bukanlah tongkat Musa. Tongkat kita kayu belaka, atau mungkin tongkat sihir yang hina.
Bersambung…