Oleh: Nensy Setyaningrum (Aktivis Peneleh Semarang)

Siapa yang tak kenal dengan H.O.S Tjokroaminoto? Selain sebagai Pahlawan Nasional, dedikasi beliau untuk negeri tidak bisa dihitung-hitung lagi, bahkan beliau diberi julukan Jang Oetama. Tak sampai dua hal tersebut, berkat keikhlasan dan kegigihan dalam mendidik anak bangsa, sebut saja Soekarno, Kartoswerjo, Alimin, Buya Hamka dan banyak lainnya, beliau mendapat gelar sebagai Guru Bangsa.
Namun dan pastinya, di balik kehebatan serta ribuan prestasi cemerlang Pak Tjokro tentu tak lepas dari dukungan, dorongan dan do’a dari orang terdekat. Siapa lagi kalau bukan Ibu Soeharsikin, istri pertama H.O.S. Tjokroaminoto. Soeharsikin lahir sekitar tahun 1985. Dia terlahir dari keluarga bangsawan yakni putri dari Patih Ponorogo.
Soeharsikin sosok yang santun dan patuh kepada orang tuanya, bahkan pernikahannya dengan Pak Tjokro merupakan perjodohan. Karena kepatuhannya kepada sang ayah, tanpa berpikir panjang, Soeharsikin menerima lamaran dari pak Tjokro. Hingga pernikahannya dengan Pak Tjokro dikaruniai lima anak (dua perempuan dan tiga laki-laki). Dalam buku “Menelusuri Jejak Ayahku” karya Harsono disebutkan bahwa Soeharsikin mahir berpiano yang berarti berlawanan dengan hobi Pak Tjokro yang menyukai gamelan. Ada keunikan lain dari Soeharsikin ini yang pandai beternak ular serta merupakan pawang ular yang handal.
Tidak dapat disebut romansa bila jalan cinta hanya lurus-lurus saja. Begitupula dengan kisah sepasang kekasih ini. Sosok putra putri yang sama terlahir dari silsilah emas namun sama-sama memilih hidup sederhana dan merakyat. Hal inilah yang sempat membuat mertua Pak Tjokro marah kepadanya karena ia telah mengajak Soeharsikin hidup penuh perjuangan alias susah akibat keluarnya Pak Tjokro dari pejabat. Saat itulah Ayahanda Soeharsikin memintanya untuk cerai namun tawaran itupun ditolaknya dengan untaian manis yang membisukan Ayahandanya.
“Ayahanda! Dahulu anakanda dikawinkan oleh ayah-bunda, sedangkan anakanda pada waktu itu tidak kenal dengan mas Tjokro. Anakanda taati! Kini anakanda pun tetap taat, kalaupun ayah-bunda ceraikan anakanda dari Mas Tjokro, baiklah tetapi seumur hidup anakanda tidak akan kawin lagi. Oleh karena dunia akhirat, suami anakanda hanyalah Mas Tjokro itu semata,”
Tentu saja tidak mudah mempertahankan ideologi di tengah budaya patriarki yang begitu mengakar pada kala itu. Dapat dibayangkan suasana batin Soeharsikin saat keturunan bangsawan diperintahkan bercerai. Pada akhirnya, Ibunda memberikan prasyarat kepada Pak Tjokro bahwa apabila Soeharsikin melahirkan ia harus ke Madiun agar dapat dimaafkan. Sebab kala perselisihan itu Pak Tjokro terpaksa meninggalkan Soeharsikin sementara waktu di rumahnya.
Jalan Peneleh VII Surabaya, rumah putih bernomor 29-31. Sebuah rumah sederhana yang menjadi dapur nasionalisme. Semua sisi rumahnya menjadi saksi juang Pak Tjokro dan Soeharsikin. Setiap sudut bangunannya menjadi kawah candradimuka tokoh pergerakan, tidak terkecuali Sang Proklamator Kemerdekaan. Orang tua mana yang tidak ingin anaknya menjadi bagian dari kos Peneleh yang terdapat Sang Poros Kharismatik Jawa, Pak Tjokro. Namun siapa sangka bahwa ide membeli pada 1902 itu merupakan ide dari Soeharsikin. Ia menyadari bahwa suaminya sibuk di politik sehingga ia memutuskan membantu suaminya untuk menopang perekonomian keluarga.
Alhasil sejak 1912 ia menginisiasi rumahnya menjadi kos-kosan untuk pelajar HBS, MTS, dan NIAS. Hanya lelaki saja yang boleh kos di sana. Biaya sewa kamar selama sebulan dan makan dua kali sehari adalah 11 gulden atau setara USD 4 kala itu. Menarik sekali mengulik aturan penghuni kos di rumah ini, ada empat aturan yang wajib dilaksanakan yakni makan malam jam sembilan dan yang terlambat, tidak dapat makan, sudah harus di kamar jam sepuluh malam, harus bangun jam empat pagi untuk belajar, serta dilarang dengan anak gadis. Hal tersebut dilakukan untuk membentuk karakter disiplin dari penghuni kost. Selain pemasukan dari kos ini, Soeharsikin juga merupakan pengrajin batik cekatan. Tersebutlah daerah Plampitan dekat Gang Peneleh yang menjadi pusat batik terkenal hingga 1970-an.
Adakah yang mengira bahwa awal kali yang mengenal firasat kepahlawanan Soekarno ialah berawal dari seorang wanita? Kedekatan Soekarno dengan Pak Tjokro adalah peran dari Soharsikin. Hal ini yang menyadarkan hati dan pikiran bahwa peran domestik memiliki pengaruh besar dalam mengubah arah Indonesia. Terlihat bagaimana rumah sederhana berhasil diubah menjadi ruang dinamika dan dapur nasionalisme.
Prinsip hidup Soeharsikin patut menjadi nilai yang dihayati dan diamalkan. Pendiriannya dalam patuh terhadap orang tuanya, teguhnya prinsip kehidupan pasca pernikahan bahwa kehidupannya dan dia adalah tanggung jawabnya, sehingga menolak intervensi orang tua. Kedua, ia ingin seluruh anak mendapat akses pendidikan. Ketiga, ia mengajarkan nilai totalitas perjuangan. Hanya saja memang perjuangan panjang Soeharsikin dalam menyatukan Soekarno dengan Pak Tjokro ini tidak banyak diketahui oleh orang. Jauh dari itu pun kisah Soeharsikin memang belum banyak dicatat oleh pena sejarah bangsa.
Potret multi beban perjuangan perempuan dapat kita teladani dari sosok Soeharsikin. Maka sudah pasti sebutan pahlawan sekaligus Ratu Jawa Tanpa Mahkota itu sangat pantas untuknya. Pak Tjokro sangat patah hati saat Soeharsikin meninggal. Bahkan keputusannya untuk menikah lagi dengan Roestinah banyak dikritik oleh temannya sebab istri keduanya justru hidup dari keringat Pak Tjokro.
22 Februari 1921 adalah langit mendung bagi Pak Tjokro dan anak-anaknya. Kurang lebih usia 35 tahun, Soeharsikin meninggal akibat tertular penyakit tifus dari anak kelimanya. Sang Ibu menemani anaknya setiap hari sedangkan kala itu belum ada obat untuk itu. Makam Botoputih, Surabaya menjadi peristirahatan terakhir Wanita Hebat tersebut. Genap 100 tahun Raden Ayu Soeharsikin telah bersemayam di makan tersebut.
Marilah kita menundukkan kepala sejenak sembari melafadzkan Fatihah kepada Ratu Jawa Tanpa Mahkota, Raden Ayu Soeharsikin. Tanpanya, Indonesia mungkin tidak akan seperti hari ini. Apabila kita tidak dapat menjadi bagian dari anak kos rumahnya kala itu, apabila kita tidak sempat mengukir senyumnya kala itu. Maka siapapun yang merasa terpanggil dan merasa terpilih/Peneleh, mari kita semerbakkan harumnya juang Sang Ratu, Sang Kekasih Guru Bangsa kita dengan penghayatan dan pengamalan kisah juang beliau dalam kehidupan kita saat ini dan teruntuk penerus kita di masa depan.