Oleh: Ahmad Bagus Kazhimi
Beberapa dekade terakhir, bangsa Indonesia dihadapkan masalah yang sejatinya endapan dari sifat kejumudan dan kedangkalan dalam cara berpikir manusianya. Masalah itu terejawantahkan dalam bentuk konservatisme dan radikalisme agama, di mana salah satu indikator utamanya ialah perasaan paling benar dari seseorang atau sekelompok dalam cara memahami serta menjalankan agamanya.
Dalam konteks Indonesia, masalah ini tentu menjadi pekerjaan rumah mengingat konstruksi masyarakat bangsa ini sejatinya ialah plural dan majemuk. Salah satu akar permasalahan dari masalah laten intoleransi dan eksklusivisme beragama di antaranya ialah dalam hal pendidikan. Pola-pola indoktrinasi paham keagamaan tertentu yang bersifat ekstrem berawal dari ruang-ruang kelas atau lembaga pendidikan.
Merespon fenomena ini, penulis mengajukan satu tawaran dalam mewujudkan moderasi beragama melalui pendidikan tanggap budaya di berbagai lembaga pendidikan yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia. Pendidikan tanggap budaya merupakan pendekatan pembelajaran yang responsif terhadap keanekaragaman budaya dari pengalaman setiap peserta didik. Hal ini terejawantahkan dengan mengakomodir budaya, bahasa, dan pengalaman hidup setiap murid dari latar belakang yang berbeda (Hilmiati, et al. 2019).
Dengan mengintegrasikan aspek-aspek budaya yang mencakup tradisi dan kearifan lokal itulah diharapkan seseorang mampu terbebas dari paham intoleransi dan eksklusivisme beragama, sehingga tercipta pola interaksi yang saling menghargai di antara setiap kalangan pelajar baik dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi. Selain itu, dengan cara ini pula seseorang tidak tercerabut dari jangkar kebudayaan tempat di mana ia tumbuh dan berkembang.
Urgensi Penerapan Pendidikan Tanggap Budaya
Membangun moderasi beragama sejatinya tidak bisa dilakukan dengan cara yang instan. Hal ini bisa disadari karena penanaman sikap moderat menyangkut keyakinan dan kepercayaan seseorang sedari dini. Oleh karena itu, pendidikan memiliki peran penting sebagai salah satu pilar dalam menegakkan moderasi beragama. Pendekatan yang bisa dilakukan ialah melalui pendidikan tanggap budaya (culturally responsive teaching) yang diinternalisasikan di berbagai jenjang lembaga pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi (Musanna 2011).
Dengan pendidikan tanggap budaya, seorang murid akan berkenalan dengan budaya, keyakinan, dan tradisi dari anggota masyarakat lain yang berbeda suku, ras, dan agamanya. Pendidikan tanggap budaya merupakan pendekatan pembelajaran yang responsif terhadap keanekaragaman budaya dari pengalaman setiap peserta didik. Hal ini terejawantahkan dengan mengakomodir budaya, bahasa, dan pengalaman hidup setiap murid dari latar belakang yang berbeda. (Hilmiati, et al. 2019).
Salah satu media yang bisa dilakukan oleh seorang guru dalam memfasilitasi pendidikan tanggap budaya ialah dengan memberi waktu di mana setiap murid dapat mengekspresikan budaya atau tradisinya melalui medium tertentu, seperti puisi, cerita rakyat maupun kesenian khas daerah.
Dengan cara itulah kemudian lahir interaksi, diskusi, dan elaborasi antar kebudayan dan keyakinan yang berbeda (Rahmawati, Ridwan dan Agustin 2020). Kemudian pada tahap selanjutnya akan mendorong lahirnya rasa saling memahami dan pengertian antar manusia dari latar belakang yang berbeda.
Penerapan sederhana pendidikan tanggap budaya ialah dengan menggali dan mendalami falsafah kehidupan yang berkembang di masyarakat. Sebagai contoh, memayu hayuning bawana merupakan salah satu falsafah hidup orang Jawa. Makna dari falsafah ini ialah hendaknya manusia dalam kehidupannya di dunia berusaha untuk membawa kebaikan dan kebermanfaatan dalam mewujudkan perdamaian di dunia.
Penghayatan satu falsafah ini saja sudah menjadi modal penting bagi seseorang dalam menjalani hidupnya. Lebih lanjut, setiap wilayah pastilah memiliki kearifan-kearifan lokal yang bisa dibumikan dalam mewujudkan moderasi beragama di kalangan masyarakat. Sayangnya, hal-hal tersebut dari hari ke hari semakin terkikis dalam sistem pendidikan kontemporer. Padahal, memahami budaya merupakan bagian penting untuk menjalin relasi dengan sesama manusia, khususnya mereka yang hidup dalam tanah air yang sama, dalam hal ini Indonesia.
Referensi
Hilmiati, Heri Suwingnyo, Djoko Saryono, dan Roekhan. 2019. “Examining The Implementation of Culturally Responsive Teaching Materials (CRTM) of Sasak Culture using Culturally Responsive Teaching (CRT).” International Journal of Humanities and Innovation 13-20.
Musanna, Al. 2011. “Model Pendidikan Guru Berbasis Ke-Bhinekaan Budaya di Indonesia.” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 383-390.
Rahmawati, Yuli, Achmad Ridwan, dan Mega Ayu Agustin. 2020. “Pengembangan Kompetensi Guru dalam Pembelajaran Berbasis Budaya: Culturally Responsive Transformative Teaching (CRTT).” ABDI: Jurnal Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat 48-57
One Reply to “Diseminasi Moderasi Beragama Melalui Pendidikan Tanggap Budaya”