KORANPENELEH.ID- Papua kembali menjadi perbincangan publik. Lantaran, isu pemekaran wilayah di Papua yang belum jelas, adanya menuai pro dan kontra.
Dilansir dari BBC News Indonesia, Menkopolhukam, Mahfud MD pada Kamis (2/12) menyampaikan bahwa pemekaran wilayah Papua akan dipertimbangkan kembali agar menjadi prioritas bahasan satu dua tahun ke depan.
Joop, Tokoh Agama Jayapura berpendapat bahwa masalah kesenjangan Papua itu bermula pada Era Soeharto. Lebih dari 32 tahun Papua dikesampingkan, dianaktirikan, dan dimarginalkan.
Senada dengan itu, Tenaga Ahli Kantor Staff Presiden menyampaikan, bahwa di satu sisi, ada persoalan keamanan yang diselesaikan melalui proses penegakan hukum, namun pada sisi lain kebutuhan keterjangkauan publik dan kehadiran pemerintah daerah memang harus didekati dengan strategi pemerintah.
Harus selalu fokus pada realisasi pembangunan bukan slogan politik. Betul apabila munculnya ide ini adalah tidak lain katanya dari perwakilan 61 orang Papua dalam undangan Presiden ke Istana Negara 2019 lalu.
Joob juga percaya pemekaran wilayah dapat meraih Papua lebih maju sebab dapat memperpendek rentang kendali pelayanan pemerintah.
Namun perlawanan lain datang lagi pada Tokoh Masyarakat Adat (Wally) yakni menyarankan agar pemekaran wilayah ini harus dilakukan secara jelas dan transparan agar tidak berujung unjuk rasa karena berebut untuk tetap tinggal di wilayahnya masing-masing.
Ada kekhawatiran lain telah diungkapkan oleh Majelis Rakyat Papua, bahwa UU Nomor 21 Tahun 2001 mengenai penerapan otsus saja pada 20 tahun keberjalanannya tidak konsekuen yakni hanya 4 janji dari 26 janji yang dibuat.
Maka, muncul dugaan bahwa pemekaran wilayah ini sejatinya hanya untuk merauk keuntungan SDA Papua akibat dari mudahnya investor masuk yang tentu saja keuntungannya adalah untuk pemerintah pusat bukan untuk membangun Papua.
Pada bagian akhir, peneliti LIPI menyebutkan apabila pemerintah memang benar hendak merealisasikan ini maka segeralah sosialisasi. Sebab meskipun undang-undang dirancang dengan baik namun tanpa partsipasi publik itu adalah kemunafikan. (Nensy/Red)
Sumber: https://www.bbc.com/indonesia