Krisis Iklim Ulah Siapa?


Oleh : Anik Meilinda


Pagi itu, Hanan terburu-buru berangkat sekolah. Keran air yang mengucur pun lupa tak ia tutup. Ditambah lupa mematikan AC dan lampu. Hal itu tak hanya memancing omelan ibunya. Tapi, ternyata lebih dari itu, ia turut menyumbang kerusakan alam. Duh, kesannya Hanan dosa banget gitu ya. Haha. Sebenernya juga ngga seberlebihan itu si. Jelas, keteledoran Hanan itu tidak baik ya. Tapi….. emang nyumbang sih, gimana dong?

Hanan adalah seorang pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jawa Tengah, ia baru menyadari bahwa sikapnya yang leleh luweh (bodo amat) terhadap air, lampu, dan AC di rumahnya, turut menyumbang kerusakan alam. Hal itu ia sadari setelah ada proyek Demo keliling sekolah tentang Climate Crisis (Perubahan Iklim) bersama guru biologinya.

Sejak hari itu, ia tahu bahwa sadar ataupun tidak aktivitas manusia memiliki andil. Jejak karbon atau gas rumah kaca memiliki kemampuan mengikat radiasi sinar matahari yang dipantulkan bumi atau yang datang dari luar angkasa. Gas-gas ini dibutuhkan bumi agar ia senantiasa hangat.

Namun, karena sifatnya yang mengikat panas inilah, kalau jumlahnya terlalu banyak akan membuat bumi terlalu panas. Salah satu dampaknya, es di kutub-kutub meleleh, volume air di lautan meningkat, lalu daratan akan tenggelam. Intinya, terjadilah krisis iklim yang mengancam keberlangsungan kehidupan.

Isu pemanasan global atau krisis iklim ini mengemuka bersamaan dengan terkuaknya fakta betapa berpengaruhnya kelakuan manusia yang hidup sekarang kepada generasi mendatang. Menurut hasil observasi, suhu permukaan bumi sudah naik rata-rata sebesar 1°C sejak awal revolusi industri (akhir abad ke-18). Kenaikan ini akan mencapai 2°C pada pertengahan abad ini dan lebih dari 3,5°C pada akhir 2100 jika tidak segera ada tindakan drastis untuk mengurangi laju pertambahan emisi gas rumah kaca dari aktifitas manusia (www.siej.co.id).

Menurut United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ada enam jenis gas rumah kaca yang dihasilkan oleh tindakan manusia: Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Nitro Oksida (N2O), Hydrofluorocarbons (HFCs), Perfluorocarbons (PFCs) dan Sulfur hexafluoride (SF6). Zat ini dihasilkan dari kegiatan manusia, misalnya menggunakan kendaraan bermotor, menggunakan produk atau jasa dengan jejak karbon tinggi, megonsumsi makanan yang rantai distribusinya panjang sehingga menyebabkan jejak karbon yang ditinggalkan pun banyak, menyisakan makanan, membakar hutan, alih fungsi lahan besar-besaran, dan lain sebagainya.

Saat ini, manusia harus mulai berpikir progresif. Bagaimana menciptakan regulasi dan produk yang mengedepankan sifat keberlanjutan dan ramah lingkungan. Jangan sampai generasi yang akan datang diwarisi kenestapaan. Jangan biarkan mereka membayar mahal untuk mendapatkan air dan udara bersih atau hanya mengenal berbagai macam spesies hewan dan tumbuhan sebagai legenda.

Hal yang bisa kita lakukan sekarang, mengubah perilaku secara perlahan-lahan, seperti mengurangi jumlah produksi karbon individu dan melestarikan lingkungan. Menghemat energi, menggunakan produk yang ramah lingkungan, tidak berinvestasi di penyuplai energi kotor, menggunakan energi baru terbarukan, dan terus mengedukasi diri maupun lingkungan sekitar tentang pentingnya aware terhadap isu ini.

Jared Diamond dalam bukunya Collapse mengatakan di antara penyebab runtuhnya peradaban adalah kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Tentu kalian tidak ingin Indonesia menjadi sekedar cerita bukan? Jadi, mari mengubah cara hidup, jangan merusak bumi. Mari sama-sama perbaiki bumi, perbaiki peradaban.

One Reply to “Krisis Iklim Ulah Siapa?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *