tuhankan Jabatan, Persetan Amanah

Oleh : Adenagatha

Scwezky, seorang pejabat daerah. Kata orang-orang, ia disiplin hadir ke kantor. Lengkap beserta seragam dinas coklatnya. Ditambah dengan jam tangan terbuat dari bahan swarovski dan pantofel yang benar-benar mengilat. Kurang lengkap nih, mobilnya fortuner hitam yang diparkiran mobil, punyanya paling besar. Eh ketinggalan, kalau pas jam makan siang, rokoknya ya bolehlah Marlboro Merah itu, terserah deh. Pokoknya Pak Scwezky keren, gagah, pun berwibawa. Maklum, pejabat daerah harus seperti ini.

Jabatan mempengaruhi martabat. Bahkan seandainya ada firman yang pas, mungkin bunyinya “Barang siapa yang ingin dinaikkan derajatnya, maka gapailah jabatan yang tinggi“. Namun sepertinya firman seperti ini tidak dapat ditemukan di kitab suci agama apapun. Tapi, secara tidak langsung firman ini tumbuh subur di berbagai pikiran masyarakat. Makanya, gapailah jabatan setinggi mungkin. Toh kita tidak mampu menggapai bintang di langit. Iya kan?

Semisal nih, apabila ditawarkan suatu jabatan kepadamu, maka jabatan apa yang mau kamu terima? Presiden? Menteri? Komisaris? Jabatan di provinsi? Atau kabupaten? Atau di desa aja biar gak jauh-jauh dari keluarga? Sebenarnya bebas sih pilih jabatan apa dan yang mau bagaimana. Mau benar-benar serius menjabat atau memang sekadar numpang nama di meja nama di kantor. Memang betul, jangan sampai posisi suatu jabatan kosong. Harus tetap diisi oleh orang-orang dalam menyelamatkan rakyatnya. Ingat, posisi jabatan juga penting sebagai ‘leader’ yang memimpin rakyatnya. Jadi jangan salah kalau ‘jabatan’ merupakan hal sexy untuk diperebutkan atau diperjuangkan.

Sodara-sodara sekalian,

Perebutan kursi jabatan tidak serta merta ‘bimsalabim’ jadi. Semua butuh proses yang cukup panjang. Apalagi para pejabat sekalian yang sudah mempelajari metode kepemimpinan lewat organisasi-organisasi. Entah organisasi tingkat pelajar, mahasiswa, atau pun tingkat desa.

Salah satunya tak heran pada tahun sekian, mereka yang menyuarakan ‘aspirasi’ dengan lantang, karena sudah digodok berdialektika serta proses keorganisasiannya. Sekarang mereka sudah duduk di jabatan penting dan bergengsi sebagai bayaran ‘suara’ yang cempreng di toa mereka dulu. Toss dulu untuk perjuangan mereka. Jangan salah, kalau waktu itu tidak berubah, mungkin kita tetap krisis moneter atau kalau gak gitu, bisa-bisa kita ‘hilang’.

Pernah dengar kasus menteri merangkap berbagai jabatan tidak? Dalam satu periode, justru ia multi tasking dapat menjabat berbagai jabatan. Berarti hebat dong orang seperti ini. Sosok ‘leader’ yang menginspirasi semua orang. Karena kemampuannya yang bisa segalanya. Tinggal di-cross check saja bagaimana hasil multi tasking-nya. Apakah hasilnya sesuai kebutuhan masyarakat? Apakah hasilnya konstruktif? Atau justru malah destruktif? Biasanya nih ya, hasilnya destruktif – merugikan masyarakat. Namun di sisi lain konstruktif-personal alias membangun kesejahteraan dirinya sendiri. Dompet dipertebal, saham beratus-ratus lot, bahkan harta karun rampasan di mana-mana. Mengapa hanya seorang diri yang mampu seperti ini? Di mana letak keadilan rakyatnya? Kalau adil, justru ya, minimal rakyat juga bisa merasakan harta karunnya gitu. Sepenuhnya. Eh tapi ini sebenarnya harta karun masyarakat sendiri yang diambil alih (bajak) ‘pejabat’ ding.

Minimal sodara-sodara sekalian paham kan sampai di sini, apa maksud tulisan ini? Kalau belum, saya coba lanjut.

Coba kita melihat sekitar mahasiswa juga. Mahasiswa merupakan masa emas dan masa matangnya puber dari remaja menuju dewasa. Mereka belajar akademik pun keorganisasian. Sampai di sini masih baguslah untuk suatu proses. Tapi justru karena hal ini, banyak mahasiswa mulai melupakan siapa ‘jati diri’-nya.

Saking berproses di organisasi, ada yang sampai membayar dengan ‘syahwat jabatan’ tingkat kampus atau lebih. Caranya benar, dengan melibatkan peran mahasiswa berproses di keorganisasian kampus agar ketika sudah lulus nanti, merekalah yang menggantikan kalangan tua dalam jabatan sesungguhnya. Sayangnya, beberapa proses mahasiswa dalam organisasi, banyak (bukan berarti tidak sama sekali/bukan pula generalisir) dari mereka yang motivasi organisasinya bukan untuk masyarakat melainkan untuk eksistensi diri.

Biasalah, anak muda, jangan terlalu diintervensi. Nanti juga bakal sadar. Justru dari masa inilah yang bakal mempengaruhi bagaimana pola pemikiran kepemimpinannya nanti. Kalau akarnya sudah baik, maka akan tumbuh pohon yang rindang. Tapi apabila akarnya saja sudah tidak baik, jangan salah ia hanya tumbuh sebagai batu-batu yang tidak merindangkan sekitar.

Sodara-sodara sekalian,

Apa yang sudah dituliskan barusan, merupakan suatu contoh kecil dari realitas yang terjadi. Hal ini juga masih bersifat relatif, tapi cukup objektif. Bahwasanya ‘jabatan’ merupakan hal ‘sexy’ yang masih diperebutkan. Tak peduli tingkat jabatannya.

Efeknya justru merambat pada budidaya pemikiran eksistensi. Sehingga timbul pandangan umum ‘barang siapa punya ingin dinaikkan derajatnya, maka gapailah jabatan yang tinggi.’ Tak ayal juga masih menjamur saja stigma CPNS itu terkeren dari segalanya. Banyak mertua masih mengidamkan menantu yang CPNS. Pokoknya saat ini jabatan ‘sexy’ dengan ‘harta’ sebagai sebagai pemantiknya.

Padahal loh ya, Gus Dur sendiri mengatakan ‘Tidak ada Jabatan di dunia ini yang perlu dibela mati-matian’. Ini juga sebenarnya menjadi pelecut bagi kita untuk segera sadar. Bahwa jabatan tidak perlu dikejar, tapi biarkan ia datang dengan sendirinya. Rezeki sudah tertakar, jadi tidak akan tertukar.

Jabatan juga bukan melulu dalam merubah kesejahteraan masyarakat. Nyatanya justru merusak kesejahteraan masyarakat. Harapan apalagi yang diinginkan dari sexy-nya jabatan? Wong ia tidak melulu setia dan nyaman. Kan yang dicari justru nyaman dan setianya dulu. Perihal sexy-nya ‘harta’ dan eksistensi itu urusan ke sekian.

Jadi, gimana? Sampai sini apakah sodara-sodara sekalian mendapatkan jenis jabatan yang harus diperjuangkan? Pasti tidak menemukan. Karena memang itu esensinya. Tidak ada jabatan yang harus diperjuangkan mati-matian. Justru yang harus ada yakni amanah yang harus diperjuangkan mati-matian.

Jadi, gimana? Mau jabatan apa nih? Bismillah komisaris? Eheheu. Mabok sudah.

2 Replies to “tuhankan Jabatan, Persetan Amanah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *